Jumat, 23 Juli 2010

Sur'atul Istijabah

“ Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabbmu, dan mendapatkan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang bertaqwa.”
(Q.S Ali Imron : 133)

Labbaik ! Suara itu menggemuruh, mengalir lintas kurun dan abad, tiada henti. Membahana dari lembah yang tiada bertanaman, dekat rumah tua itu (Al Baitul Atiq, Q.S Al Hajj : 29,33), rumah suci Nya, tempat segala keamanan dan kemerdekaan, memenuhi telaga hati yang bening dalam kilau yang memancarkan wibawa abadi. Gaungnya menggema, menjadi saksi atas keaslian ajaran harfiah samhah yang kokoh terhadap perubahan-perubahan naif oleh tangan dan otak kerdil yang selalu gagal, namun terus saja merasa mampu mengubah, menyaingi atau menambah keasliannya.
Labbaik, judul roman panjang kehidupan yang seakan dimonopoli tiga elit manusia : Al Khalil Ibrahim, Adz Dzabih Ismail dan Ummu Ismail alaihissalam, dalam ujian berat yang mereka jalani. Pesan itu tak bisa difahami oleh mereka yang melihat adanya kekuatan azam pada para hamba tersebut serta rasul-rasul Ulul Azmi, lalu berkomentar : “ Memang hebat kekuatan jiwa mereka. Tetapi bukankah mereka nabi-nabi dan isteri-isteri nabi, lalu siapakah kita ?”
Apakah para nabi bukan manusia, yang punya selera dan hasrat dunia? Tidakkah mereka pantas menjadi teladan, sementara begitu besar hajat mereka kepada kehidupan dan kesenangan, tetapi lebih memprioritaskan Allah, Rabbnya ? Ada pass-word yang hilang dari memori kaum yang malang ini : ikhlas, yakin, taat, tawakal, optimis, kecintaan beramal, pandangan jauh kedepan dan fauriyatul istijabah (respon kilat) terhadap semua seruan Nya. ( Warisan Sang Murabbi, Ustadz Rahmat Abdullah rahimahullah)
Respon yang luar biasa dari seorang Abu Dujana ketika bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, apa yang akan aku dapatkan dari jihad bersamamu? Rasulullah menjawab : Syurga. Lalu seketika ia pun merespon : “ Kalau begitu aku akan berperang sampai aku syahid dengan luka di sini . “ Kata Abu Dujana sambil menunjuk ke lehernya. Rasulullah berkata kepada : “ Engkau akan mendapatinya, karena engkau jujur kepada Allah.” Dengan segera ia merangsek ke dalam barisan Uhud dan mengatakan, “Sesungguhnya aku mencium wanginya syurga di balik Uhud !” Dan benar, ketika para syuhada Uhud dimakamkan, para sahabat mendapati tubuh Abu Dujana penuh dengan 70 luka pedang, dan luka panah persis seperti yang dia tunjukkan.
Keta’atan yang luar biasa pun, telah kita pelajari dari kisah sahabat dalam perang Khaibar. Perang yang paling lama dan melelahkan. Dipuncak kelelahan, ketika pasukan Muslim berhasil menguasai benteng Ash Sha’b bin Mu’adz, benteng yang paling kaya dengan sumber makanan dan senjata. Di sana mereka telah memasak seekor himar untuk mengisi perut mereka yang lapar berhari-hari. Di saat telah siap disajikan, tiba-tiba datang wahyu tentang pengharaman himar. Apa yang kemudian terjadi? Seketika kuali yang berisi harum daging himar dibalik dan tumpahlah isinya. Tak ada permohonan toleransi atau pembantahan. Nyaris diluar ketaatan kita yang didominasi logika. Mungkin jika kita menjadi meraka akan mengatakan,” Mengapa wahyu itu tidak turun sebelumnya ? “ Tentunya tak akan membuat kecewa perut yang telah keroncongan berhari-hari itu. Itulah ketaatan dan kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul Nya. Tak mengenal logika.
Imam Syahid Hasan Al Banna mengatakan : “ Dapat kugambarkan profil mujahid sejati dalam diri seseorang yang siap mengambil bekal dan memenuhi perlengkapannya. Seluruh dirinya (seluruh sudut jiwa dan hatinya) didominasi pemikiran seputar perjuangan. Ia dalam pemikiran yang selalu, perhatian yang besar dan kesiapan yang senantiasa.”
Keimanan mujahid yang terejawantah dalam kesigapannya melaksanakan kebaikan, tugas dan kewajibannya, adalah refleksi dari jiwa yang bertanggung jawab, yang akan mampu menghindari penyesalan, kerugian dan penderitaan. Ia pun bersegera menuntut ihsan dan itqonul ‘amal sehingga membuahkan natijah yang kongkret.
Dalam era kontemporer, sur’atul istijabah itu seakan menguap. Bisa dilihat dari jumlah peminat tatsqif kader, kajian ilmiah mahasiswa, bedah buku, atau aksi turu ke jalan. Seharusnya layar HP polychrome mendadak buram ketika mendapat jawaban sms, “ afwan ana tidak bisa hadir, ada kuliah…ada urusan ke sini….ada bla…bla…bla…..
Entahlah, berbicara hajat, urusan, kepentingan, semua kita, bahkan para nabi dan para sahabat punya banyak kepentingan. Namun, Allah dan Rasul Nya lebih utama. Kiranya cukuplah kisah Ka’ab bin Malik menjadi teguran dan pelajaran untuk kita semua yang mengaku aktivis Islam.
Lantas apa sebenarnya yang melunturkan kekuatan sur’atul istijabah itu ? Seharusnya, introspeksi jiwa menjadi kebiasaan, hingga kita dapat mengevaluasi beberapa hal :
1. Keimanan.
Keimanan yang dalam sangat mempengaruhi kekuatan sur’ah. Kita masih ingat peristiwa turunnya surat Al Baqarah ayat 286-287 yang membuat para sahabat menangis dan ketakutan. Bahwa syahadat yang menumbuhkan keimanan menuntut konsekuensi yang tidak mudah. Lalu, bagaimana kita pun ingat kaum Hawariyyin yang berkata : “ Nahnu ansharullah.” Ketika nabi Isa as bertanya kepada mereka : “ Siapakah yang akan menjadi penolongku menegakkan diinullah ?” Dan sur’atul istijabah adalah buah dari keimanan. Akankah keimanan kita mampu menggerakkan lisan kita untuk mengatakan dengan tegas : “ NAHNU ANSHARULLAH ! ”
2. Pemahaman
Pemahaman yang benar dan mendalam terhadap wahyu (Alqur’an) adalah kunci kedua setelah keimanan. Ia (fahm) adalah rukun pertama sebelum menghidupkan ikhlas untuk menegakkan sebuah amal. Tak ada amal tanpa keikhlasan dan tak ada keikhlasan tanpa pemahaman. Seorang da’i tidak mungkin dapat mendistribusikan nilai-nilai Islam kepada orang lain, jika ia sendiri tidak memahaminya. Selama seseorang tidak memahami prinsip yang diyakininya, ia tidak akan bisa berinteraksi dengan prinsip tersebut dan ruh yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, Rasulullah selalu mendorong para sahabat untuk memberikan pemahaman kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Beliau mengatakan kepada mereka : “ Berilah pemahaman pada saudaramu dalam urusan agama ini. Bacakan dan ajarkanlah Alqur’an kepadanya.” ( Hadist riwayat Ath Thabarani).
Kisah yang mengharukan dari seorang Tsabit bin Qais dari Hadist yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ketika turun surat Al Hujurat ayat 2. “ Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi …”. Seketika Tsabit ketakutan dan tak mau keluar rumah, seraya menangis dan mengatakan, “ Celakalah aku. Aku ahli neraka.” Anas bin Malik kemudian mengadukan hal ini kepada Rasulullah, maka Rasulullah mengatakan, “ Bahkan sesungguhnya dia adalah ahli syurga.” Luar biasa, hassasiyah jundi Rasulullah, sampai takut akan uqubat karena merasa telah melanggar aturan Nya. Seperti yang kita ketahui bahwa Tsabit adalah sahabat Rasulullah yang bersuara lantang dan keras. Namun bukan hal tersebut yang dimaksudkan surat ke-49 itu.
Dengan lembut dan santun Allah tabaraka ta’ala menyampaikan dalam surat Al Anfal ayat 24 : “ Wahai orang-orang yang beriman ! Penuhilah seruan Allah dan Rasul Nya, apabila dia menyeru kepadamu sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu. Dan ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada Nyalah kamu akan dikumpulkan.”
Asy Syahid Sayyid Quthb mengatakan : “ Sur’atul istijabah adalah tindakan pemenuhan fitrah yang bersih untuk memenuhi seruan da’wah yang haq dan lurus. Di sana ada kejujuran, kelapangan, kekuatan semangat, pengetahuan yang benar dan sambutan akan cetusan qalbu yang hebat atas kebenaran yang nyata.”
3. Ma’rifat yang hidup terhadap kebenaran da’wah
Pemetaan fikrah yang tidak didukung realitas harokah atau ilmu pengetahuan yang tidak didukung oleh ‘amal akan melahirkan ma’rifah mayyitah. Dan, da’wah ini mengharuskan adanya ma’rifah hayyitah dalam diri kader-kadernya. Sehingga idealisme sebuah fikrah dapat dengan mudah didefinisikan dalam tataran realitas. Sirah da’wah Rasulullah, sekali lagi membuka ingatan akan kecerdasan dan keberanian seorang Mush’ab bin Umair, seorang duta da’wah pertama dan tunggal untuk Yatsrib. Kecerdasannya dalam menyampaikan da’wah Islam, begitu mampu mengalir dalam setiap aliran darah Sa’ad bin Mu’adz, pemimpin suku Khazraj. Sehingga Sa’ad berkata kepada kaumnya : “ Wahai Bani Abdil-Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di tengah kalian ?”
Mereka menjawab : “ Engkau adalah pemimpin kami dan orang yang paling jitu pendapatnya serta nasihatnya yang paling kami percaya.”
Sa’ad melanjutkan : “ Siapapun di antara kalian, laki-laki maupun wanita tidak boleh berbicara denganku kecuali jika kalian beriman kepada Allah dan Rasul Nya. “ Hingga sore harinya, tak seorang pun di antara mereka melainkan telah menjadi muslim dan muslimah, kecuali satu orang saja, yaitu Al Ushairim, yang menangguhkan keimanannya hingga perang Uhud. Pada saat perang Uhud itu dia masuk Islam, lalu ikut berperang dan terbunuh sebagai syahid. Padahal belum sati kalipun bersujud kepada Allah. Untuknya Rasulullah bersabda : “ Dia mengerjakan yang sedikit namun mendapat pahala yang melimpah.”
4. Tertanamnya hakikat kehidupan akhirat dalam hati dan amal sehingga akan terjaga dalam penjagaan Allah ( riayah rabbaniyah).
Tertanamnya pemahaman yang syumul tentang hakikat kehidupan, seperti yang Allah serukan dalam surat Adz- Dzariyat ayat 56 bahwa “tidaklah jin dan manusia diciptakan kecuali untuk beribadah kepada Allah.” Ayat ini menyingkap berbagai sisi dan sudut konseptual dan tujuan yang semuanya tercakup oleh hakikat yang besar ini, yang dianggap sebagai batu fondasi di mana kehidupan berdiri. Sisi pertama dari hakikat ini ialah bahwa di sana terdapat tujuan tertentu dari keberadaan jin dan manusia, yang tercermin pada tugas. Barangsiapa melaksanakan dan menunaikan tugas itu, berarti dia telah merealisasikan tujuan keberadaannya. Dan barangsiapa menyepelekannya atau membangkangnya, berarti dia telah menghancurkan tujuan keberadaannya. Sehingga jadilah ia tanpa fungsi, tanpa tujuan dan tidak memiliki makna utama yang menjadi sumber nilainya yang pertama. Jika demikian, berarti dia telah melepaskan diri dari prinsip yang telah melahirkannya ke alam nyata.
Sebuah prinsip yang di dalamnya terdapat sebuah hakikat yang begitu besar. Hakikat yang menjelaskan tugas peribadatan yang lebih luas dan komprehensif. Tidak sekedar pelaksanaan simbol-simbol. Itulah tugas besar kekhalifahan di bumi dan itulah karya alam manusia ini Q.S Al Baqarah : 30). Dan tugas besar ini termasuk dalam konsep ibadah, yang hakikatnya tercermin pada dua masalah pokok, yaitu mengokohkan konsep penghambaan kepada Allah di dalam diri, dan menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh gerak hati, gerak anggota badan dan gerak kehidupan.
5. Fahmu qadhaya ummat dan memiliki ruhul mas’uliyah
Pemahaman akan tugas kekhalifahan yang menuntut perbaikan, tak akan niscaya apabila apatis terhadap kondisi. Sekali lagi, hassasiyah positif dalam diri kader adalah wajib, karena ia adalah modal awal untuk kemudian ia mampu memahami realitas yang harus dirubah. Dan ruhul mas’uliyah yang akan mampu mengarahkan gerak perubahan sehingga managable, ihsan dan itqon fii al ‘amal.
6. Keyakinan bahwa kebersamaan bersama Rasulullah, shadiqin, syuhada dan solihin di syurga ditentukan oleh sejauh mana kita mengikuti mereka dalam sigap pada setiap panggilan jihad dan da’wah.
Wallahu’alam.

Faqir Ila Allah

Syahidah Lamno
Maraji :
 Warisan Sang Murabbi (Alm. Ustadz Rahmat Abdullah)
 Tafsir Fii Dzilalil Qur’an Sayyid Quthb
 Sirah Nabawiyah
 Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimun 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar