Bismillahirrahmannirrahiim. Sore itu, langit kota wali terlihat cukup gelap. Sebagian orang mungkin ada yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Sebagian yang lain ada yang sedang berkumpul dan bersenang-senang dengan keluarga mereka melepas penat.
Di sudut lain kota itu, pun ada sebagian mereka yang mengabsen hilir mudik mobil mewah di lampu merah, menodong dengan tangan kosong atau dengan iringan suara sumbang yang menyisakan getir. Mereka itu, orang-orang istimewa yang diperlakukan istimewa pula oleh kita yang mungkin ternyata hanya memandang mereka sebelah mata.
Sore itu, di sebuah pantai yang seharusnya menjadi aset bahari kota wali, namun rupanya lebih tepat sebagai tempat “pembuangan sampah”. Pemandangan yang sangat tidak pantas menghiasi rona wajah pantai di kota wali itu. Merekalah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mengabaikan adab, menutup mata dan rasa malu mereka yang katanya manusia. Ingin rasanya sore itu, tangan ini menyingkirkan manusia-manusia tak tahu malu itu.
Sore itu …”mba, sedekahnya…buat makan.” Suara parau seorang bocah laki-laki yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Sejenak ku tertegun. Kantongku tak berisi apa-apa. Tak ada yang bisa ku berikan. Perih rasanya melihat wajah polos itu kecewa tak mendapatkan rupiah yang ia minta.
Dan …” ade siapa namanya?”
“ Deni”.
“Ade sekolah?”
“ Ya.”
“ Di mana ?”
“ Di SD Muhammadiyah Pronggol.”
“ Kelas berapa ?”
“ Kelas lima. “
Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba meluncur cepat dari lisanku. Ya Allah…tak ada yang bisa ku beri untuknya …
Namannya Deni Setiawan Riyanto. Anak kedua dari enam bersaudara. Adik-adiknya masih terlalu kecil untuk dia jaga. Kakaknya sudah tidak peduli padanya. Dia tinggal dengan neneknya, di sebuah komplek perumahan yang cukup kumuh di daerah pesisir. Neneknya berjualan makanan di sekitar pantai. Lalu kemana ayah dan ibunya ?
Ibunya pergi ke Malaysia sebagai pahlawan devisa. Tak pernah ada kabar. Hanya moment lebaran yang bisa ia harapkan bisa bertemu dengannya. Dan Ayahnya? Menikah lagi, dan keberadaannya entah kemana. No body care with him. Deni, bocah polos yang mencari uang jajan dan modal tabungan dari hasil menadahkan tangan. Dia bagi penghasilannya dengan adik-adiknya. Sehari, setidaknya dia bisa membawa pulang kurang lebih 20 ribu.
Siapa yang peduli dengan seorang Deni? Bocah malang yang disia-siakan. Tak ada yang mendidiknya mengenal Tuhannya. Neneknya pun tak peduli apa yang dilakukan Deni setiap siang sampai sore itu di pantai.
Wajah polosnya, tertunduk, seolah tak punya keberanian menatapku. Hanya kata-kata polos tanpa cela yang membuat kami terasa dekat sore itu. Dan, dia pun tak punya cukup semangat untuk menatap masa depannya.
Deni…. hanya salah satu potret wajah generasi masa depan negeri ini. Masih ada berjuta Deni yang sungguh tidak adil bila mereka harus merasakan ganasnya kehidupan ini di usia yang masih sangat hijau. Dan sangat tidak bijak, jika kemudian yang kita lakukan hanyalah menonton dan berkomentar. Apa yang mereka lakukan, memang tidak pantas. Dan tugas kita adalah, memberikan mereka yang pantas, yaitu PENDIDIKAN.
Negeri ini tidak butuh SPd atau SPd.I, SE, SH atau profesor sekalipun. Negeri ini sudah terlalu muak dengan semua gelar itu. Toh negeri ini pun tak semakin mendekati kemakmurannya. Negeri ini butuh director of change. Sutradara sekaligus pelaku perubahan. Bukan penjual ijazah.
Lihatlah mereka … jangan hanya melihat diri kita. Kenyangnya kita dengan tiga kali makan sehari, apakah sudah mampu mengenyangkan perut mereka ?
Masih ada berjuta Deni yang menanti uluran tangan kita …bukan ijazah kita.
Saudaraku, kau tahu bencana itu datang lagi
Porak lagi negeri ini
Hilang sudah selera orang-orang untuk mengharap
Sementara jiwa-jiwa nelangsa itu
Sudah sedari tadi berbaris-baris memanggil-manggil
Keluarlah, keluarlah saudaraku
Dari kenyamanan mihrabmu
Dari kekhusyu’an I’tikafmu
Dari keakraban sahabat-sahabatmu
Keluarlah, keluarlah saudaraku
Dari keheningan masjidmu
Bawalah ruh sajadahmu ke jalan-jalan
Ke pasar-pasar, ke majelis dwan yang terhormat
Ke kantor-kantor pemerintah dan pusat-pusat pengambilan keputusan
Keluarlah, keluarlah saudaraku
Dari ni’mat kesendirianmu
Satukan kembali hati-hati yang berserakan ini
Kumpulkan kembali tenaga-tenaga yang tersisa
Pimpinlah dengan cahayamu kafilah nurani yang terlatih
Di tengah badai gurun kehidupan
Keluarlah, keluarlah saudaraku
Berdirilah tegap di ujung jalan itu
Sebentar lagi sejarah akan lewat
Mencari aktor baru untuk drama kebenarannya
Sambut saja dia
Engkaulah yang dia cari
(H.M Anis Matta)
Untuk Deni… terima kasih telah menjadi teman teteh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar