Kepalanya tertunduk ketika ku menemuinya. Di sampingnya ada sebuah buntelan berisi gelas plastik bekas, tidak penuh. Badannya lusuh, mukanya pucat, karena ternyata dia belum makan. Suaranya amat lirih. Pandangan matanya menerawang ke tengah hiruk pikuk kota wali siang itu.
Namanya Irfan. Bocah 14 tahun yang ditinggal mati oleh ibunya, tak berdaya melanjutkan sekolah. Ayahnya ….? entah apa yang difikirkannya tentang Irfan, sehingga dia harus menghadapi ketidak adilan seorang diri. Setiap hari ia biasa mangkal di tempat itu. Tempat yang di sekelilingnya banyak diparkir mobil-mobil mewah. Namun dia bukan untuk menadahkan tangan berharap lemparan receh dari balik mobil-mobil itu. Dia bahkan lebih berwibawa dari para pejabat berdasi di negeri ini. Meskipun dia telanjang kaki, baju yang entah sudah berapa kali dipake, dan perut yang senantiasa demo untuk segera diisi.
Mengais gelas plastik bekas untuk dia kumpulkan dan dia jual, dari situlah dia makan, dan menjajani adiknya yang dia dahulukan untuk melanjutkan pendidikan. Ah … Irfan, kau terlalu kecil untuk berjuang di dunia yang “keras” seperti ini sendiri. Seharusnya kau menenteng tas dan buku-buku, bukan buntelan berisi gelas plastik bekas.
Di dalam fikirannya, tak terbesit keinginan untuk belajar meraih cita-citanya. Oh ..tidak, dia bahkan mungkin telah mengubur cita-citanya. Begitu berat bibirnya berucap sebuah cita-cita masa depan. Anak yang malang.
Irfan, Deni dan anak-anak yang lain, sangat lucu jika keberadaan mereka menghiasi jalanan kota kecil ini. Anggaran pembangunan daerah yang jumlahnya milyaran itu, terlalu mahal jika hanya untuk memperbaiki gedung pemerintah atau peningkatan sarana dan prasarana yang kebanyakan hanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang minimalnya bermobil.
Jajaran dinas yang bertanggung jawab pun “keok” karena urusan “mang dana”. Kelabakan mereka jika manusia yang bertitel mahasiswa menyambangi dan menawarkan agenda-agenda perubahan. Selalu saja ada alibi yang dilontarkan, dan semuanya kamuflase. Terlalu bertele-tele.
Anggaran pemberdayaan pemuda yang dialokasikan untuk program yang tidak substansial, bisa mencapai ratusan juta. Tetapi anggaran untuk pemberdayaan dan pengkaryaan pemuda dan anak-anak jalanan, heuh … amat alot keluarnya. Memang sudah saatnya orang-orang tua di atas sana direformasi.
Kekhasan kota ini terasa semakin pudar. Pesan Sunan Gunung Jati, “ Ingsun Titip Tajuk lan fakir miskin”, hanya menjadi hiasan baligho di sepanjang jalan. Implementasinya …NOL. Yang fakir semakin fakir, yang mobilnya satu, nambah dua bahkan lebih.
Melihat anak-anak seperti Irfan, sejatinya menghadirkan luka di hati orang-orang yang melihatnya. Anak-anak korban kebiadaban moral pemimpin bangsa ini, harus kehilangan masa depannya hanya demi sesuap nasi.
Irfan, wajah polosnya masih menyimpulkan senyum getir. Tak berharap uluran tangan orang lain, hanya gelas plastik bekas yang dia cari untuk dia bertahan hidup.
Irfan, Deni dan anak-anak sepertinya, selalu ada keyakinan bagiku, mereka akan meraih masa depan yang lebih cerah dari hari ini. Semoga.
- Syahidah Lamno-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar