Jumat, 23 Juli 2010

Dulu dan Sekarang

DULU DAN SEKARANG
“Kontemplasi Gerakan”

“Sejarah adalah catatan statistik tentang denyut hari, gerak tangan, langkah kaki dan ketajaman akal.” ( Malik bin Nabi )

Dua belas tahun reformasi. Dua belas tahun yang lalu, bangsa ini telah memuntahkan darah segar pemudanya. Ibu pertiwi seperti menepati janjinya. Janji untuk melahirkan anak-anak yang setia pada cita-cita luhurnya, anak-anak yang membawa keberanian di tengah ketakutan, mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan, anak-anak yang memberikan darah dengan tulus sebagai mahar untuk kebebasan dan keadilan, anak-anak yang meninggalkan masa mudanya dengan panuh cinta untuk hidup dalam debu dan deru jalanan, bahkan menyerahkan hidupnya untuk bangsa ini bisa hidup dengan cara yang lebih baik. (Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara).
Semangat itu, rasanya ingin sekali hadir di tengah zaman saat ini. Tidak bermaksud untuk beromantisme sejarah, namun sadarkah diri kita dengan degradasi semangat pemuda Islam ? Zaman besar telah dilahirkan abad, tetapi zaman besar itu hanya menemukan manusia kerdil (Friedrich von Schiller). Kita pun ingat dengan sejarah tarbiyah, bagaimana ia diperjuangkan. Sungguh luar biasa. Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar cerita para generasi pertama pejuang tarbiyah di negeri ini. Jarak yang harus mereka tempuh untuk menikmati tarbiyah, bukan lagi antar desa, namun antar kota. Belum lagi intimidasi dari rezim diktator. Tarbiyah yang dilakukan dengan sembuyi-sembunyi, kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, itulah yang membuat meraka memiliki jiwa-jiwa yang tak mudah menyerah, tsabat, tak mudah menyerah, kekuatan militansi yang tinggi sehingga, sampai kepada kita saat ini sebagai generasi penerus.
Memang iman tak dapat diwariskan. Pun dengan militansi. Kondisi dulu dan sekarang yang sangat jauh berbeda, ternyata pun sangat mempengaruhinya. Ketika da’wah memasuki tataran siyasi, tarbiyah yang seharusnya menjadi penguat, seolah ia kini hanya menjadi rutinitas pekanan yang tiada ruh di dalamnya. Dan hasilnya, banyak dihasilkan kader-kader prematur yang pasif dan nyaris selalu memerlukan instruksi untuk menjalankan sebuah amal. Fitnah yang Allah hadirkan di tengah-tengah da’wah ini berupa kemudahan, kuantitas yang semakin bertambah, ternyata tidak kita sadari telah melemahkan salah satu sendi kekuatan da’wah ini. Nashr minallah, idealnya menjadi peluang da’wah yang lebih masif. Namun, tidak semua petarung da’wah ini memahaminya.
Tarbiyah, sebagai tuntutan dalam mempertahankan eksistensi, merupakan sisi yang paling fundamental dalam da’wah. Ketika da’wah mengalami kemunduran karena semangat para petarungnya yang melemah, maka indikasi pertama adalah karena melemahnya tarbiyah di dalamnya. Teringat kisah perjuangan tentara Muslim melawan tentara Romawi. Dengan kondisi persenjataan yang sangat minim dan sedehana, serta kuantitas yang tidak sebanding, seorang di antara tentara Muslim, berkata kepada Umar bin Khattab. Wahai Umar, “ Bagaimana kita akan memenangkan pertarungan ini? sedangkan persenjataan kita sangat sederhana dan jumlah teramat sedikit?” Maka Umar pun menjawab, “ Sesungguhnya yang aku takutkan dari pertarungan ini, bukan karena kekalahan yang disebabkan oleh kekurangan senjata dan tentara yang sedikit, namun aku takut jika kekalahan kita adalah karena ma’shiat yang dilakukan oleh kita. “
Satu kunci, bahwa kuantitas yang banyak dan penguasaan teknologi, bukanlah sebuah sisi yang paling penting dari da’wah ini (meski hal itu pun diperlukan dalam era d’wah kontemporer). Namun yang paling penting adalah kualitas para petarungnya. Sebagaimana Allah mengingatkan kita dalam surat Ali Imron ayat 146 – 148 :
“ Dan berapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikutnya yang bertaqwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.”
“ Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah do’a : ‘Ya Rabbana, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yan berlebihan dalam urusan ini dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir’.”
“Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala di akhirat. Dan Allah mencintai orang –orang yang berbuat kebaikan. “
Nau’iyyah jayyidah dan kammiyah kaafiyah (kualitas yang bagus dan kuantitas yang cukup), dua hal yang perlu diperhatikan. Terkadang kita terjebak dalam cara berfikir yang lebih mengedepankan kuantitas tanpa mempertimbangkan kualitas. Kuantitas yang cukup, bukan berarti jumlah besar, namun jumlah yang cukup untuk mampu menggerakkan da’wah. Apa artinya jumlah yang banyak tanpa kualitas yang bagus, maka tak jauh beda dengan buih di lautan yang tak berarti apa-apa. Sebagaimana Allah sampaikan juga dalam surat At Taubah ayat 25 : “ Sungguh Allah telah banyak menolong kamu (mukminin) di banyak perang, dan ( ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang.”
Kunci kedua setelah dua hal di atas adalah, mitsaliyyah tsabitah dan waqi’iyyah mahsubah (idealisme yang tetap dan pemahaman akan realitas). Idealisme (fikroh) adalah salah satu hal yang tsawabit dalam sebuah jama’ah da’wah. Dan sebagai bagian dari sebuah jama’ah, maka menjadi keharusan bagi setiap petarung da’wah memahami, menguasai, berpegang teguh padanya dan mampu mengejawantahkan fikrohnya. Rasulullah saw pernah berwasiat kepada Hudzaifah bin Yaman (dan tentunya ini pun berlaku untuk setiap muslimin) : “ Berpegang teguhlah engkau pada jama’atul muslimin dna imamnya (idealisme) sekalipun engkau harus memakan akar pepohonan”. ( HR. Bukhari). Fikroh sebagai landasan pergerakan mestilah terinternalisasi dalam diri setiap petarung. Karena fikroh pulalah yang akan menentukan kualitas sebuah amal. Seorang yang tidak memahami fikroh dimana dia beramal, maka akan cenderung asal-asalan, tidak memiliki semangat dan akan mudah futur (berbalik ke belakang).
Pemahaman dan penguasaan fikroh yang baik kemudian di imbangi dengan pemahaman realitas yang matang, akan menghasilkan sebuah harmoni harokah yang indah., yang di dalamnya selalu ada evaluasi, introspeksi dan reorientasi amal. Fikroh sebagai sebuah idealisme pergerakan tak akan mampu di ejawantahkan manakala penguasaan akan kondisi lapangannya jelek. Karena realitaslah yang akan menyempurnakan idealisme, manakala (sekali lagi) idealisme itu dapat di selaraskan dengan realitas, sehingga fikroh (idealisme) itu benar-benar mampu dibuktikan dan (ke depan) akan menjadi fikroh bersama. Namun pemahaman realitas inipun tak akan mampu di miliki manakala tidak ada hassasiyah (kepekaan) dalam diri setiap petarung untuk membaca, mengamati dan melakukan ekperimen terhadap realitas yang ada. Inilah permasalahanya. Kader prematur yang ingin selalu instan dalam beramal. Tidak mengharapkan adanya kesusahan atau mekanisme amal yang terlalu ribet.
Kader prematur yang berfikir minimalis. Padahal, peradaban yang besar ini, tak mungkin di bentuk oleh jiwa dan pemikiran yang kerdil (minimalis). Fitnah kemudahan itu telah mematikan militansi yang seharusnya dilahirkan dari rahim tarbiyah. Saatnya masing-masing kita berbenah dalam perjalanan tarbiyah. Berfikirlah, bahwa tarbiyah yang kita jalani, adalah salah satu penentu kegemilangan peradaban Islam di masa yang akan datang. Pahamilah ia dan berpegang teguhlah dengannya, semoga janji Nya akan berupa kemenangan da’wah memang akan diberikan melalui tangan-tangan kita. Wallahu’alam.

- Pemburu Syahid -
Mohon maaf bila ada statement yang tidak berkenan di hati para pembaca. Al faqir ilallah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar