“ Maaf mi, di kampus lagi banyak kerjaan. Lagian saya sudah ngajar, masa bolos lagi.” Muthi menjelaskan pelan.
“Yo wis lah terserah kamu aja …tapi pesan umi tadi, kamu pikirkan matang-matang ya …Jangan terburu-buru ngambil keputusan.” Umi pun berlalu meninggalkan Muthi’
Di teras rumah, Muthi’ tertegun. Pikirannya tak karuan, batinnya berkecamuk hebat. Siapa yang bisa memahami perasaannya ? Tidak ada. Semua tentang dirinya, dia simpan sendiri. Ingin sekali dia berlari dan berteriak sekeras mungkin, agar dia bisa memuntahkan semua yang ada dalam dadanya. Tapi …semua tak akan berarti apa-apa.
****
Selepas shubuh, Muthi sudah siap dengan tas ranselnya.Dia berpamitan dengan uminya dan kakak-kakaknya. Tak ada yang istimewa di pagi itu. Harapan Muthi’ yang mau tidak mau harus dia akui adalah ingin sekali dia sesekali di manja oleh uminya. Tapi, tidak mungkin. Dan Muthi’ pun sadar, dari mana dan di mana dia dibesarkan. Sepanjang perjalanan, di bus ekonomi yang jauh lebih tenang dari pada ketika ia pulang, Muthi’ termenung menatap jalan yang dilewati. Air matanya kembali menetes. Dia tak bisa membohongi dirinya. Rasa iri pada teman-temannya yang senantiasa bercerita tentang kedekatan mereka dengan ayah dan ibu mereka. Hubungan yang lebih indah ketika digambarkan selayaknya hubungan antara teman yang saling menguatkan. Tidak kaku, lepas, penuh canda dan kehangatan yang luar biasa. Ingin sekali dia merasakan itu semua. Namun…. sangat tidak mungkin baginya. Hal itulah yang membuatnya merasa sendiri. Dia membutuhkan teman yang mampu membuat jiwanya terbang bebas, tertawa lepas dan menangis bahagia. Oh …tidak. Lebih tepatnya dia membutuhkan seseorang yang akan selalu menemani hari-harinya. Menguatkan langkahnya dan membawanya pada kebahagiaan yang kekal sampai ke syurga Nya. Tangisnya pun semakin menjadi, ketika ia kembali memikirkan masa depannya. Harapan-harapannya yang sekali lagi tak sejalan dengan keinginan uminya. Ia membatin …
“ yaa Allah …inikah jawaban kebingunganku selama ini…? Apakah harapanku selalu tak seindah takdir yang Kau buat untukku? Yaa Rabb… katakanlah apa yang harus aku lakukan?”…. air matanya semakin deras mengalir. Dia coba menenangkan diri, setelah ditegur oleh kondektur bus yang mengecek karcis penumpang.
Kini ia semakin memahami apa yang dirasakannya selama ini. Perasaan yang sebenarnya tidak boleh dimilikinya. Namun dia hanya manusia. Tidak mungkin dia mengingkari fitrahnya, toh selama ini tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setibanya di Surakarta, semangatnya kembali memuncak ketika melihat teman-temannya yang sedang bermain dengan adik-adik jalanan di rumah singgah. Sesaat, seolah air mata yang sedari tadi banjir, terseka oleh senyuman yang mendadak sumringah. Dan duka pun seolah menguap ke angkasa. Halah…lebay. Ya, seperti itulah yang dirasakan Muthi’.
“ Hore …mba Muthi’ pulang…!!!! Ozan berjingkrak melihat Muthi’ pulang.
“ Mba bawa oleh-oleh dari Semarang nda …? “ Ozan langsung menagih.
“ Waduh, maaf Zan, mba nda sempet. Soale tadi buru-buru habis shubuh mba langsung terbang …” Muthi’ merunduk di depan Ozan.
“ Ozan, mba Muthi’ nya kan baru datang, ko’ udah di todong. “ Mba Indi menghampiri Ozan dan Muthi’ yang bertatap seperti melepas rindu satu bulan tak berjumpa.
“Muth, kamu istirahat dulu sana, tuh ..mata kamu kelihatan sayu. Pasti masih ngantuk.”
“ Ya mba, saya emang pingin istirahat. Tadi di bus pusing banget.”
“ Ozan, mba Muthi’ istirahat dulu ya… entar sore kita cerita lagi. Oce …???? Muthi’ mengacungkan dua jempolnya.
“Ocelah kalo begitu ….” Ozan membalas dengan dua jempol mungilnya.
Di kamar atas, Muthi’ menarik nafas panjang. Setidaknya fikirannya tidak lagi disibukkan oleh masalah beberapa jam yang lalu. Sejenak, ia pun berfikir. Apa yang harus dia lakukan? Ini harus segera diselesaikan. Apa ia perlu ceritakan hal ini pada mba’nya? Tapi apakah solutif? Yang ada malah nanti disuruh memutuskan sendiri. Huuuh … what should I do ? Muthi’ pun terpejam.
Selepas dhuhur, di ruang tamu, terlihat Ozan dan teman-temannya ramai membaca iqro’. Sementara itu, Muthi’ pun hanyut dalam lantunan surat Al Ahzab. “ Anak-anak … ayo waktunya makan siang !!!” Makanan sudah siap, ayo …!!! siang itu giliran mba Fani menjadi korlap untuk makan siang. Muthi’ hanya tersenyum melihat anak-anak langsung menyerbu ruang makan.
“ Muth’ baca qur’an opo ngelamun ? Mba Fani menegur.” Ayo makan. dari tadi juga belum kedengeran suaranya.”
“eh .. mba Fani. Ya, nanti aja mba. Belum laper.”
“ Yah nunggu laper, makanan juga udah habis.”
“ Nda apa-apa mba …. Mba makan aja dulu. “
“ Ya udah …mba masuk dulu ya …”. Muthi’ hanya membalas senyum.
Pikiran Muthi’ kembali berputar-putar, ia harus melakukan sesuatu agar hatinya benar-benar tenang. Tangannya merogoh saku gamis hitamnya. Setelah dapat, ia segera pencet-pencet tombol hpnya. Sejenak ia mikir, mencoba merangkai kata-kata yang pas dan tepat sasaran. Dan, terkirimlah smsnya …
“ Ayo dong mba Hesti, balas. Ojo suwe-suwe ….”. Muthi’ gelisah.
Lalu …
“ Muthi’ besok ada agenda jam 13? Kalo nda ada, mba tunggu di rumah ya …kita bicarakan dengan hati dan fikiran yang tenang, gimana? “ akhirnya mba Hesti menjawab.
“ Insya Allah mba …” . Sms terkirim ….
Muthi’ sedikit lebih tenang setelah mendapat jawaban dari mba Hesti. Orang yang dituakan dan sudah dianggap seperti kakaknya sendiri, bahkan lebih dekat dari saudara kandung. Ia pun kembali larut dalam lantunan Al Ahzab. Surakarta saat itu pun terasa lebih adem ….
“ Muth, nda makan ?” Mba Indi tiba-tiba sudah berdiri di belakang Muthi’.
“ Eeh …mba, nda laper mba.”
“ Kamu lagi ada masalah ya …”
“ Nda ko, oh ya… persiapan OMB gimana? Akh Ridho’ udah kasih penjelasan?”
Mba Indi tersenyum, “ Kamu tuh memang pinter mengalihkan pembicaraan. Bagaimanapun mba nda bisa kamu bohongi Muth. Yah…besok jam 9 kita syuro di sekre. Kamu penanggungjawab buat program tutorial. Besok kalo bisa udah ada konsepnya. “
“ Insya Allah mba.” Muthi’ menanggapi dengan senyum semangatnya.
“ Muth, mba pingin ngobrol sesuatu sama kamu. Tapi kaya’nya enakan di luar aja ngobrolnya. “
“ Boleh.”
Di bawah pohon mangga, Muthi dan mba Indi duduk berdua di atas kursi kayu sederhana.
“ Gini Muth, mba ingin menyampaikan sesuatu yang cukup rahasia. “
“Rahasia ???? tentang apa?
“Tentang mba. Kenapa mba mau cerita rahasia mba ke Muthi’, karena mba rasa kita sudah seperti kakak-adik. Suka dan duka sering kita bagi bersama. Jadi tidak ada salahnya mba pun ingin berbagi dengan Muthi’ . Dan juga mba yakin, Muthi’ bisa jaga rahasia ini. “
“Insya Allah mba.”
“ Tapi Muthi’ jangan kaget denger cerita mba ya …”
“ emang apaan sich …” Muthi’ tidak sabar ingin denger cerita mba Indi
“ Ehm … tiga hari yang lalu …. mba “ditembak”.
“ WHATTTT !!!!”
“ tenang Muth ….Mba “ditembak” tapi tidak langsung. Mba Tri yang bilang ke mba, bahwa…ada ikhwan yang minta mba untuk menikah dengannya.”
“ Boleh Muthi’ tahu siapa ikhwannya ?”
“ Ya, Muthi kenal ko’ orangnya ….Faturrahman Ridho’.
Betapa shocknya Muthi’ mendengar nama itu disebut. Nama yang selama ini dia harapkan akan menjadi pengukuh namannya saat berita besar itu dikabarkan ke seantero kota. Dan kini …Yah ….dia memang pantas mendapatkan yang terbaik. Dan mba Indi adalah aktivis yang cukup loyal dan terbaik di mata teman-teman di LDK dan juga di kampus. Cocok.
“ Muth, kamu nda apa-apa kan ?”
“ nda, saya nda apa-apa. Ko’ bisa akh Ridho ?” ah …dia membatin, kenapa harus bertanya seperti itu.
“ Entahlah Muth …mba juga kaget. Jujur mba nda menyangka beliau bakal berani meminta mba. “
” Maksudnya ….? “
Mba Indi menatap Muthi’ lama dan penuh cemas ….
“ Muth …. jujur selama ini mba pun pernah mengharapkan beliau. Yah …mungkin mba terlalu GR dengan sikapnya yang mba rasa sedikit berbeda kepada mba.”
Muthi’ semakin shock dengan pernyataan mba Indi. Namun ia mencoba tenang.
“ Mba pernah sampaikan ini ke …”
“ Ya ..udah. Mba Tri meminta mba untuk menetralkan semuanya. Dan … ya, agak susah Muth. Sampai akhirnya beliau ternyata datang. Tapi Muthi’ percaya sama mba ya, mba dan beliau tak pernah terjadi apapun ….”
“ Ya ..Muthi’ percaya. Terus … kapan ?
“ Insya Allah pekan depan mba di khitbah. Dan rencana akadnya maksimal akhir bulan depan.”
“ Subhanallah, cepat sekali. Mudah-mudahan dimudahkan segalanya. Terus rencana ke depan, mba mau kemana ? “
“ Itu belum dibicarakan Muth, kemungkinan masih di sini, tapi afwan, nda di rumah singgah lagi.”
“ ya iyalah…masa pengantin baru tinggal di rumah singgah. Kasihan amat sich …”
“ Haaa …haaa..haaaa.,” keduanya tertawa lepas, memecah kesunyian yang sedari tadi menemani.
“ Alhamdulillah, udah ashar mba, hayu masuk. Mba jadi korlap ya … kan untuk yang terakhir sebelum pergi …”
“ Muthi’ … mba nda ingin pergi dari sini. Mba ingin selalu di sini, bersama Muthi’ dan anak-anak itu …”
“ Udah …jangan bikin saya nangis. Barokallah ya …” Muthi merangkul mba Indi dan menggandengnya masuk.
Seperti biasa anak-anak mulai heboh mempersiapkan diri untuk shalat. Mba Indi giliran jadi korlap, kelihatan kerepotan menghadapi anak-anak yang ramenya luar biasa. Terpaksa deh peluit dibunyikan. Dan …. shalat Ashar pun berjalan dengan tenang.
Selepas shalat Muthi’ langsung menuju kamarnya. “ Mba Muthi’ katanya mau cerita lagi….? Ozan mencegah.
“ Oh ya … ehm, ceritanya sama mba Indi dulu ya…Insya Allah, besok sore dech ..mba cerita yang seru-sere, oce …” .
“ Yah, ya udah deh. Ozan berbalik dengan kecewa. “ Muthi’ terlihat menyesal menunda ceritanya sore itu. Tapi apa boleh buat. Ia harus mengejar deadline konsep tutorial.
“ Maafkan mba ya de ….”. Muthi’ pun berbalik ke kamarnya.
Tiga halaman mushafnya selesai dibaca. Sejenak, dia memikirkan pembicaraannya dengan mba Indi tadi siang. Huuh …. “ Yaa Rabb, kenapa selalu ada kebuntuan di saat aku membutuhkan pemecahan…? Ia membatin. Ia termenung menatap awan yang indah berarak di langit sore, dan air matanya pun menetes.
” TIDAK !!!! aku tidak boleh seperti ini. Dia bukan segala-galanya, dan dia bukan yang terbaik untukku. Hanya Allah yang terbaik untukku dan aku yakin akan iradah Nya yang tak pernah salah. “ Muthi’ mengepalkan tangannya, menyemangati diri.
Segera ia buka notebooknya, menyusun program untuk tutorial. Besok harus dipresentasikan. Jari-jarinya yang kurus lincah memainkan tombol keyboard menterjemahkan semua isi kepalanya. Sesekali ia terdiam, setiap kata yang disampaikan mba Indi tadi siang, masih berputar-putar di kepalanya. Kembali ia mencoba mengembalikan konsentrasinya menyelesaikan program yang sedang disusunnya. Sore itu, rintik hujan mulai meramaikan genteng-genteng rumah. Bibirnya tersenyum simpul.
“ Ahhh …aku sangat senang mendengar suara rintik itu. Damai …. nulis dulu ah !“ Muthi’ bergumam dan ia mencoba menguraikan kata-kata demi kata yang saat itu menguasai ruang hatinya yang melankolis.
…….
Tahukah engkau bahwa aku begitu menyukai langit ?
Aku menyukai birunya yang semangat …
Aku menyukai putih awannya yang bijak bergerak
Aku menyukai hamparan luasnya yang lapang terbentang …
Tahukah engkau ….betapa aku mengagumi bulan?
Aku mengagumi kemantapan tahtanya yang menyanding benda-benda angkasa yang anggun bercahaya …
Aku mengagumi sabitnya yang redup menyusup
Aku mengagumi purnamanya yang hangat memikat
Tahukah engkau betapa aku mencintai hujan?
Aku mencintai suara merdunya yang mengguyur rumah-rumah dan perkampungan
Aku mencintai sejuk tubuhnya yang menyelimuti dunia
Aku mencintai ramah wajahnya yang menyentak keresahan
Tahukah engkau …betapa aku terpukau pada hutan ?
Aku terpukau hijaunya yang permai
Aku terpukau pada teduhnya yang senantiasa …
Aku terpukau pada penghuninya yang beraneka ….
“ Subhanallah, indah sekali suasana seperti ini. Yaa Rabb … jangan biarkan damai ini pergi. Jangan biarkan semuanya berlalu. Hanya pada Mu, tempatku berteduh dari semua kepalsuan dunia …” Amin.
Sore itu, Muthi’ kembali mengumpulkan semangatnya. Ia tidak mungkin terus terpuruk oleh kesedihan. Hujan menemani dengan riuhnya yang semangat bertasbih. Jari-jarinya semakin semangat memuntahkan isi otaknya dengan memainkan tombol-tombol keyboardnya. Hujanpun berhenti seiring dengan kembalinya sang surya ke peraduannya. Dan lirih adzan maghrib mulai bersautan. Muthi’ pun segera mengakhiri pekerjaannya.
“ Ayo anak-anak … siap-siap !!!! mba Urwah mulai mengomandoi shalat Maghrib.
“ Ayo Muthi’ giliran kamu jadi imam …”
“ Yuuukkk …”
Rapih …indah… khusyu’… Surakarta baru saja diguyur hujan. Keheningan yang menyergap di waktu maghrib itu menyeruak ke dalam jiwa-jiwa yang tenang dan menenangkan. Serak suara sang imam maghrib itu semakin menambah kesyahduan. Satu per satu isak tangis kekhusyu’an pun menghanyutkan jiwa-jiwa itu pada penghambaan yang tulus. Dan ….
“ Alhamdulillah…” mba Urwah berbalik ke arah anak-anak membimbing mereka berdo’a. Dan bersiap untuk makan malam.
“ Ayo anak-anak .... waktunya makan malam. nanti habis itu langsung siap-siap lagi buat baca Asma’ul husna dan shalat Isya’. Oke …!!!!
“ OOOOKEEEEE !!!!!” paduan suara yang sangat nyaring bunyinya.
“ Ayo Muth’ makan, perasaan nda lihat kamu ikut makan siang? Kenapa ? Diet ?”
“ Diet? mau jadi kaya’ apa kalo aku diet mba? ntar dikira tiang listrik berjalan. Hayu makan …”
Lucunya melihat anak-anak itu makan. Apalagi si ustadz kecil Ozan … Ah…anak itu memang jadi hiburan tersendiri di rumah singgah itu.
“ Mba Muthi’ ntar habis shalat Isya’ belajarin bahasa Inggris ya …”
“ yaa pak ustadz …PR yang waktu kemarin dah di kerjain belum ? “
“ Udah donk mba …kan Ozan anak yang rajin, betul ..betul…betul …? “
“ Huuuh …. “ Wahyu menimpali.
“ udah, yang rajin sama yang nda rajin, yang jujur sama yang bohong nanti juga ketahuan sendiri. Dan juga akan ditanggung sendiri akibatnya. jadi kalo kita pingin rajin, nda usah bandingin dengan teman-teman yang nda rajin, yang enak-enakan main. Allah sangat suka dengan anak-anak yang rajin menuntut ilmu. Mau nda disukai Allah? “
“ Mauuuuuu ….. !!!” kompak.
“ Mba Muthi ….mba Muthi …Luthfi besok naik ke Iqro’ enam lho …”
“ Oh yaaa… alhamdulillah. Yang makin yaa nak. “ Muthi’ mengelus kepala bocah kecil itu.
“ Yap ….ayo makan jangan sambil bersuara. Yang udah selesai siap-siap ke tempat shalat lagi.” mba Urwah memang korlap yang disiplin.
Mba Fani dan Muthi’ membereskan ruang makan, sementara itu anak-anak bersiap ke tempat shalat di komandoi mba Urwah dan mba Indi.
“ Yaa Allah ..yaa Rahman, yaa rakhiim yaa Malik …yaaa Kudus …yaa Salaam…yaa Mu’min…yaa Muhaimin ….” lantunan asma’ul husna mulai terdengar. Suara polos anak-anak itu cukup membuat merinding dan menyentak ke hati.
to be continued ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar