“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah yang munkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah danRasul Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sunguh Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
(Q.S At Taubah : 71)
Bismillahirahmannirrahiim
Alhamdulillah alladzi anzalassakiinata fii quluubil mu’minin. Maha Suci Allah, yang senantiasa mencurahkan rahmat Nya kepada kita semua, disetiap pagi, siang, petang dan disetiap waktu. Shalawat serta salam semoga senantiasa kita limpahkan kepada qudwah kita, sang revolusioner peradaban dunia, Rasulullah saw. Semoga langkah tidak akan pernah terhenti menapaki jalan perjuangannya, meneruskan estafet da’wahnya yang sempurna, hingga pertemuan dengannya di Firdausan’a’la. Amin.
Beberapa hari yang lalu, seorang teman bercerita tentang teman akhwatnya yang telah menikah. Temannya itu bercerita kepadanya dengan mata berair, karena suaminya tidak mengijinkan dirinya mengikuti tastqif di hari ahad, dengan alasan karena suaminya ingin menghabiskan waktu dengannya di hari libur itu. Memang dalam pandangan syar’i itu tidak salah. Bahkan sebuah keharusan bagi seorang istri untuk menunaikan keinginan suaminya. Fenomena ini, mungkin sudah bukanlah sesuatu yang asing atau aneh bagi sebagian orang. Karena memang sudah banyak terjadi. Namun bagi ku, ini sangat aneh, apalagi dengan semakin banyaknya akhwat yang mengadukan dirinya mendadak menjadi passivis ketika setelah menikah, padahal sebelum menikah adalah aktivis P4 (pergi pagi pulang petang).
Sebuah idealisme yang sekali lagi terbukti hanya omongan selangit. Menikah di jalan da’wah, menjadi wacana dan isu yang mampu membuat para aktivis Islam menggebu-gebu untuk segera menggenapkan diin. Namun dalam kenyataannya, pernikahan aktivis da’wah tidak jauh berbeda dengan pernikahan kebanyakan orang. Tidak ada atau sedikit yang memahami bagaimana beramal jama’i dalam bingkai rumah tangga untuk memberikan sesuatu kepada masyarakat. Binaul usroh muslimah adalah sebuah tahapan kedua yang harus dimaksimalkan setelah seseorang mengishlah keIslamannya. Artinya, dengan bergabungnya dua kekuatan dalam sebuah mitsaqon ghalidhon, seharusnya pun mampu memperkokoh bangunan da’wah di tengah masyarakat, sehingga visi ke tiga yakni irsyadul mujtama’ dapat disambut dengan cepat dan mudah.
Satu fikroh, satu visi-misi. Itu yang menjadi pertanyaan. Apakah itu hanya menjadi bukti otentik sejarah perjodohan dalam dunia aktivis? Ketika sudah dapat orangnya, “MoU” pun berubah. Menikah di jalan da’wah harusnya menjadi semangat untuk menegakkan Islam, bukan untuk kepentingan pribadi yang telah terbendung sekian lama. Internalisasi tarbiyah dalam diri setiap aktivispun perlu dimutaba’ah. Apakah tarbiyah yang selama ini dijalaninya telah mampu menjadikan dirinya pecinta Allah, Rasul Nya dan da’wah di jalanNya, sehingga ia rela mendahulukan cinta Nya di atas kepentingan pribadinya.
Dalam perbincangan dengan beberapa ummahat, salah satu dari mereka menyampaikan tentang hak suami atas istri. Beliau mengatakan bahwa,” Hak suami atas istri hanya sekian persen saja, bukan hak penuh.” Karena ada Allah, anaknya, dirinya sendiri, masyarakat, yang harus ditunaikannya juga. Jadi ketika ada yang mengatakan bahwa istri adalah hak penuh suaminya, maka saya fikir mereka hanya orang-orang egois yang ingin selalu terpenuhi hak-haknya.
Terkait hal lain, bahwa peran dan tanggung jawab muslimah (wajibatul mar’ah) yang tidak sedikit, yakni di antaranya :
1. Sebagai hamba Allah
2. Sebagai anak
3. Sebagai da’i
4. Sebagai anggota masyarakat
5. Sebagai istri
6. Sebagai ibu
peran-peran yang tidak saling mengeliminasi satu sama lain, ketika peran-peran terebut ditunaikan. Betapa berat tanggung jawab muslimah, terlepas mereka lajang atau menikah. Karena peran kekhalifahan untuk memakmurkan bumi itu tetap berada di pundaknya sebagai seorang wanita yang diciptakan untuk menjadi partner laki-laki.
Alangkah bijaknya, jika tugas berat itu tidak semakin berat dengan status baru yang disandang dari lajang menjadi menikah. Sekali lagi, seharusnya pernikahan menjadi semangat untuk menata masyarakat dengan Islam. Saling bekerja sama, meracik gagasan, bertukar pikiran dan tidak saling menuntut hak.
Bukan lagi Di jalan da’wah aku menikah, tetapi Untuk Da’wah aku Menikah.
Sebagai penutup ….
Untuk Allah, yang menjadi ghayah dalam setiap langkah kita dan kita rindukan pertemuan dengan Nya…bertakbirlah !
Untuk Rasulullah, yang menjadi qudwah dalam setiap amal dan kita harapkan syafa’atnya…. bertakbirlah !
Untuk Alqur’an, yang kita jadikan pedoman dan ruhnya mengalir dalam jiwa kita …bertakbirlah !
Untuk syahid, yang menjadi cita tertinggi dan kita rindukan kehadirannya disetiap amal kita… bertakbirlah !
ALLAHU AKBAR !!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar