Minggu, 29 Mei 2011

Mencari "Potongan Puzzle"

“ Jenuh, potongan puzzle yang hilang belum ketemu juga.” Pesan singkat dari seorang teman.
Puzzle, permainan yang biasa dilakukan oleh anak-anak juga orang dewasa ketika mereka merasa jenuh dengan aktivitas mereka. Meski terkesan iseng dan buang-buang waktu, namun ternyata permainan puzzle cukup efektif melatih konsentrasi dan ketepatan dalam mengatur langkah berfikir. Tidak sedikit orang-orang yang tingkat jenuhnya tinggi dalam pekerjaannya, selalu ada kotak puzzle di dalam tasnya atau di atas meja kerjanya.
Media puzzle memang sangat membantu dalam meningkatkan kreativitas anak. Puzzle juga melatih mereka berfikir strategic, dan ini sangat bermanfaat dalam membentuk pola pikir anak ketika besar nanti. Bisa dipastikan, akan ada perbedaan yang signifikan antara perkembangan otak anak-anak yang ketika kecilnya bermain dengan mainan edukatif dan anak-anak yang bermain dengan mainan pada umumnya, bebonekaan atau mobil-mobilan.
Pesan singkat dari seorang teman di atas, bukanlah dia jenuh karena potongan puzzle mainannya hilang dan belum diketemukan. Potongan puzzle itu adalah maksud implisit dari sebuah perasaannya yang dingin dan sendiri. Puzzle yang dia maksudkan adalah bagian-bagian kehidupannya yang tengah dia susun. Dan potongan puzzle yang sedang dia cari adalah bagian dari kehidupannya yang cukup ‘sulit’ disentuh dan disatukan dengan bagian yang lain.
Menarik memang. Menganalogikan kehidupan ini bagaikan menggabungkan puzzle, satu demi satu sampai utuh sempurna. Karena memang kehidupan ini harus berproses, terus mendaki dan bergulir mengeksekusi episode demi episodenya. Di setiap episode itulah, puzzle itu disusun. Setiap episode yang bergulir, ia menyempurnakan keutuhan proses kehidupan yang bertema.
Adakalanya, kita mampu menyusun sepenggal cerita hidup dalam sebuah episode secara utuh, rampung hingga akhirnya. Namun, disatu episode yang lain, kita terlalu sulit menyusun puzzle kehidupan kita karena jarak atau waktu yang menjauhkan, atau karena potongan puzzlenya itu tidak mudah disatukan. Mereka tercerai dan masing-masing menghilang.
Pesan dari seorang teman itu, adalah pengungkapan jujur seorang lajang yang tengah menanti atau juga mungkin mencari potongan puzzle kehidupannya, untuk dia ingin segera diketemukan dan digenapkannya menjadi kehidupannya yang utuh, tidak pincang, seimbang dan berharmoni. Sedikit menggelitik mungkin ungkapan ini, namun begitulah maksudnya. Sedikit berlebihan mungkin, namun memang itulah realita yang bukan merupakan kemunafikan.
Semuanya bergulir alamiyah. Waktu yang ada saat ini, ia telah menggantikan masa dulu yang mungkin masih dipenuhi oleh cerita-cerita nan polos sesuai karakter diri. Namun saat ini adalah masa yang tengah sampai pada waktu yang jauh dari titik permulaan ia bergulir. Karakter yang ditempa oleh perjalanannya, membekas dalam sebuah bingkai berkarakter baru yang coraknya tidak lagi cerah memerah jambu, namun semakin gelap dan meredup.
Inilah masa yang sulit untuk dilewati. Meski banyak pula orang-orang yang berada pada situasi ini, mereka mampu bertahan dengan pertahanan yang sempurna. Mereka tidak meratapi salah satu potongan puzzle terpenting kehidupannya yang belum diketemukan. Tidak masalah, karena masih ada potongan-potongan puzzle lain yang susunannya lebih mudah diutuhkan.
“Potongan puzzle” itu adalah perasaan fitrahnya yang tidak bisa disembunyikan dari kesibukan fisik dan pikirannya. Meski waktu juga kadang menutup celah untuk mencari potongan itu, namun tetap saja dia tak jarang muncul di tengah-tengah kelelahan. Inilah yang mungkin dirasa berat oleh temanku. Jika saja ‘potongan puzzle’ itu dia genggam, mungkin ia dapat membagi cerita hidupnya atau lelah yang menyelimutinya. Setidaknya, ruang hatinya tidak selalu penuh dengan rasa monoton seperti hari-harinya. Pergi pagi pulang petang, malam terkapar.
Namun, ia kadang menyerah untuk tidak lagi mencari dan berharap menemukan ‘potongan puzzle’nya. Useless. Hanya menyisakan lelah. Harapannya bertepuk sebelah tangan, tidak ada dukungan, hanya wejangan-wejangan lama yang menjenuhkan. Kini temanku semakin dingin ketika bercerita ‘potongan puzzle’nya. Biarlah waktu yang menjawab. Toh, ia juga rahasia Nya.
Ya, ia adalah rahasia Nya. Sekuat apapun usaha manusia untuk memecahkannya, Dia tetap lebih berkuasa dalam menetapkan. Dan ‘potongan puzzle’ itu kini dibiarkannya berlalu dari pikiran dan hatinya. Tidak perlu agresive menceritakan kerinduannya pada ‘potongan puzzle’ . Jika memang ia kelak menjadi bagian kehidupanya yang utuh, maka pasti ia akan diketemukan pada tempat dan waktu yang tepat. Insya Allah []

Untuk teman seperjuanganku, sabarlah Insya Allah ‘potongan puzzle’mu pasti kau ketemukan ^_^

Sabtu, 01 Januari 2011

Yakin, Tak Ada Yang Mustahil

Mimpi, itulah yang menggerakkan kaki untuk melangkah, tangan untuk menggenggam, mata untuk terjaga, dan bibir untuk terus berharap. Tak ada salahnya seseorang bermimpi. Bukan sekedar mimpi tentunya. Mimpi yang tak sekedar bunga tidur di malam hari, tetapi menggelayut di alam fikir tatkala fajar menjelang hingga kembali ke peraduan.
Dalam perjalanan hidup manusia, amatlah hampa jika tak punya mimpi. Tak ada warna yang berpadu menghiasi wajah perjalanan. Dan ternyata banyak manusia yang takut bermimpi. Mereka takut jika itu benar-benar mimpi yang tak beroleh. Pun aku. Aku pernah takut bermimpi. Tak berani menginginkan sesuatu yang bagiku mustahil. Meski aku sadar, ini adalah pemikiran bodoh.
Semakin mendaki ke puncak, maka akan semakin berat dan lelah pula kaki melangkah. Semakin besar tantangan yang siap menyapa. Dan mungkin, mustahil mimpi-mimpi itu digapai. Dibutuhkan keyakinan yang tak kecil agar ia tetap berpijak pada jalannya, agar mimpi-mimpi tak terkubur bersama hadirnya lelah dan bosan. Dan sekali lagi, tak sedikit dari mereka yang menghentikan langkah ketika bosan dan putus asa menghadang.
Di episode yang tak seperti dulu lagi, saat usia tak bisa diartikan sama dengan aktivitas dimasa lalu, hajat diri untuk semakin bermimpi pun rasanya semakin menguat. Namun sayangnya, tak sekuat itu pula energi yang tersisa. Ada keterbatasan dan kelemahan yang menyeka langkah. Mengobrak-abrik tatanan idealisme yang selama ini terancang di dalam fikirku. Akankah mimpi-mimpiku terwujud? Pertanyaan itu tak jarang meracuni keyakinanku.
Langkahku pun kemudian tak seharmoni dulu. Lunglai dan mengikuti arus. Aku tahu aku salah. Idealismeku sekejap runtuh. Realita yang selalu tak sejalan dengan mimpi-mimpi yang dirangkai. Mensinergiskan langkah dengan realita yang tak seimbang sungguh sangat berat. Sesaat, terlintas untuk mengakhiri semuanya. Menjadi manusia minimalis yang tak punya mimpi, memaknai hidup apa adanya, tanpa ada cerita rumit yang harus difikirkan, atau kekhawatiran akan kegagalan yang siap hadir. Hidup datar seperti kebanyakan manusia.
Namun ternyata tak semudah itu mengkubur mimpi. Kesulitan yang menjadikan diri ini mustahil meraih tiap hajatnya, pelan-pelan mulai tak berarti apa-apa. Sunnatullah berbicara. Tak selalu kesulitan itu menjadi cerita. Ada kabar gembira yang begitu luar biasa menyentak dinding jiwa. Mengharu biru, menitik bening bahagia dan mengurai syukur yang panjang. Kepasrahan di tengah usaha telah menjadi Firdaus di ujung sahara. Itulah yang mungkin terfikir mustahil bagi akal manusia lemah.
Kebosanan akan kesulitan dan kemustahilan pada sebuah mimpi, ia pun kian rapuh membelenggu. Ia tak lagi menjadi hantu di siang hari atau mimpi buruk di malam hari. Benarlah ketika Tuhan mengatakan, “faidzaa ‘azzamta fa tawakkal’alallah”. Itulah kekuatan yang perlu kembali digenggam. Agar mimpi itu pun menjadi takdir yang niscaya. Yakin, tak ada yang mustahil bagi Nya.
Lebih dari itu, untaian kata penuh harap dan memelas yang tak terputus oleh optimisme, semakin mudah bagi Nya membuat takdir yang indah untuk manusia. Yakin, tak ada yang mustahil bagi Nya untuk menumpahkan rahmat bagi manusia yang tak jemu mendekat dengan kedekatan yang semakin.
Bismillah, dengannya kaki ini melangkah menata hidup, menggambarnya di atas kanvas putih kehidupan. Bercorak indah oleh gradasi warna yang semakin terang, menawan, semoga seperti itu pun keniscayaan dari Tuhan untuk manusia.

Sebuah Peta Masa Depan

Kota Udang, 29 Desember 2010


Perjuangan memang selalu menjadi cerita menarik dalam sebuah dinamika waktu. Ia tak pernah jeda untuk menjadi tema besar yang selalu ada dalam sebuah jagat eksistensi. Ia menjadi parameter kegemilangan masa depan seluruh makhluq, tak hanya manusia. Segala bekal potensi yang ada, dikerahkan demi hasil perjuangan yang memuaskan.
Perjuangan tak akan mungkin ia berjalan sendiri. Ia membutuhkan pengorbanan sebagai teman perjalanan. Keduanya akan selalu berjalan beriringan, hingga cita-cita yang diharapkan hadir di penghujung lelah. Cita-cita itu pun adalah sebuah keniscayaan, ia berbanding lurus dengan perjuangan dan pengorbanan.
Perjuangan, ia adalah titik awal kehidupan dimulai, kemudian berproses dan akhirnya tamat. Siapa yang berhenti berjuang, maka ia menghentikan denyut nadi kehidupannya. Tak ada sejarah yang bergulir menjadi cerita. Padahal, sejatinya ia adalah warisan yang tak akan pernah habis.
Menapaki setiap detik waktu baru yang bergulir, menghajatkan diri untuk terus berkarya. Melukis sejarah di atas kanvas kehidupan, memang tak mudah. Terkadang, gradasi warna yang ada, tak sesuai dengan keinginan. Tangan ini pun harus bergerak lincah memainkan kuas, memadukan warna demi warna agar ia serasi di pandang.
Detik ini, di tengah keterbatasan yang ada, sedikit kekuatan yang ada tak boleh ia disia-siakan. Satu per satu pintu-pintu masa depan mulai terbuka. Satu per satu kesempatan berhamburan menyambangi diri yang terdiam, terpaku oleh kebisuan, terpasung oleh keraguan dan kepasrahan yang salah.
Aset termahal dalam hidup pun menggugat. Ia adalah taruhan antara kegagalan atau kegemilangan. Mundur atau maju. Berjuang atau diam. Sebuah peta masa depan yang semakin jelas tergambar, kini telah lekat di alam fikir. Ya, ia adalah kekuatan yang semakin menguat dan mengikat jiwa untuk terus bergerak bersama waktu yang semakin membawa pada gerbang perpisahan. Jiwa, di tengah-tengah kesendiriannya, ia tak boleh lemah. Pena telah menulis takdirnya di Lauh sana.
Lima tahun sudah, kaki ini berjalan menapaki satu per satu tangga kehidupan di bawah atmosfer yang berbeda. Lelah yang senantiasa menjadi teman, hiruk pikuk problema hidup yang tak kenal jeda, kini telah mampu dimaknai sebagai hiasan yang kadang dirindu hadir. Lima tahun sudah, kaki ini melangkah mengejar cita-cita yang tak pernah bosan aku memimpikannya.
Kini, di episode baru kehidupan yang semakin ramai perpaduan warnanya, pun menggugat diri ini untuk terus berhajat menuntaskan satu demi satu mimpi yang telah terlalu lama mengendap. Rumit memang, karena mereka adalah rangkaian cerita di masa yang akan datang. Mereka memang sangat rahasia. Oleh karenanya, hanya kekuatan optimis yang mampu mendobrak pintu rahasia itu menjadi keniscayaan.
Di lima tahun ini, kematangan jiwa yang semakin, tak boleh ia dipatahkan oleh kegagalan yang mungkin akan kembali menyapa. Tidak bermaksud pesimis, namun kegagalan pun adalah cerita yang tak jarang lekat mewarnai kanvas kehidupan manusia. Dengan kematangan jiwa yang ada, setidaknya kanvas itu menyiratkan warna yang lebih bersemangat, tidak lagi buram.
Di akhir tahun kelima ini, di senja ini adalah titik baru peta masa depan itu digambar. Bergerak di atas keterbatasan yang ada, ku pahat sejarah di sini, ku rangkai cerita dan ku torehkan warna indah di atas kanvas kehidupan. Dan esok adalah keniscayaan yang tak akan sia-sia. Insya Allah.

Teguhlah Sekali Lagi

Hidup adalah belajar. Belajar ikhlas meski terbebani, belajar mengasihi meski tersakiti, belajar memahami meski tak sehati, belajar mengalah dari suatu keegoisan, dan belajar sabar dari sebuah kemarahan.

Senja ini, skenario lama kembali terulang. Sekali lagi, begitu indah di akhirnya. Tenang, damai, meski sesaat sebelumnya bening lara telah kembali terurai. Setiap detik dalam hidup ini adalah pembelajaran. Duka yang menyapa, senyum yang tersimpulkan, tawa yang menghangatkan, semua itu adalah pembelajaran bagi manusia dari Tuhan. Pembelajaran mahal lagi sulit, namun kebanyakan manusia tak memahaminya, serta menjadikannya sebagai sebatas kisah yang datang dan pergi.
Senja ini, ia mengatakan padaku, “Teguhlah engkau sekali lagi wahai kawan. Teguh untuk yang kesekian kali, terus, dan teruslah teguh. Keteguhan itulah jalan kesabaranmu. Dan kesabaran itulah kekuatanmu.” Meski ternyata senja ini ia kembali temaram, namun ia menyemangatiku agar cahaya kekuatanku tak turut temaram. Tentu itu tak mudah. Dan karenanya,aku harus belajar.
Senja ini, Dia mengajarkanku bagaimana bertahan di atas kelemahan dan keterbatasan. Bagaimana kesulitan harus kupecahkan, serta bagaimana ku harus berdiri di atas guncangnya tapak eksistensi yang selama ini terjaga. Sekali lagi tak mudah. Pelajaran yang Dia berikanpun, tak mudah ku fahami. Soal yang ku hadapi, tak mudah kujawab. Lelah tentunya fikiran ini. Namun sekali lagi, aku harus belajar.
Senja ini, aku merasa kerdil di atas ketetapan Nya. Hanya kepasrahan yang mampu menguatkanku di hadapan Nya dan di jagat eksistensi ini. Seperti apapun wajah senja kali ini, pembelajaran tetap menjadi keharusan untuk disimpulkan maknanya. Ya, kesimpulan tentang sebuah jawaban yang mungkin pahit atau manis untuk dijalankan.
Senja ini, setidaknya memaksaku untuk menjadi manusia yang lebih baik, lebih bijak, lebih teguh, dan segala kelebihan lain yang belum mampu kumiliki sebagai karakter diri. Bersikap selayaknya manusia pembelajar yang pantang menyerah meski ia salah. Dan tentu, dalam setiap kesalahan yang tak ayal mungkin terulang, ada pendewasaan yang harus dimunculkan demi perbaikan diri.
Senja ini, sebuah tekad harus kembali diperbaharui. Tekad untuk berlepas dari segala keterbatasan dan kelemahan yang melelahkan. Mungkin akan berat di awal. Tapi ia harus. Setidaknya, nanti ketika satu pintu telah terbuka akan ada pintu-pintu lain yang terbuka. Saat ini, tekadku harus selalu ku jaga, agar segera ku dapatkan kunci untuk membuka pintu-pintu. Dibutuhkan kesabaran yang tak kecil, dan untuk itu, aku harus belajar.
Senja ini, meski aku kembali kalah dan roboh, namun ia menyisakan kekuatan untuk bangkit mendobrak segala kelemahan. Detik ini, sebuah pembelajaran mahal yang tidak boleh dilupakan adalah belajarlah menghargai sebuah pengorbanan dan menjaga sebuah kepercayaan yang sejatinya keduanya adalah tali pengikat yang tak akan lapuk oleh habisnya usia.
Senja ini, aku tertunduk lemah. Di tengah ketidakberdayaan, aku berpasrah kepada Rabb Penggenggam Jiwa. Berserah segala urusan hidup dan mati. Di bawah pengawasan Nya yang tak mungkin lengah, keyakinan pada sebuah janji yang tak mungkin teringkari pun semakin menguat. Dan senja ini, adalah senja terindah yang mengajarkanku arti hidup yang lebih bermakna, tentang sebuah perjuangan yang tak boleh dihentikan, dan pengorbanan yang tak boleh diremehkan.

Senja ini, aku menjadi manusia baru.[]

Selasa, 30 November 2010

Ayah, Antarkan Aku Menuju Gerbang Itu ...!

Gerbang pertama
Refleksi Cinta Untuk Peradaban

Deklarasi cinta pertama yang menggetarkan. Tatkala mitsqon gholidzon itu disaksikan oleh seluruh makhluq di langit dan di bumi. Ia pun adalah gerbang pertama memasuki dimensi waktu yang di dalamnya berbagai skenario dijalankan. Awal gerbang itu dibuka, segala keindahan menjadi hiasan mata. Jiwa melambung tinggi dan raga tertunduk khusyu’ mensyukuri setitik nikmat penghuni syurga yang diturunkan ke bumi. Sebuah anugerah fitriah yang membuktikan betapa Penguasa Alam ini begitu Maha Pengasih dengan kehendak Nya yang menghimpun hati-hati yang sebelumnya terserak. Dan darinya ditiupkankanlah cinta Nya yang menjelma sebagai kekuatan yang semakin mengikat kedua hati.
Itulah kekuatan cinta yang menjadi narasi kehidupan menuju gerbang selanjutnya. Seperti apa narasi itu disusun, tergantung pada tema besar yang disepakati di awal. Menjadi fatal, manakala tema besar itu tak terfikirkan, apalagi tak terancang. Atau manakala ia hanya disikapi sama dengan penyikapan kebanyakan manusia. Padahal dari sanalah awal bencana atau kebahagiaan bermula.
Ya, dimensi waktu yang membawa cinta dalam sebuah institusi bernama keluarga, tak sedikit hanya difikirkan sebagai kebutuhan individu yang nyaris kering dari penamaan tema besar. Akhirnya, kita saksikan bersama, institusi itu banyak melahirkan generasi-generasi lemah dan melemahkan. Rusak dan merusak. Sebuah refleksi yang agaknya perlu dihadirkan dalam ruang kontemplasi akan sebuah pesan sakral :
“Hai manusia bertaqwalah kepada Rabb yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Allah menciptakan istrimu. Dari keduanya Allah mengembangbiakan laki-laki dan wanita yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. “( Q.S. An Nisaa’ : 1)
Sangat jelas, pesan yang mengisyaratkan bahwa dasar kehidupan manusia adalah keluarga. Sang Khaliq menghendaki agar “tanaman” di muka bumi ini dimulai dengan sebuah keluarga. Terbentuknya sebuah keluarga yang terdiri dari suami-istri, “dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan wanita yang banyak.” Allah swt berkehendak terhadap sesuatu yang diketahuiNya dan terhadap suatu hikmah yang dimaksudkan Nya, yaitu hendak mengembangkan jalinan kerahiman. Dimulailah hal itu dengan koneksi rubbubiyah yang merupakan pangkal dan awal segala koneksi dan berikutnya adalah koneksi rahim (kekeluargaan). Maka terwujudlah keluarga pertama yang terdiri dari seorang laki-laki dan wanita, yang keduanya dari diri yang satu dengan tabiat dan fitrah yang satu. Dan di atas ini semua, dengan landasan aqidah, berdirilah tatanan masyarakat. Maka, Islam pun mengatur agar ikatan kekeluargaan ini tetap terpelihara, kokoh, mantap dan terlindungi dari segala yang melemahkan.
Selanjutnya, inilah yang menjadi misi bersama yang tidak mungkin termandatkan hanya pada salah satu manager institusi. Peran managerial menjaga dan melindungi aset yang juga adalah amanah, haruslah menjadi pemikiran bersama dalam merancang peta kemana dan bagaimana amanah itu dihantarkan pada hakikat awal pemberiannya. Singkatnya, meskipun dalam aplikasinya ada semacam job division, tetapi peran yang satu ini tetaplah menjadi peran koalisi yang saling mengisi. Sinergisasi peran yang tidak terkotak pada salah satu definitif peran yang ternyata membuka ruang permasalahan yang semakin lebar dikemudian hari. Paradigma berfikir yang berkembang pun perlu diluruskan, guna tidak menjadi racun yang mematikan pelan-pelan karakter yang seharusnya ditanam sejak awal.
Perumusan paradigma inilah yang menjadi kunci pertama yang harus dirancang agar pintu menuju ruang yang bernama kerja sama dapat ditata dengan apik dan rapih. Oleh karenanya dibutuhkan kelapangan hati, kearifan berfikir dan kesamaan cita-cita dalam merumuskannya. Tema besar seperti apa yang akan di “pajang” di atas gerbang institusi itu dan langkah-langkah seperti apa yang akan diwujudkan dalam mengejawantahkannya.
Ya, secara jelasnya, institusi yang bernama keluarga itu, adalah tempat pertama disemainya benih peradaban yang bernama anak. Kenaifan berfikir yang tidak sedikit kemudian membuahkan fatalisme dalam perjalanannya. Sebagai contoh real dalam masyarakat, ketika peran ini didefinitifkan pada satu pihak (ibu, sebagai pemegang peran domestik), tidak sedikit anak-anak yang mengalami disorder in development. Meskipun ibu memiliki berjuta cara untuk memegang kendali pendidikan anaknya, namun tetap saja, ada semacam kekuatan yang harus diberikan dari sentuhan tangan ayah, dari kecupan ayah, dari kebersamaan dengannya yang mampu menumbuhkan kekuatan emosional yang baik pada diri anak.
Banyak kita jumpai dalam kehidupan kini, seorang ayah merasa telah bertanggung jawab terhadap keluarganya dengan pergi pagi pulang petang mencari nafkah. Sesampainya di rumah, apa yang terjadi di rumah terkait dengan urusan PR anak, bercanda bersama mereka atau moment desperate istrinya, termaklumkan karena lelah yang tersisa. Seakan ada pemaafan yang tersirat manakala ayah “mengundurkan” diri dari tugas parenting dan keberadaannya sebagai qowam. Walhasil, hubungan yang terwujud di antara keduanya, persis hubungan antara seorang majikan dan bawahannya. Atau, ayah adalah sebagai ayah yang harus dihormati, tak boleh diganggu yang akhirnya ada keseganan bagi anak untuk sekedar menyapa ayahnya. Yang paling fatal adalah anak yang tak merasa memiliki ayah, meskipun secara fisik ia ada.
Secara psikologi, anak membutuhkan peran ayah. Baik fisiknya, pemikirannya, perhatiannya dan juga nasihatnya. Karena ada sesuatu pada diri ayah yang tidak dimiliki oleh ibu. Ada sebuah nasihat dari sahabat Ali bin Abi Thalib terkait dengan pendidikan anak, beliau berkata,” Pada usia tujuh tahun pertama posisikan anakmu selayaknya seorang raja. Pada tujuh tahun kedua, posisikan anakmu dengan mendidiknya sebagaimana seorang tentara, dan pada tujuh tahun ketiga didiklah anakmu dengan menjadikanmu sebagai teman baginya.”
Pada fase perkembangannya, anak membutuhkan peran pendukung sekaligus pembentuk dirinya dari luar, yakni ayah dan ibunya. Ketika hal itu tidak didapatkan anak dari keduanya, maka secara psikologi untuk memenuhi kebutuhan itu, anak akan mencarinya di dunia luar. Inilah yang kemudian menjadi awal bencana atau bisa jadi kebaikan bagi anak sendiri dan juga bagi keluarga. Banyak anak yang perkembangannya dipenuhi dengan nilai-nilai negatif, karena mereka mencari kebutuhan itu pada tempat dan orang yang tidak tepat. Namun tak sedikit pula mereka yang mendapatkan kebaikan dalam pencarian jati dirinya, karena mereka mendapatkan pada tempat dan dari orang yang benar pula.
Kondisi ini mungkin bagi sebagian orang adalah biasa. Disorder in children development hanya disikapi sebagai akibat negatif lingkungan dan media. Tanpa ada usaha dari para orang tua, setidaknya, instrospeksi akan tanggung jawabnya mendampingi mereka. Terjadi kemudian dalam keluarga, sikap saling menyalahkan antara ibu dan ayah. Ayah menyalahkan ibu yang dianggap tidak telaten ngurusi anak, atau ibu yang menggugat ayah yang terlalu sibuk dengan dunia kerja.
Sejatinya, kedua manager institusi keluarga mesti menyadari dan merasakan bahwa mereka memikul amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya keduanya senantiasa memerlukan keseimbangan yang sehat dalam kepemimpinan ini. Keseimbangan yang sehat ini akan mampu terwujud manakala pengaturan tentang hal ihwal kerumah tanggaan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan anak, dijalankan dalam suasana penuh kerja sama, tanggung jawab dan syuro, dalam pengertian sesuai dengan ketentuan Islam.
Kembali penulis disini mengajak untuk merefleksi tujuan awal institusi itu dibangun. Bijaknya, tidak sekedar bermodal semangat, atau kesiapan materi, namun jauh lebih penting dari itu adalah konsep penyiapan benih peradaban itu sendiri, yang tidak bisa dipungkiri adalah salah satu tujuan dari pembangunan institusi yang bernama keluarga. Satu hal lagi yang perlu menjadi perenungan adalah hakikat amanah besar dalam membangun dan menyiapkan peradaban itu. Begitu Maha Agungnya Allah dengan segala ketentuan-ketentuan yang telah disampaikan-Nya melalui ayat-ayat penggugah yang selalu kita baca sebagai petunjuk jalan keselamatan, kebahagiaan dan petunjuk jalan menuju kegemilangan generasi Islam sesudah kita. []

to be continued ...

Selasa, 19 Oktober 2010

Epilog Seorang Ibu dan Dua Orang Anaknya

Semburat mega menyingsing mengusir sinar senja di permulaan malam. Sinar keemasannya perlahan pamit ke peraduan. Tersisa kini lampu-lampu sorot dari kendaraan yang berlalu lalang, mengencangkan gas menuju tempat orang-orang tercinta menanti. Membawa kebungkus martabak atau setumpuk rupiah untuk bekal belanja anak dan istri. Senyum bahagia bercampur lelah menjadi tenaga sisa di akhir senja itu.
Rentetan suara klakson bersautan mengalahkan suara adzan maghrib yang memanggil. Berdesak, meminta paksa setiap kendaraan untuk menyingkir dari hadapannya. Di perempatan lampu merah, tak pelak lagi pemandangan lama yang masih menghiasi wajah senja. Wajah-wajah yang berseri tatkala banyak dijumpai mobil mewah ngantri dibawah lampu merah. Mengharap lemparan receh dari kaca mobil atau setidaknya sebatang rokok untuk membungkam demonstrasi di perut sedari pagi.
Seorang wanita muda, dengan buntelan kecil di pundaknya, tersenyum layu, berlari mengejar harapan di bawah lampu merah. Matanya mengernyit, menahan silau lampu kendaraan. Tangannya tak lelah menadah dari mobil ke mobil, dari motor ke motor. Untunglah ia tak menghampiriku. Terlalu perih menyuguhkan receh yang tak seberapa. Dan terlalu bodoh jika selalu memberikan harapan itu padanya. Itu sama sekali tak akan pernah menolongnya.
Sejenak, kuperhatikan hitungan detik yang menandakan lampu hijau sebentar lagi mempersilahkanku tancap gas. Dengan cepat dua bocah kecil berlalu di hadapanku. Mereka berjalan dengan penuh canda. Bibir mereka menyanyikan pelan lagu-lagu yang biasa mereka dengar di pinggir jalan atau dari supir angkot yang biasa mangkal menemani mereka melepas lelah di pinggiran terminal kota itu. Nampaknya mereka kakak dan adik. Buntelan kecil pun nemplok di pundak kecil si kakak. Sedangkan si adik, berjingkrak, menenteng kresek hitam.
Mereka berdiam di trotoar. Memandangi kami yang juga memandangi mereka. Dua bocah itu menunggu wanita yang tengah berada di tengah-tengah arus mobil dan motor. Wajah mereka begitu polos. Berkas-berkas debu menghiasi wajah-wajah tirus yang dimake-up senyum getir. Sesak dada ini menatap mereka tanpa harapan. Sebuah cerita lalu yang kembali terulang, mengumandang bersama syahdunya panggilan Tuhan.
Wanita itu, ibu dari dua bocah malang itu. Mereka mencari harapan di bawah panasnya matahari, derasnya hujan mengguyur, dan di tengah dinginnya malam. Jalanan menjadi rumah mereka, trotoar menjadi alas tidur yang paling murah dan mudah disinggahi. Entah, apa yang ada dalam benak mereka tentang kehidupan. Sesuap nasi yang mendarat dimulut mereka adalah yang terutama. Mereka bertiga, menepi di trotoar, bercengkrama layaknya keluarga bahagia. Bersama-sama membongkar buntelan, menyantap sisa makanan yang ada. Buntelan plastik kecil tak luput untuk dibuka. Ya, kepingan rupiah menyegarkan wajah mereka yang kusam. Satu per satu rupiah dihitung. Beberapa tumpukan receh yang menjulang menjadi semangat tersendiri bagi dua bocah dan wanita itu. Pada tumpukan receh itulah harapan di sandarkan. Tragis.
Perlahan wanita itu memandangi lekat-lekat dua wajah anaknya. Ia elus kepala di adik dengan penuh haru. Tak ada kata yang meluncur dari bibir keringnya. Hanya senyum dan setitik bening lara yang menyapa. Anak itu pun dengan polos berkata, “ Mak, kalo setiap hari kita dapat uang sebanyak ini, nanti kita bisa sekolah nda ?” Sambil menelan ludah, wanita itu pun berkata,” Kamu masih ingin sekolah ? Jika saja uang receh ini bisa untuk membayar biaya sekolah, tentu akan emak sekolahkan kalian. Tapi siapa yang mau menerima receh-receh lusuh dari kita? Masa depanmu bukan emak yang menentukan, tapi receh ini. Emak tidak bisa berbuat banyak di tengah jaman yang galak seperti ini. “
Bocah itu pun menatap kosong wajah emaknya. Tak ada kata-kata yang terucap untuk membalas kata-kata emaknya, layaknya seorang bocah yang selalu bertanya ingin tahu. Si kakak pun hanya diam, sibuk oleh receh yang terus disusunnya. Lalu si kakak pun bersorak,” Horeee, kita dapat 50rb. Emak, jangan dihabiskan semua ya uangnya, kita tabung. Nanti besok-besok kita nyari lebih banyak lagi ya….”. Emaknya hanya menatap sayu anak sulungnya itu.
Malam semakin bergulir. Saatnya mereka kembali ke rumah yang entah ada dimana. Sekali-kali, mereka mampir membeli nasi bungkus di pinggir jalan untuk membungkam si pendemo yang belum letih juga berteriak. Bertiga mereka susuri jalanan yang semakin ramai oleh bis-bis malam, sorot lampu kendaraan yang semakin menyilaukan, dan calo-calo yang kembali lantang berteriak-teriak memanggil calon penumpang. Si Emak berjalan di depan, dan dua bocah itu mengikutinya dari belakang. “ Mak, malam ini kita mau tidur dimana?” lagi-lagi si adik bertanya. “ Dimana aja asal nda kehujanan.” Si Emak hanya menjawab datar. Malam itu pun menjadi malam pelepas lelah untuk mereka bertiga. Tak peduli besok apa yang akan mereka temui untuk kembali mengganjal perut kelaparan mereka. Malam ini adalah malam ini. Esok adalah cerita tersendiri yang akan bergulir seiring dengan kaki melangkah dan tangan yang menengadah.[]

Senja Temaram

Bismillah. Amsaina wa amsal mulku lillah walhamdulillahi laa syariikalahu. Senja ini, ruang kontemplasi kembali menyeruak dalam aliran waktu yang tersisa. Ia hadirkan wajah temaram yang menyuguhkan suasana haru, hening, dan sepi. Persis seperti kesendirian jiwa yang tiada pernah ku faham maknanya. Ia begitu agresif merangsek mengobrak-abrik tatanan jiwa yang tadinya begitu nyaman menemaniku. Tapi mungkin itulah tabiat aslinya, kadang memberi nyaman, kadang syahdu, kadang membosankan.
Senja ini, ingin kucoba merangkai kata menuangkan kegundahan yang tak pernah aku harapkan hadir di saat-saat seperti ini. Kekuatan itu kembali meruntuhkan pertahananku. Kali ini kekuatannya lebih besar. Ia membuka kesadaranku akan sebuah hakikat. Namun, tak mudah bagiku ternyata menerimanya sebagai sebuah keniscayaan yang mungkin ya atau juga tidak. Entahlah, ternyata masih sangat berat untukku jika memang itu menjadi mungkin.
Senja ini, tak ada cela kiranya jika hati ini menghaturkan sebuah harap akan hadirnya kekuatan yang selalu berkelebat di pelupuk mataku. Aku tak tahu apa itu. Dan aku pun tak yakin ia mampu menguatkan pertahananku. Sungguh tak ingin aku mengulang yang kedua kalinya, membangun pertahanan di atas pondasi yang ternyata lemah pula. Tapi sebentar, aku tak bermaksud mengatakan aku butuh pondasi yang kuat untuk pertahananku. Aku hanya membutuhkan batu-bata yang kokoh dan kompak menyusun satu pertahanan yang mampu menguatkan diri saat ini, esok dan selamanya.
Senja ini, aku benar-benar rapuh di atas kekuatanku. Inilah hakikat yang telah menampar kesadaranku agar aku tak lagi terlalu banyak mimpi dan mungkin agar aku tak terlalu bangga dengan keakuanku. Karena saat ini aku benar-benar membutuhkan pertemanan. Tak bisa ku ingkari temaramnya jiwa saat ini. Namun bagaimanapun aku harus tetap seperti aku. Tak mungkin aku obral akan menyebalkannya sebuah kesendirian dan kesepian yang tak mengetuk ijin untuk singgah. Jika saja aku punya kuasa mengusirnya ketika ia baru akan melangkah menujuku. Namun aku terlambat.
Senja ini, di atas kerapuhan yang baru kusadari, aku pun ingin bertekad. Aku tak ingin mewariskan temaram jiwa ini untuk waktuku esok. Cukup hari ini, saat ini. Esok adalah hariku yang harus aku semai mimpi dan citaku di sana. Tak boleh dan tak akan aku ijinkan segala yang akan merobohkan menghampiri dan mengusik. Pertahananku akan aku kuatkan dan akan semakin aku jaga agar ia tak akan lagi cacat dan kembali melemahkan. Akan aku fahami dan akan kucoba terima jika hakikat itu menjadi keniscayaan dikemudian hari yang aku yakin mungkin akan membuatku roboh. Tetapi aku pun masih punya sepucuk do’a yang akan terus aku semai sampai keniscayaan itu ku saksikan dengan senyum simpulku atau bening lara yang merembes di sela kedua mataku.
Senja ini, aku kembalikan temaram hati ini kepada yang Maha Memiliki Cahaya. Aku kembalikan kekuatannya kepada yang Maha Memiliki Kekuatan. Aku haturkan do’a senja sebagai penutup segala kegundahan, sebagai pembuka segala kebahagiaan dan kekuatan yang selalu aku jaga dan aku syukuri disetiap makna dan episodenya.
Senja temaram ini, semoga adalah senja yang tak akan lagi menemaramkan hati.
Dan esok adalah mentari kehidupan baru yang harus aku sambut dengan semangat menumbuhkan cita-cita yang tak akan pernah aku biarkan ia kembali luruh dalam ketemaraman. Bismillah.

Kota Udang, 17 Oktober 2010