Jumat, 30 Juli 2010

Jangan Pandang Mereka Sebelah Mata


Mendung siang itu, hari ke enam bulan Juni. Saya, dan dua teman saya beranikan diri untuk bersilaturahim dengan para penghuni BPSW (maaf lupa kepanjangannya, yang pasti itu adalah panti rehabilitasi PSK) di daerah Cirebon Utara. Itu adalah kali kedua kami mengunjungi tempat itu. Namun karena mungkin rentang waktu yang cukup jauh, rasanya sangat segan kaki ini memasuki gerbang tempat itu.
Di pintu masuk, ada beberapa laki-laki berbadan kekar yang bertugas sebagai BANPOL. Uuuh…syereeeeem. Suasana aneh mulai menyeruak saat satu demi satu ruangan di tempat itu saya masuki. Tepat, setelah itu, tempat terbuka berupa lapangan kecil yang dikelilingi kamar-kamar yang telah dipenuhi sekitar 130 PSK terekrut. Entah kenapa, jantung ini tiba-tiba berdegup sangat kencang, nyali ini tiba-tiba menciut saat saya melihat beberapa di antara mereka yang sedang duduk-duduk di teras kamar mereka, dengan pakaian dan dandanan yang ….yaaa....gitu deh.
Alhamdulillah, akhirnya kami bisa menemui ‘umi’ yang mengelola tempat itu, namanya teh Ineu. Kebetulan beliau adalah kakak dari salah satu temanku yang ikut ke tempat itu. Kami pun ngobrol panjang lebar. Penghuni BPSW adalah seluruh PSK yang berhasil dijaring se-Jabar. Ada dari Bekasi, Karawang, Bandung, Tasik, Garut dan juga tentunya Cirebon. Namun untuk Cirebon hanya ada sekitar 30% dari 130 yang terekrut.
Mereka akan dibina di tempat itu selama kurang lebih 4 (empat) bulan, dengan pembekalan berupa latihan karya seperti masak, jahit dan …ah, maaf lupa satunya lagi. Setelah pembinaan selesai, mereka pun akan dibekali modal awal sesuai dengan karya yang mereka tekuni selama 4 bulan itu. Misalnya, jika mereka di bidang menjahit, mereka akan dibekali mesin jahit dan kain sebagai modal awal mereka berusaha.
Cukup menolong, tapi ternyata tidak cukup efektif merubah mereka. Tidak sedikit dari mereka yang kembali ke pekerjaan awal mereka, ‘jualan.’ Bukan permasalahan yang mudah untuk diselesaikan, apalagi dengan memandang bahwa dengan ‘mensejahterakan’ mereka, semua akan beres. Ini memang kekurangan yang tidak difikirkan oleh BPSW. Tidak ada pembaharuan ruhiyah di tempat itu. Ketika coba saya tanyakan, jawabannya sangat menggantung. Ya, apa boleh buat. Kepalanya saja tidak memikirkan tentang itu. Dan memang ketika saya mengamati orang-orang yang bertanggung mengelola tempat itu, ehm… sangat jauh dari teladan.
Kecuali teh Ineu dan suaminya. Keberadaan teh Ineu di situ, hanya menjadi imam shalat dan memberikan ceramah keagamaan seminggu sekali. Mana cukup? Namun setidaknya dengan kedekatan emosional yang bagus dengan mereka, bisa membuat mereka berkaca.
Bukan hal mudah mendekati dan membuka komunikasi dengan mereka. Butuh kekuatan mental dan kecakapan yang baik, yang bisa menggaet hati mereka. Membuat mereka berfikir panjang dan dalam tentang makna kehidupan. Banyak di antara mereka yang masih sangat muda, di bawah 15 tahun. Masa muda yang suram. Pun mereka yang berusia 40 tahun ke atas. Ehm…apa sebenarnya yang mereka fikirkan dan mereka cari di usia yang hampir senja itu.
Ada sedih, marah dan entah perasaan macam apa yang saya rasakan ketika mendengar cerita tentang mereka. Tentang latar belakang mereka menjadi tukang ‘jualan.’ Ada yang disuruh suaminya, orang tuanya, karena memang tidak ada pekerjaan lain, sampai ada yang hanya karena hobi. WHAT ???? hobi ???? Innalillahi …..
Satu hal yang menjadi pesan teh Ineu, jangan pandang mereka sebelah mata. Apa yang mereka lakukan memang sesuatu yang sangat hina dan dilaknat. Apalagi dengan ancaman penyakit yang belum ada penyembuhnya. Namun, mereka adalah wanita-wanita ‘special need.’ Siapa yang akan merubah mereka kalau bukan kita? Mengharapkan pemerintah tanggap? sangat mustahil.
Itu adalah kasus yang menjadi kewajiban kita sebagai muslimah. Dan selayaknya kita segera mengambil peran. Bukan dengan cercaan kita mengomentari mereka, namun dengan gagasan dan program solutive yang mampu mengeluarkan mereka dari jerat setan yang menguasai mereka.
Dan semoga kita tak pernah memikirkan mereka. Tak cukup memikirkan tentunya, namun juga berbuat untuk mereka. Ambillah peran itu, karena itu adalah kewajiban kita. MARI BEKERJA !!!

Jumat, 23 Juli 2010

Jangan Panggil Aku Arab bag.3

“ Maaf mi, di kampus lagi banyak kerjaan. Lagian saya sudah ngajar, masa bolos lagi.” Muthi menjelaskan pelan.
“Yo wis lah terserah kamu aja …tapi pesan umi tadi, kamu pikirkan matang-matang ya …Jangan terburu-buru ngambil keputusan.” Umi pun berlalu meninggalkan Muthi’
Di teras rumah, Muthi’ tertegun. Pikirannya tak karuan, batinnya berkecamuk hebat. Siapa yang bisa memahami perasaannya ? Tidak ada. Semua tentang dirinya, dia simpan sendiri. Ingin sekali dia berlari dan berteriak sekeras mungkin, agar dia bisa memuntahkan semua yang ada dalam dadanya. Tapi …semua tak akan berarti apa-apa.

****

Selepas shubuh, Muthi sudah siap dengan tas ranselnya.Dia berpamitan dengan uminya dan kakak-kakaknya. Tak ada yang istimewa di pagi itu. Harapan Muthi’ yang mau tidak mau harus dia akui adalah ingin sekali dia sesekali di manja oleh uminya. Tapi, tidak mungkin. Dan Muthi’ pun sadar, dari mana dan di mana dia dibesarkan. Sepanjang perjalanan, di bus ekonomi yang jauh lebih tenang dari pada ketika ia pulang, Muthi’ termenung menatap jalan yang dilewati. Air matanya kembali menetes. Dia tak bisa membohongi dirinya. Rasa iri pada teman-temannya yang senantiasa bercerita tentang kedekatan mereka dengan ayah dan ibu mereka. Hubungan yang lebih indah ketika digambarkan selayaknya hubungan antara teman yang saling menguatkan. Tidak kaku, lepas, penuh canda dan kehangatan yang luar biasa. Ingin sekali dia merasakan itu semua. Namun…. sangat tidak mungkin baginya. Hal itulah yang membuatnya merasa sendiri. Dia membutuhkan teman yang mampu membuat jiwanya terbang bebas, tertawa lepas dan menangis bahagia. Oh …tidak. Lebih tepatnya dia membutuhkan seseorang yang akan selalu menemani hari-harinya. Menguatkan langkahnya dan membawanya pada kebahagiaan yang kekal sampai ke syurga Nya. Tangisnya pun semakin menjadi, ketika ia kembali memikirkan masa depannya. Harapan-harapannya yang sekali lagi tak sejalan dengan keinginan uminya. Ia membatin …
“ yaa Allah …inikah jawaban kebingunganku selama ini…? Apakah harapanku selalu tak seindah takdir yang Kau buat untukku? Yaa Rabb… katakanlah apa yang harus aku lakukan?”…. air matanya semakin deras mengalir. Dia coba menenangkan diri, setelah ditegur oleh kondektur bus yang mengecek karcis penumpang.
Kini ia semakin memahami apa yang dirasakannya selama ini. Perasaan yang sebenarnya tidak boleh dimilikinya. Namun dia hanya manusia. Tidak mungkin dia mengingkari fitrahnya, toh selama ini tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setibanya di Surakarta, semangatnya kembali memuncak ketika melihat teman-temannya yang sedang bermain dengan adik-adik jalanan di rumah singgah. Sesaat, seolah air mata yang sedari tadi banjir, terseka oleh senyuman yang mendadak sumringah. Dan duka pun seolah menguap ke angkasa. Halah…lebay. Ya, seperti itulah yang dirasakan Muthi’.
“ Hore …mba Muthi’ pulang…!!!! Ozan berjingkrak melihat Muthi’ pulang.
“ Mba bawa oleh-oleh dari Semarang nda …? “ Ozan langsung menagih.
“ Waduh, maaf Zan, mba nda sempet. Soale tadi buru-buru habis shubuh mba langsung terbang …” Muthi’ merunduk di depan Ozan.
“ Ozan, mba Muthi’ nya kan baru datang, ko’ udah di todong. “ Mba Indi menghampiri Ozan dan Muthi’ yang bertatap seperti melepas rindu satu bulan tak berjumpa.
“Muth, kamu istirahat dulu sana, tuh ..mata kamu kelihatan sayu. Pasti masih ngantuk.”
“ Ya mba, saya emang pingin istirahat. Tadi di bus pusing banget.”
“ Ozan, mba Muthi’ istirahat dulu ya… entar sore kita cerita lagi. Oce …???? Muthi’ mengacungkan dua jempolnya.
“Ocelah kalo begitu ….” Ozan membalas dengan dua jempol mungilnya.
Di kamar atas, Muthi’ menarik nafas panjang. Setidaknya fikirannya tidak lagi disibukkan oleh masalah beberapa jam yang lalu. Sejenak, ia pun berfikir. Apa yang harus dia lakukan? Ini harus segera diselesaikan. Apa ia perlu ceritakan hal ini pada mba’nya? Tapi apakah solutif? Yang ada malah nanti disuruh memutuskan sendiri. Huuuh … what should I do ? Muthi’ pun terpejam.
Selepas dhuhur, di ruang tamu, terlihat Ozan dan teman-temannya ramai membaca iqro’. Sementara itu, Muthi’ pun hanyut dalam lantunan surat Al Ahzab. “ Anak-anak … ayo waktunya makan siang !!!” Makanan sudah siap, ayo …!!! siang itu giliran mba Fani menjadi korlap untuk makan siang. Muthi’ hanya tersenyum melihat anak-anak langsung menyerbu ruang makan.
“ Muth’ baca qur’an opo ngelamun ? Mba Fani menegur.” Ayo makan. dari tadi juga belum kedengeran suaranya.”
“eh .. mba Fani. Ya, nanti aja mba. Belum laper.”
“ Yah nunggu laper, makanan juga udah habis.”
“ Nda apa-apa mba …. Mba makan aja dulu. “
“ Ya udah …mba masuk dulu ya …”. Muthi’ hanya membalas senyum.
Pikiran Muthi’ kembali berputar-putar, ia harus melakukan sesuatu agar hatinya benar-benar tenang. Tangannya merogoh saku gamis hitamnya. Setelah dapat, ia segera pencet-pencet tombol hpnya. Sejenak ia mikir, mencoba merangkai kata-kata yang pas dan tepat sasaran. Dan, terkirimlah smsnya …
“ Ayo dong mba Hesti, balas. Ojo suwe-suwe ….”. Muthi’ gelisah.
Lalu …
“ Muthi’ besok ada agenda jam 13? Kalo nda ada, mba tunggu di rumah ya …kita bicarakan dengan hati dan fikiran yang tenang, gimana? “ akhirnya mba Hesti menjawab.
“ Insya Allah mba …” . Sms terkirim ….
Muthi’ sedikit lebih tenang setelah mendapat jawaban dari mba Hesti. Orang yang dituakan dan sudah dianggap seperti kakaknya sendiri, bahkan lebih dekat dari saudara kandung. Ia pun kembali larut dalam lantunan Al Ahzab. Surakarta saat itu pun terasa lebih adem ….
“ Muth, nda makan ?” Mba Indi tiba-tiba sudah berdiri di belakang Muthi’.
“ Eeh …mba, nda laper mba.”
“ Kamu lagi ada masalah ya …”
“ Nda ko, oh ya… persiapan OMB gimana? Akh Ridho’ udah kasih penjelasan?”
Mba Indi tersenyum, “ Kamu tuh memang pinter mengalihkan pembicaraan. Bagaimanapun mba nda bisa kamu bohongi Muth. Yah…besok jam 9 kita syuro di sekre. Kamu penanggungjawab buat program tutorial. Besok kalo bisa udah ada konsepnya. “
“ Insya Allah mba.” Muthi’ menanggapi dengan senyum semangatnya.
“ Muth, mba pingin ngobrol sesuatu sama kamu. Tapi kaya’nya enakan di luar aja ngobrolnya. “
“ Boleh.”
Di bawah pohon mangga, Muthi dan mba Indi duduk berdua di atas kursi kayu sederhana.
“ Gini Muth, mba ingin menyampaikan sesuatu yang cukup rahasia. “
“Rahasia ???? tentang apa?
“Tentang mba. Kenapa mba mau cerita rahasia mba ke Muthi’, karena mba rasa kita sudah seperti kakak-adik. Suka dan duka sering kita bagi bersama. Jadi tidak ada salahnya mba pun ingin berbagi dengan Muthi’ . Dan juga mba yakin, Muthi’ bisa jaga rahasia ini. “
“Insya Allah mba.”
“ Tapi Muthi’ jangan kaget denger cerita mba ya …”
“ emang apaan sich …” Muthi’ tidak sabar ingin denger cerita mba Indi
“ Ehm … tiga hari yang lalu …. mba “ditembak”.
“ WHATTTT !!!!”
“ tenang Muth ….Mba “ditembak” tapi tidak langsung. Mba Tri yang bilang ke mba, bahwa…ada ikhwan yang minta mba untuk menikah dengannya.”
“ Boleh Muthi’ tahu siapa ikhwannya ?”
“ Ya, Muthi kenal ko’ orangnya ….Faturrahman Ridho’.
Betapa shocknya Muthi’ mendengar nama itu disebut. Nama yang selama ini dia harapkan akan menjadi pengukuh namannya saat berita besar itu dikabarkan ke seantero kota. Dan kini …Yah ….dia memang pantas mendapatkan yang terbaik. Dan mba Indi adalah aktivis yang cukup loyal dan terbaik di mata teman-teman di LDK dan juga di kampus. Cocok.
“ Muth, kamu nda apa-apa kan ?”
“ nda, saya nda apa-apa. Ko’ bisa akh Ridho ?” ah …dia membatin, kenapa harus bertanya seperti itu.
“ Entahlah Muth …mba juga kaget. Jujur mba nda menyangka beliau bakal berani meminta mba. “
” Maksudnya ….? “
Mba Indi menatap Muthi’ lama dan penuh cemas ….
“ Muth …. jujur selama ini mba pun pernah mengharapkan beliau. Yah …mungkin mba terlalu GR dengan sikapnya yang mba rasa sedikit berbeda kepada mba.”
Muthi’ semakin shock dengan pernyataan mba Indi. Namun ia mencoba tenang.
“ Mba pernah sampaikan ini ke …”
“ Ya ..udah. Mba Tri meminta mba untuk menetralkan semuanya. Dan … ya, agak susah Muth. Sampai akhirnya beliau ternyata datang. Tapi Muthi’ percaya sama mba ya, mba dan beliau tak pernah terjadi apapun ….”
“ Ya ..Muthi’ percaya. Terus … kapan ?
“ Insya Allah pekan depan mba di khitbah. Dan rencana akadnya maksimal akhir bulan depan.”
“ Subhanallah, cepat sekali. Mudah-mudahan dimudahkan segalanya. Terus rencana ke depan, mba mau kemana ? “
“ Itu belum dibicarakan Muth, kemungkinan masih di sini, tapi afwan, nda di rumah singgah lagi.”
“ ya iyalah…masa pengantin baru tinggal di rumah singgah. Kasihan amat sich …”
“ Haaa …haaa..haaaa.,” keduanya tertawa lepas, memecah kesunyian yang sedari tadi menemani.
“ Alhamdulillah, udah ashar mba, hayu masuk. Mba jadi korlap ya … kan untuk yang terakhir sebelum pergi …”
“ Muthi’ … mba nda ingin pergi dari sini. Mba ingin selalu di sini, bersama Muthi’ dan anak-anak itu …”
“ Udah …jangan bikin saya nangis. Barokallah ya …” Muthi merangkul mba Indi dan menggandengnya masuk.
Seperti biasa anak-anak mulai heboh mempersiapkan diri untuk shalat. Mba Indi giliran jadi korlap, kelihatan kerepotan menghadapi anak-anak yang ramenya luar biasa. Terpaksa deh peluit dibunyikan. Dan …. shalat Ashar pun berjalan dengan tenang.
Selepas shalat Muthi’ langsung menuju kamarnya. “ Mba Muthi’ katanya mau cerita lagi….? Ozan mencegah.
“ Oh ya … ehm, ceritanya sama mba Indi dulu ya…Insya Allah, besok sore dech ..mba cerita yang seru-sere, oce …” .
“ Yah, ya udah deh. Ozan berbalik dengan kecewa. “ Muthi’ terlihat menyesal menunda ceritanya sore itu. Tapi apa boleh buat. Ia harus mengejar deadline konsep tutorial.
“ Maafkan mba ya de ….”. Muthi’ pun berbalik ke kamarnya.
Tiga halaman mushafnya selesai dibaca. Sejenak, dia memikirkan pembicaraannya dengan mba Indi tadi siang. Huuh …. “ Yaa Rabb, kenapa selalu ada kebuntuan di saat aku membutuhkan pemecahan…? Ia membatin. Ia termenung menatap awan yang indah berarak di langit sore, dan air matanya pun menetes.
” TIDAK !!!! aku tidak boleh seperti ini. Dia bukan segala-galanya, dan dia bukan yang terbaik untukku. Hanya Allah yang terbaik untukku dan aku yakin akan iradah Nya yang tak pernah salah. “ Muthi’ mengepalkan tangannya, menyemangati diri.
Segera ia buka notebooknya, menyusun program untuk tutorial. Besok harus dipresentasikan. Jari-jarinya yang kurus lincah memainkan tombol keyboard menterjemahkan semua isi kepalanya. Sesekali ia terdiam, setiap kata yang disampaikan mba Indi tadi siang, masih berputar-putar di kepalanya. Kembali ia mencoba mengembalikan konsentrasinya menyelesaikan program yang sedang disusunnya. Sore itu, rintik hujan mulai meramaikan genteng-genteng rumah. Bibirnya tersenyum simpul.
“ Ahhh …aku sangat senang mendengar suara rintik itu. Damai …. nulis dulu ah !“ Muthi’ bergumam dan ia mencoba menguraikan kata-kata demi kata yang saat itu menguasai ruang hatinya yang melankolis.
…….
Tahukah engkau bahwa aku begitu menyukai langit ?
Aku menyukai birunya yang semangat …
Aku menyukai putih awannya yang bijak bergerak
Aku menyukai hamparan luasnya yang lapang terbentang …

Tahukah engkau ….betapa aku mengagumi bulan?
Aku mengagumi kemantapan tahtanya yang menyanding benda-benda angkasa yang anggun bercahaya …
Aku mengagumi sabitnya yang redup menyusup
Aku mengagumi purnamanya yang hangat memikat

Tahukah engkau betapa aku mencintai hujan?
Aku mencintai suara merdunya yang mengguyur rumah-rumah dan perkampungan
Aku mencintai sejuk tubuhnya yang menyelimuti dunia
Aku mencintai ramah wajahnya yang menyentak keresahan

Tahukah engkau …betapa aku terpukau pada hutan ?
Aku terpukau hijaunya yang permai
Aku terpukau pada teduhnya yang senantiasa …
Aku terpukau pada penghuninya yang beraneka ….

“ Subhanallah, indah sekali suasana seperti ini. Yaa Rabb … jangan biarkan damai ini pergi. Jangan biarkan semuanya berlalu. Hanya pada Mu, tempatku berteduh dari semua kepalsuan dunia …” Amin.
Sore itu, Muthi’ kembali mengumpulkan semangatnya. Ia tidak mungkin terus terpuruk oleh kesedihan. Hujan menemani dengan riuhnya yang semangat bertasbih. Jari-jarinya semakin semangat memuntahkan isi otaknya dengan memainkan tombol-tombol keyboardnya. Hujanpun berhenti seiring dengan kembalinya sang surya ke peraduannya. Dan lirih adzan maghrib mulai bersautan. Muthi’ pun segera mengakhiri pekerjaannya.
“ Ayo anak-anak … siap-siap !!!! mba Urwah mulai mengomandoi shalat Maghrib.
“ Ayo Muthi’ giliran kamu jadi imam …”
“ Yuuukkk …”
Rapih …indah… khusyu’… Surakarta baru saja diguyur hujan. Keheningan yang menyergap di waktu maghrib itu menyeruak ke dalam jiwa-jiwa yang tenang dan menenangkan. Serak suara sang imam maghrib itu semakin menambah kesyahduan. Satu per satu isak tangis kekhusyu’an pun menghanyutkan jiwa-jiwa itu pada penghambaan yang tulus. Dan ….
“ Alhamdulillah…” mba Urwah berbalik ke arah anak-anak membimbing mereka berdo’a. Dan bersiap untuk makan malam.
“ Ayo anak-anak .... waktunya makan malam. nanti habis itu langsung siap-siap lagi buat baca Asma’ul husna dan shalat Isya’. Oke …!!!!
“ OOOOKEEEEE !!!!!” paduan suara yang sangat nyaring bunyinya.
“ Ayo Muth’ makan, perasaan nda lihat kamu ikut makan siang? Kenapa ? Diet ?”
“ Diet? mau jadi kaya’ apa kalo aku diet mba? ntar dikira tiang listrik berjalan. Hayu makan …”
Lucunya melihat anak-anak itu makan. Apalagi si ustadz kecil Ozan … Ah…anak itu memang jadi hiburan tersendiri di rumah singgah itu.
“ Mba Muthi’ ntar habis shalat Isya’ belajarin bahasa Inggris ya …”
“ yaa pak ustadz …PR yang waktu kemarin dah di kerjain belum ? “
“ Udah donk mba …kan Ozan anak yang rajin, betul ..betul…betul …? “
“ Huuuh …. “ Wahyu menimpali.
“ udah, yang rajin sama yang nda rajin, yang jujur sama yang bohong nanti juga ketahuan sendiri. Dan juga akan ditanggung sendiri akibatnya. jadi kalo kita pingin rajin, nda usah bandingin dengan teman-teman yang nda rajin, yang enak-enakan main. Allah sangat suka dengan anak-anak yang rajin menuntut ilmu. Mau nda disukai Allah? “
“ Mauuuuuu ….. !!!” kompak.
“ Mba Muthi ….mba Muthi …Luthfi besok naik ke Iqro’ enam lho …”
“ Oh yaaa… alhamdulillah. Yang makin yaa nak. “ Muthi’ mengelus kepala bocah kecil itu.
“ Yap ….ayo makan jangan sambil bersuara. Yang udah selesai siap-siap ke tempat shalat lagi.” mba Urwah memang korlap yang disiplin.
Mba Fani dan Muthi’ membereskan ruang makan, sementara itu anak-anak bersiap ke tempat shalat di komandoi mba Urwah dan mba Indi.
“ Yaa Allah ..yaa Rahman, yaa rakhiim yaa Malik …yaaa Kudus …yaa Salaam…yaa Mu’min…yaa Muhaimin ….” lantunan asma’ul husna mulai terdengar. Suara polos anak-anak itu cukup membuat merinding dan menyentak ke hati.

to be continued ...

Dulu dan Sekarang

DULU DAN SEKARANG
“Kontemplasi Gerakan”

“Sejarah adalah catatan statistik tentang denyut hari, gerak tangan, langkah kaki dan ketajaman akal.” ( Malik bin Nabi )

Dua belas tahun reformasi. Dua belas tahun yang lalu, bangsa ini telah memuntahkan darah segar pemudanya. Ibu pertiwi seperti menepati janjinya. Janji untuk melahirkan anak-anak yang setia pada cita-cita luhurnya, anak-anak yang membawa keberanian di tengah ketakutan, mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan, anak-anak yang memberikan darah dengan tulus sebagai mahar untuk kebebasan dan keadilan, anak-anak yang meninggalkan masa mudanya dengan panuh cinta untuk hidup dalam debu dan deru jalanan, bahkan menyerahkan hidupnya untuk bangsa ini bisa hidup dengan cara yang lebih baik. (Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara).
Semangat itu, rasanya ingin sekali hadir di tengah zaman saat ini. Tidak bermaksud untuk beromantisme sejarah, namun sadarkah diri kita dengan degradasi semangat pemuda Islam ? Zaman besar telah dilahirkan abad, tetapi zaman besar itu hanya menemukan manusia kerdil (Friedrich von Schiller). Kita pun ingat dengan sejarah tarbiyah, bagaimana ia diperjuangkan. Sungguh luar biasa. Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar cerita para generasi pertama pejuang tarbiyah di negeri ini. Jarak yang harus mereka tempuh untuk menikmati tarbiyah, bukan lagi antar desa, namun antar kota. Belum lagi intimidasi dari rezim diktator. Tarbiyah yang dilakukan dengan sembuyi-sembunyi, kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, itulah yang membuat meraka memiliki jiwa-jiwa yang tak mudah menyerah, tsabat, tak mudah menyerah, kekuatan militansi yang tinggi sehingga, sampai kepada kita saat ini sebagai generasi penerus.
Memang iman tak dapat diwariskan. Pun dengan militansi. Kondisi dulu dan sekarang yang sangat jauh berbeda, ternyata pun sangat mempengaruhinya. Ketika da’wah memasuki tataran siyasi, tarbiyah yang seharusnya menjadi penguat, seolah ia kini hanya menjadi rutinitas pekanan yang tiada ruh di dalamnya. Dan hasilnya, banyak dihasilkan kader-kader prematur yang pasif dan nyaris selalu memerlukan instruksi untuk menjalankan sebuah amal. Fitnah yang Allah hadirkan di tengah-tengah da’wah ini berupa kemudahan, kuantitas yang semakin bertambah, ternyata tidak kita sadari telah melemahkan salah satu sendi kekuatan da’wah ini. Nashr minallah, idealnya menjadi peluang da’wah yang lebih masif. Namun, tidak semua petarung da’wah ini memahaminya.
Tarbiyah, sebagai tuntutan dalam mempertahankan eksistensi, merupakan sisi yang paling fundamental dalam da’wah. Ketika da’wah mengalami kemunduran karena semangat para petarungnya yang melemah, maka indikasi pertama adalah karena melemahnya tarbiyah di dalamnya. Teringat kisah perjuangan tentara Muslim melawan tentara Romawi. Dengan kondisi persenjataan yang sangat minim dan sedehana, serta kuantitas yang tidak sebanding, seorang di antara tentara Muslim, berkata kepada Umar bin Khattab. Wahai Umar, “ Bagaimana kita akan memenangkan pertarungan ini? sedangkan persenjataan kita sangat sederhana dan jumlah teramat sedikit?” Maka Umar pun menjawab, “ Sesungguhnya yang aku takutkan dari pertarungan ini, bukan karena kekalahan yang disebabkan oleh kekurangan senjata dan tentara yang sedikit, namun aku takut jika kekalahan kita adalah karena ma’shiat yang dilakukan oleh kita. “
Satu kunci, bahwa kuantitas yang banyak dan penguasaan teknologi, bukanlah sebuah sisi yang paling penting dari da’wah ini (meski hal itu pun diperlukan dalam era d’wah kontemporer). Namun yang paling penting adalah kualitas para petarungnya. Sebagaimana Allah mengingatkan kita dalam surat Ali Imron ayat 146 – 148 :
“ Dan berapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikutnya yang bertaqwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.”
“ Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah do’a : ‘Ya Rabbana, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yan berlebihan dalam urusan ini dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir’.”
“Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala di akhirat. Dan Allah mencintai orang –orang yang berbuat kebaikan. “
Nau’iyyah jayyidah dan kammiyah kaafiyah (kualitas yang bagus dan kuantitas yang cukup), dua hal yang perlu diperhatikan. Terkadang kita terjebak dalam cara berfikir yang lebih mengedepankan kuantitas tanpa mempertimbangkan kualitas. Kuantitas yang cukup, bukan berarti jumlah besar, namun jumlah yang cukup untuk mampu menggerakkan da’wah. Apa artinya jumlah yang banyak tanpa kualitas yang bagus, maka tak jauh beda dengan buih di lautan yang tak berarti apa-apa. Sebagaimana Allah sampaikan juga dalam surat At Taubah ayat 25 : “ Sungguh Allah telah banyak menolong kamu (mukminin) di banyak perang, dan ( ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang.”
Kunci kedua setelah dua hal di atas adalah, mitsaliyyah tsabitah dan waqi’iyyah mahsubah (idealisme yang tetap dan pemahaman akan realitas). Idealisme (fikroh) adalah salah satu hal yang tsawabit dalam sebuah jama’ah da’wah. Dan sebagai bagian dari sebuah jama’ah, maka menjadi keharusan bagi setiap petarung da’wah memahami, menguasai, berpegang teguh padanya dan mampu mengejawantahkan fikrohnya. Rasulullah saw pernah berwasiat kepada Hudzaifah bin Yaman (dan tentunya ini pun berlaku untuk setiap muslimin) : “ Berpegang teguhlah engkau pada jama’atul muslimin dna imamnya (idealisme) sekalipun engkau harus memakan akar pepohonan”. ( HR. Bukhari). Fikroh sebagai landasan pergerakan mestilah terinternalisasi dalam diri setiap petarung. Karena fikroh pulalah yang akan menentukan kualitas sebuah amal. Seorang yang tidak memahami fikroh dimana dia beramal, maka akan cenderung asal-asalan, tidak memiliki semangat dan akan mudah futur (berbalik ke belakang).
Pemahaman dan penguasaan fikroh yang baik kemudian di imbangi dengan pemahaman realitas yang matang, akan menghasilkan sebuah harmoni harokah yang indah., yang di dalamnya selalu ada evaluasi, introspeksi dan reorientasi amal. Fikroh sebagai sebuah idealisme pergerakan tak akan mampu di ejawantahkan manakala penguasaan akan kondisi lapangannya jelek. Karena realitaslah yang akan menyempurnakan idealisme, manakala (sekali lagi) idealisme itu dapat di selaraskan dengan realitas, sehingga fikroh (idealisme) itu benar-benar mampu dibuktikan dan (ke depan) akan menjadi fikroh bersama. Namun pemahaman realitas inipun tak akan mampu di miliki manakala tidak ada hassasiyah (kepekaan) dalam diri setiap petarung untuk membaca, mengamati dan melakukan ekperimen terhadap realitas yang ada. Inilah permasalahanya. Kader prematur yang ingin selalu instan dalam beramal. Tidak mengharapkan adanya kesusahan atau mekanisme amal yang terlalu ribet.
Kader prematur yang berfikir minimalis. Padahal, peradaban yang besar ini, tak mungkin di bentuk oleh jiwa dan pemikiran yang kerdil (minimalis). Fitnah kemudahan itu telah mematikan militansi yang seharusnya dilahirkan dari rahim tarbiyah. Saatnya masing-masing kita berbenah dalam perjalanan tarbiyah. Berfikirlah, bahwa tarbiyah yang kita jalani, adalah salah satu penentu kegemilangan peradaban Islam di masa yang akan datang. Pahamilah ia dan berpegang teguhlah dengannya, semoga janji Nya akan berupa kemenangan da’wah memang akan diberikan melalui tangan-tangan kita. Wallahu’alam.

- Pemburu Syahid -
Mohon maaf bila ada statement yang tidak berkenan di hati para pembaca. Al faqir ilallah.

Jangan Panggil Aku Arab bag.2

“ Ozan…Ozan …. kebaikan yang kita lakukan, akan membuat Allah cinta kepada kita, nah kalo Allah dah cinta sama kita, apa yang kita minta nda mungkin nda dikasih. Nah, kita kan bisa minta apa aja yang buanyak buat saudara-saudara kita di sana. “
“ Oh …gitu ya mba. Ozan ngerti sekarang. Ozan mau lebih rajin lagi mba.”
“ Bagus ! Nah, sekarang Ozan panggil yang lain ya …. dah waktunya ngaji. “
“ Siap mba Muthi’, tapi setelah ngaji cerita Nabi Musanya dilanjutin meneh yo mba …”.
“ Ya ..”
Sore itu, suara anak-anak yang nyaring membaca setiap huruf hijaiyyah, menyemarakan suasana yang tadinya sepi. Begitu semangat. Terkadang terdengar suara gaduh, Luthfi dan Marwan yang berebut ngaji duluan. Mba Fani yang biasanya kalem, sore itu harus terpaksa sedikit galak biar anak-anak mau tertib. Jam 17.00 semarak suara anak-anak itu tenggelam. Mereka begitu khusyu’ mendengarkan Muthi’ bercerita tentang Nabi Musa yang gagah melawan Fir’aun. Akhirnya, adzan maghrib memaksa pertarungan Nabi Musa dan Fir’aun disudahi. Pertanda semua penghuni rumah singgah harus bersiap untuk shalat berjama’ah. Selepas shalat, mba Urwah sudah siap dengan peluitnya, mengambil komando untuk makan malam. Ehm … menu kali ini sedikit seru, setidaknya memenuhi standar P2B alis program penggemukan badan. Yupz … di ruang makan yang tidak terlalu besar, anak-anak duduk bersila dan melingkari si bandeng presto, cap cay kuah, sambel goreng hati, dan perkedel jagung. Ehm … menu gado-gado, tinggal pilih.
Mba Urwah,” Muth … sesuk ono munashoroh palestina ora?
“ Iyo mba, jam 8 kumpul ning ngarep kampus. Sekalian galang dana, one man one dinar …hehe..hehee ..
“ Hahh … one dinar? Arep tuku dinar neng endi Muth?
“ Bercanda mba, one man one dollar, khususon mba Urwah, one man hundred dollar…hehee…heee ….
“ Amiiin … mudah-mudahan mba bisa ngasih gede …”
“ Sesuk aksi gabungan toh ?
“ Yoi mba …. jangan lupa pake identitas masing-masing, pake kerudung putih, biar semarak.”
“ Siap bu korlap !!!!
“ Iya mba, sebel … udah tahu suaraku kecil nda bisa teriak, tetap aja ditunjuk jadi korlap. Timbul tenggelamlah suaraku. “
“ Semangat Muth, mba siapin air segalon buat minum kamu habis aksi. Makanya belajar teriak, wong calon guru ko suaranya kecil, ntar kalah sama anak-anakmu.”
“ Mba Urwah bisa aja, emang jadi guru musti gede suaranya. Ntar aku bawa megaphone aja sekalian orasi di kelas. Haa..haaa..haa….”
“ Muthi’….Muthi’… ono-ono wae …”
Pagi itu, hari Kamis, tepat pukul 8 lewat 10 menit, sedikit molor dari waktu yang dijadwalkan, anak-anak DKM Masjid Kampus sudah mulai memenuhi jalanan. Di bagian paling depan, akh Ridho dan akh Fahmi berdiri di atas mobil bak lengkap dengan sound system dan full nasyid-nasyid untuk Palestine. Entah berapa kali lagu itu diputar. Tapi, nda apa-apalah, yang penting semangat. Tepat di belakang mobil bak, para ikhwan dengan atribut mereka, ada yang pake kafiyeh punya bapaknya, ada yang bawa bendera Palestine, ada juga sebagian yang menjadi tim relawan penggalang dana. Pun sama dengan barisan akhwat yang ada di belakang ikhwan. Dengan serempak kerudung putih, luar biasa indah dipandang. Mereka meneriakan yel-yel anti Israel dan dukungan untuk Palestine dengan mengibarkan bendera-bendera kecil Palestine. Hari itu, Surakarta bergetar oleh takbir dan tasbih pemuda-pemudi yang memenuhi sepanjang jalan di pusat kota. Sekitar 150 mahasiswa dan relawan bersama-sama turun ke jalan dan menghimpun dana untuk Palestine. Dan …. 2 juta berhasil dikumpulkan hari itu. Alhamdulillah.
“ Alhamdulillah ya Muth, hari ini luar biasa sekali. Rencananya mau dikirim lewat mana ?
“ Biasa mba, lewat KNRP. Kalo itu urusan akh Ridho. Nanti saya tanyain kapan mau dikirim. Soalnya ada yang mau nyumbang emas.”
“ Subhanallah, sopo Muth? “
“ Ada deh… orangnya nda mau dikasih tau namanya.”
Selepas dzuhur, Muthi’ pergi ke masjid kampus. Di teras masjid, sudah ada akh Ridho dan ade-ade tingkat yang masih sibuk dengan mushafnya.
“Assalamu’alaikum…”
“’alaikumusslam warahmatullah …”
“afwan akhi, ini hasil penggalangan dananya. Ada sekitar 2 juta lebih. Terus ini ada kalung dan giwang dari salah seorang umi. “
“ Subhanallah …jazakillah mba. Insya Allah habis ashar saya kirim ke pusat.”
“Yo wis… gitu aja. Syukron katsir…assalamu’alaikum..
‘alaikumussalam warahmatullah …”
Aneh. Itu yang Muthi’ rasakan. Ia terasa aneh ketika harus berhadapan dengan akh Ridho. Kaku dan terkesan jutek. What happen gitu ? Sudah hampir satu setengah tahun yang lalu. Ada kesan berbeda yang tidak bisa Muthi’ artikan. Oh ..tidak ! jangan terjadi, dan nda boleh terjadi. Dengan sekuat tenaga ia mencoba bersikap biasa dan menetralkan semua perasaan. Namun. Nihil. Muthi’ makin kaya’ orang bingung jika harus berurusan dengan orang yang namanya Ridho’.
Huuh …LUPAKAN ! Doing something useful. Itu obat yang paling mujarab. Di taman kampus, Muthi’ buka buku-buku psikologi yang dia pinjam dari perpustakaan.
“ Bismillahirrahmanniraahiim..” Muthi’ mulai membaca setiap halaman yang memuat teori-teori yang dia cari untuk skripsinya. Mulutnya nda berhenti komat-kamit membaca setiap kata yang dijumpainya. Maklum orang audio. Dahinya berkerut-kerut, pertanda ia benar-benar serius dan konsentrasi. Tiba-tiba …Hpnya menjerit karena ada pesan yang harus dibaca juga.
“ Ehm … siapa ya ? “ Mendadak wajahnya pias, jantungnya berdetak lebih cepat. Pesan singkat dari orang rumah membuatnya linglung. Buku ditangannya tak lagi diperhatikan. Lembar halaman yang dia baca pun terbolak-balik ditiup angin yang tiba-tiba juga berhembus kuat.
“ Yaa Allah … ada apa ya? Nda biasanya umiku minta aku pulang. Pake bilang penting lagi.” Muthi makin kacau dengan bicara sendiri.”
Perlahan dia mencoba mencet tombol-tombol di Hpnya.
“Ada apa mi? tumben minta Muthi’ pulang? Muthi’ nda bisa pulang mendadak seperti ini. Apalagi besok ada janji dengan dosen mau konsultasi skripsi. “ pesan di Hp menunjukkan pesannya sudah tersampaikan. Dan …
“ Udah kamu pulang dulu aja, ntar juga tahu sendiri kalo dah nyampe rumah. Besok pagi kalo bisa udah nyampe. Jadi malam ini berangkat ya…Yo wis Muth. Umi tunggu di rumah.”
Malam ini ? Pulang ke Semarang ? Huuh … Muthi’ menarik nafas panjang. Buku-buku psikologi pun dah nda minat dilirik lagi. Dengan langkah loyo, Muthi’ berjalan pulang ke rumah singgah.
“ Assalamu’alaikum mba Muthi’ …tumben ko’ belum maghrib dah pulang?” Suara Ozan tiba-tiba mengagetkan Muthi’ yang nda sadar sudah nyampe di depan rumah singgah.
“’alaikumussalam. Iya de… soale mba ntar malem mau pulang ke Semarang. Jadi Mba harus siap-siap. “
“ Apa Muth ? Pulang? Ko’ mendadak? Mba Indi yang lagi nyapu teras pun ikut nyambung.
“ Nda tahu mba, disuruh pulang sama umi. Yah, nurut dulu aja apa kata orang tua. Lagian katanya penting. Padahal besok juga ada janji sama pak Masnun mau konsultasi skripsi. Bingung juga sih mba …”. Muthi’ nda punya semangat untuk menjelaskan ke mba Indi. Karena ia memang lagi bad mood dan loss spirit.
“ Ya udah pulang aja. Lagian juga kamu kan jarang pulang. Nda ada salahnya kamu turuti keinginan umi minta kamu pulang. Ingat Muth, mumpung masih ada waktu dan kesempatan untuk silaturahim dengan orangtua. Apalagi tinggal satu. Kalo saya, memang nda ada alasan pulang kampung. Lha wong orang tua wis ora ono. Arep balik ning sopo? “
Muthi’ tersenyum. “ Mba Indi bisa aja. Kan masih bisa silaturahim sama saudara yang lain. Jujur mba...entah kenapa saya nda pernah semangat kalo musti pulang kampung. Suasana rumah amat sangat tidak saya harapkan. Bawaannya nda betah kalo di rumah.” Nda sadar Muthi’ curhat sama mba Indi, seraya mata menatap kosong.
“Muth’… mereka itu ladang da’wah buat kita. Ingat, Rasulullah pertama kali berda’wah kepada kerabat dekatnya. Setelah kuat dan mapan, baru orang-orang yang sedikit itu yang disebut dalam sirah para assabiquunal awwaluun, menyebarkan Islam kepada massa yang lebih luas. “
“Iya mba, tapi keluargaku itu keras. Mereka itu sombong, terlalu bangga dengan rasnya. Setiap saya pulang ke rumah, pasti ada kata-kata yang membuat telingaku panas. Saya nda suka dengan fanatisme seperti itu.”
“Mba ngerti Muth…makanya mba bangga punya saudara seperti kamu. Tapi, sekali lagi ingat Muth, mereka tetap bagian dari keluarga kita. Meski mereka tidak seperti kamu, setidaknya mereka mendukung kamu. Itu yang harus kamu pikirkan. “
“Iya mba, saya ngerti. Yo wis, mau siap-siap dulu. Ntar malam mau pulang ke Semarang.”
Di kamar yang kecil itu, Muthi berberes baju-baju dan buku-buku yang akan di bawa.
“ Ah sitik wae nggowone. Nda pake lama lagian di rumah.” Muthi’ ngomong sendiri. Dan sejenak dia terdiam memandangi coretan-coretan tangannya yang tertempel di tembok kamarnya. Matanya mengeja satu demi satu cita-cita yang dia tulis. Tiba-tiba sungai kecil di matanya mengalir. Terharu, karena saat ini ia telah mencapai cita-citanya yang ketiga. Ia kini telah berada di tengah-tengah anak-anak jalanan yang begitu polos wajahnya, tutur katanya. dan segala kepolosan mereka yang tak jarang membuat Muthi tertawa dan juga menangis. Ia bahagia.
Selepas Isya’ sebelum Muthi’ berangkat, ia masih sempat memberikan cerita tentang ketangguhan ‘Asma binti Abu Bakar ketika menolong Rasulullah dan ayahnya yang bersembunyi di dalam gua Tsur.
“ Mba Muthi’ mau pulang ke Semarang ya…? Lama nda mba…?
“ Yah..kalo mba Muthi pulang ntar siapa donk yang cerita tentang Nabi lagi?
“ Insya Allah mba nda lama. Cuma dua hari. Habis itu mba pulang ke sini lagi. Kan masih ada mba Indi sama mba Urwah….
“Tapi janji ya..cuma dua hari. Pokoknya Ozan tungguin disini.
“Insya Allah pak ustadz ….
Tepat jam 22.30, anak-anak sudah terlelap. Dan saatnya Muthi’ bersiap pulang ke Semarang. Mba Urwah mengantar Muthi’ sampai terminal. Sesampainya di terminal …
“ Mba…do’ain saya ya. Mudah-mudahan saya bisa berda’wah ke keluarga. “
“ Insya Allah Muth. Allah pun tak akan pernah membiarkan hamba Nya yang berjuang untuk Nya, merasakan kesusahan. Yups … fii amanillah. Salam untuk keluarga. “
“ Insya Allah mba, salam juga buat teman-teman dan juga ade-edeku, terutama ustad Ozan.”
Ya tuh…fans berat kamu. Jangan lama-lama ya di sana. Lagian kita harus nyiapain program buat OMB. “
“Okelah kalau begitu..“Assalamua’alaikum…” Muthi’ melempar senyum sebelum naik ke bus.
“’alaikumussalam warahmatullah..” Mba Urwah melambaikan tangannya. “ Ya Allah, tolonglah dan kuatkan saudaraku melewati setiap skenario Mu.” dan ia pun membatin.
Muthi’ berlalu bersama bus ekonomi jurusan Semarang dengan hiruk-pikuk malam menemaninya. Di dalam bus, mata elang Muthi’ begitu tajam menatap setiap yang berlalu dihadapannya. Dua orang pengamen, yang masih istiqomah menadah tangan hingga larut seperti ini. Pipa-pipa panjang dan gitar yang dipadu secara apik, tak bisa menyembunyikan suara mereka yang sumbang menyanyikan shalawat. Tidak ada kefasihan ketika Allah dan Rasul Nya di sebut-sebut dalam bait-bait lagunya. Entah hati mereka pun seperti apa ketika menyebutnya. Bus berhenti sejenak. Sopir dan para kondekturnya rehat di warung kopi pinggir jalan. Mata elang Muthi’ pun menembus sesuatu yang gelap di luar sana. Di dekat warung kopi, nampak seorang wanita tengah baya, berjualan nasi untuk memenuhi kebutuhan para pejalan malam. Muthi’ membatin. Kemana suaminya, anak-anaknya? Membiarkan wanita setua itu berjuang melawan dingin, gelap dan bahkan bahaya dunia malam sendirian? Matanya berkaca, ia bersyukur ibunya menikmati masa tua yang begitu bahagia bersama anak-anaknya di rumah. Kepalanya pun tertunduk….Muthi’ kembali membatin, “ Akankah masa tuaku seperti ibu itu? “ Oh …tidak. Aku ingin seperti Kartini yang syahid di usia yang masih sangat muda dengan membawa bukti perjuangan yang kini menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Atau seperti Cut Nyak Dien. Menghabiskan usianya untuk berjuang mengusir penjajah dari tanah Aceh sampai syahid di usianya yang ke 62 tahun. Ah …terlalu idealiskah diriku? Aku fikir tidak. Seorang da’I memang seharusnya berfikir seperti itu. Akhir seperti apa yang akan ia rancang di akhir waktunya ?
Sepanjang perjalanan malam itu, Muthi’ tak mampu terpejam. Ia menatap kosong. Namun berbagai hal berterbangan di alam fikirnya. Keheningan malam itu, meski bising oleh suara bus dan berbagai kendaraan malam yang berseliweran dengan kecepatan tinggi, tak peduli siapa menyalip siapa. Nyawa begitu tak ada harganya malam itu. Bagi Muthi’ saat-saat yang tepat untuk berkontemplasi.
Tak terasa perjalanan telah mendekati subuh. Bus pun ternyata pantang berhenti sejenak. Apa boleh buat. Muthi’ menunaikan dua raka’at subuh di dalam bus. Kebetulan dia duduk sendirian. Jadi aman. Lantunan do’a ma’tsurat menemaninya menyambut sinar fajar yang menghangatkan.
Akhirnya, tibalah Muthi’ di terminal perhentian. Bibirnya sedikit tersimpul ketika menghirup udara kota kelahirannya. Segera ia stop angdes yang menuju rumahnya. Tiga puluh menit kemudian, ia sampai di depan gang rumahnya. Dari sana ia berjalan, menyusuri perumahan warga yang telah nampak banyak perubahan. Banyak rumah-rumah yang disulap jadi istana dalam waktu kurang lebih tiga tahun. Ya…Muthi’ memang sangat jarang pulang. Ia hanya menengok kampungnya itu satu tahun sekali. Ramadhan akhir dan Syawal.
“ Lho …mba Muthi’ bukan nih ?
“ Inggih bu…” senyum Muthi’ menyapa ramah Ibu Mega tetangganya yang berjualan jajanan pasar. Semasa kecil Muthi’ biasa mangkal di situ kalau pulang sekolah.
“Masya Allah, wis gede yo…. perasaan baru kemarin ibu lihat Muthi’ pake baju merah putih. Eh sekarang wis gadis. Bentar lagi nikah.”
“ Ibu bisa aja…monggo bu, duluan…” Muthi’ segera menyudahi basa-basinya.
“ Yo…yo …monggo. “
Sesampainya di rumah. “ Assalamu’alaikum warahmatullah….”. Muthi’ masuk ke rumahnya yang terbuka. Suasana asing begitu cepat menyelimuti jiwa Muthi’.
“ ‘alaikumussalam warahmatullah…masya Allah Muthi’. Akhirnya nyampe juga. Jam berapa dari Surakarta ?
“ Jam 11 mi.” Muthi’ segera mencium tangan uminya dan memeluknya. Bukan hal yang biasa bagi Muthi’ memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya. Mungkin sudah terlalu lama tidak pulang, ia merasa harus memeluknya.
“ Yang lain pada kemana mi? Ko’ sepi ?
“ Farah sama Abir lagi ke kota. Biasa belanja bulanan mereka. Kakak iparmu lagi pada ta’ziyah. Tetangga sebelah ada yang meninggal. “
Innalillahi…siapa mi?
“ Bu Neneng… yang dulu kamu biasa manjat pohon jambu di pekarangannya. “
“ Masya Allah…banyak kejutan Muthi’ pulang. “
“ Sudah sana kamu istirahat dulu. Kelihatan cape wajahmu. Sudah makan belum ?
“ Sampun mi. “
Uminya berlalu menuju dapur. Sedang Muthi’ menuju kamarnya di pojok dekat dapur. Sejenak ia tertegun menatap kamarnya. Tidak ada perubahan sejak ia meninggalkannya. Ia pun merebahkan diri di atas tempat tidurnya.
Selepas dhuhur, Muthi’ bersama umi dan kakak-kakaknya, melingkar di meja makan. Suasana asing, kembali menyelimuti panasnya siang itu.
“ Muth, gimana kuliahmu? Kapan wisuda? Kak Abir, kakak pertama perempuan Muthi, membuka pembicaraan. Oh ya, lupa. Muthi’ adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Yang pertama adalah Abir, yang kedua Farah, yang ketiga laki-laki namanya Fairus dan terakhir Muthi’. Semuanya sudah menikah, tinggal Muthi’ yang tersisa. Dan semuanya berpencar ke berbagai kota, tapi masih di Jawa Tengah. Hanya kebetulan semuanya sedang ngumpul di Semarang.
“ Udah selesai, lagi skripsi. Insya Allah target ikut gelombang wisuda akhir tahun ini.” Muthi’ menjawab datar.
Muthi’ sosok yang paling berbeda di dalam keluarga itu. Yang pertama, beda prinsip. Meski tergolong warga keturunan, dia tidak mempermasalahan itu sebagai sebuah perbedaan di tengah masyarakat yang membuat kebanyakan golongan mereka memilah-milah. Yang kedua, dari penampilan. Karena tarbiyah yang diikutinya sejak SMA membuatnya berpenampilan layaknya santri. Jilbab lebar, sering memakai gamis, atau atasan panjang sampai lutut dan rok, kaos kaki yang menutupi kakinya jika keluar rumah. Apalagi, di moment kumpul keluarga seperti saat ini, di dalam rumah pun ia tetap memakai atribut lengkap akhwat. Pernah Muthi’ mendapat protes berkali-kali dari umi dan kakak-kakaknya. Tapi dia hanya melempar senyum menanggapi mereka. Dan akhirnya, mereka pun menyerah menghadapi Muthi’ yang memegang teguh prinsipnya.
Setelah makan siang selesai, tibalah umi membuka obrolan.
“Muth, umi minta secepatnya kamu selesaikan kuliahmu. “
“ Insya Allah mi, saya juga sedang berusaha bagi waktu. Biar skripsi lancar dan kerjaan saya pun tidak terganggu.”
“Kerja ? Kerja apaan? umi bertanya heran.
“ Oh ya, saya lupa kasih tahu. Alhamdulillah saya udah punya kerjaan. Ya, meski nda seberapa gajinya, minimal bisa bantu bayar kost dan makan. “ Semua yang ada di ruangan itu, bengong dengan keunikan adik bungsunya itu.
“ Udahlah Muth. kamu focus skripsi saja, biar cepat kelar…” kak Farah menanggapi dengan nada yang kurang ramah.
“ Saya cuma ingin mandiri kak…”
“ Farah ???? Muthi…umi ingin menyampaikan sesuatu.” umi menyeka Farah.
“ Apa mi…” Muthi semakin tidak nyaman dalam ruangan dan kondisi seperti itu.
“ Gini, dua minggu yang lalu, saudara umi dari Jakarta datang ke rumah. Dia datang dengan anak laki-lakinya. Namanya Faris. Punya usaha yang mapan. Dan sudah punya tempat tinggal sendiri di Tangerang. Uminya Faris ingin meminta kamu untuk Faris. Karena Faris butuh istri untuk menemaninya di Tangerang.”
“ tapi bukannya ..???
“ Ya, Faris baru bercerai dari istrinya. Karena ternyata istrinya cuma ingin hartanya Faris. Dia sekarang duda, tapi belum punya anak. Gimana Muth?
“ Orangnya baik Muth, sholeh lagi. Dan kamu nda perlu kerja macam-macam. Apalagi ngurusi anak-anak jalanan yang nda tahu terimakasih. Cukup dirumah, sudah nyaman, kamu juga bisa jalan-jalan keliling Jakarta bahkan keluar negeri. Kalo aku jadi kamu, pasti tak terima lamarannya.” Lagi-lagi kak Farah nyerocos tanpa tedeng aling-aling.
Muthi’ terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Keringat dingin mengucur deras. Dia tidak sanggup mendengar ocehan-ocehan seperti itu. Hampir saja air mata tumpah saat itu, tapi tertahan dan semakin membuat sesak nafasnya.
“ Maaf mi, saya nda bisa kasih jawaban sekarang. Lagian saya belum pernah ketemu orangnya.” akhirnya Muthi berani menjawab.
“ Ngapain difikirkan dulu. Toh Faris sama uminya udah pernah lihat kamu. “ Kak Farah kembali nembak.
“ Kak, pernikahan itu bukan untuk sehari atau dua hari. Tapi seumur hidup. Perlu istikharah, pertimbangan dan persiapan yang nda mudah.”
“ Muthi’, Faris itu sudah mapan. Dia bahkan siap menanggung biaya pernikahan, kamu masih bisa kuliah lagi dan seperti tadi aku sampaikan, kamu bisa hidup seneng dan enak sama Faris …”
“ Kak…itu bukan pernikahan yang saya pahami. Kebahagiaan itu bukan karena banyaknya harta. Dan maaf, saya tidak sama dengan perempuan Arab yang lain. Yang kerjanya hanya diam dirumah dan menadahkan tangan menunggu jatah makan dari suami.” Muthi sudah memuncak.
“ Kamu itu ngomong opo to Muth…”
“Udah, saya tahu apa yang musti saya lakukan. Dan maaf, saya tidak bisa menerima lamaran Faris.” Muthi’ meninggalkan ruangan itu dan segera berlari ke kamarnya dan menguncinya.
Di dalam kamar, Muthi’ menangis sepuas-puasnya. Dia tidak menyangka, apa yang difikirkannya, ternyata terjadi saat ini. Sementara itu di ruang makan…
“ Heran, kok Muthi’ bisa keras kaya’ gitu…? Kak Farah berkomentar.
“ Farah, kamu itu yang terlalu keras. Kenapa kamu tidak biarkan umi menjelaskan pelan-pe;lan ke Muthi’? Umi memprotes Kak Farah.
“ Huuuuuh …. Habis saya nda sabar sama Muthi’.
Setelah kejadian siang itu, rumah itu pun semakin menyuguhkan hawa panas yang sangat tak diharapkan. Semuanya bersikap dingin. Tak ada yang bersedia menyapa, atau sekedar basa-basi. Kecuali umi, yang tetap menyuguhkan senyumnya, terutama untuk Muthi’. Tak ada bisa dilakukan Muthi’ untuk menetralkan perasaannya, kecuali diam dan baca buku, atau sekedar bantuin uminya.
Di teras rumah…” Muth’, kamu nda usah pikirin kata-kata Farah tadi siang. Umi juga nda maksa kamu. Tapi umi harap kamu nda secepat itu memutuskan jawaban. Umi tahu, kamu punya aktivitas yang banyak. Dan hal itu bisa dibicarakan. Umi yakin, Faris bisa ngerti kesibukan kamu.”
“ Umi berharap….?” Muthi’ menanggapi dengan pertanyaan menggantung.
“ Umi cuma ingin kamu bahagia Muth’…” Sergah umi.
“ Maaf mi, saya nda bisa. Hati saya nda ngadep.” Muthi’ menatap umi sayu.
“ Besok saya pulang lagi ke Surakarta.”
“ ko’ cepet sekali. Kamu tuh memang nda pernah betah di rumah..” umi kecewa.
“ Maaf mi, di kampus lagi banyak kerjaan. Lagian saya sudah ngajar, masa bolos lagi.” Muthi menjelaskan pelan.


to be continued ...

Jangan Panggil Aku Arab bag.1

Di pertengahan malam yang dingin menusuk tulang, mata bulat itu terjaga. Ia mengusap-usap kedua mata yang di atapi oleh dua alis tebal dengan sambil menahan kantuk yang sangat, ia mencari sandal tupainya dan melangkah keluar kamarnya yang hanya berukuran 3 x 4 meter. Ia menelusuri lorong rumah tua yang berukuran dua lantai dengan jumlah kamar dua belas, tujuh kamar di bawah dan lima di kamar di atas. Semua kamar yang ada sudah diisi oleh anak-anak kecil yang tidak memiliki orang tua, atau yang tidak diketahui siapa orang tuanya. Yang pasti latar belakang mereka terlalu perih untuk diceritakan.
Di lantai bawah tiba-tiba …
“ IBU ….!!!!!” suara itu ! suara Luthfi. Dengan secepat kereta, Muthi’ segera berlari berhambur ke kamar yang ada di dekat ruang tamu. “ De Luthfi kenapa ? Mimpi ibu lagi ya ? Muthi’ memeluk tubuh anak kecil yang baru berusia tujuh tahun itu. Tubuh Luthfi gemetar, keringat dingin keluar membasahi baju tidurnya. Muthi’ mencoba menenangkan Luthfi dengan segelas air putih. “ Kak, temani Luthfi tidur ya …Luthfi takut mimpi Ibu lagi.” Ya, sayang, malam ini kakak akan temani Luthfi. Yuk …kita tidur lagi. Bismikallahumma ahya wa bismika aamuutu. “
Keduanya pun terpejam menikmati hangatnya selimut malam.
Muthi’ adalah seorang mahasiswi fakultas pendidikan Universitas Negeri Surakarta. Yang bersama-sama teman-teman aktivis lain yaitu Urwah, Fani, Imas, Indi, Fahmi, Ridho, Fajar dengan berbekal tekad dan nekat mendirikan sebuah rumah singgah untuk anak-anak jalanan yang mereka tidak jelas siapa orang tuanya. Ya, mereka adalah korban kebiadaban moral manusia yang menuhankan nafsu mereka. Namun setidaknya mereka memiliki sedikit hati untuk mengizinkan mereka menghirup udara tanah Jawa. Kehidupan dunia ini terlalu keras untuk mereka. Jangan salahkan mereka jika kemudian mereka terdidik untuk mencuri, menjambret, mengemis karena mereka hanyalah korban dari sistem kepemimpinan bangsa yang jauh dari nilai-nilai keadilan untuk rakyat kecil. Siapa yang tega melihat mereka generasi muda bangsa yang terlantar. Mengharapkan “murah hati” pemerintah, kaya’nya terlalu jauh mimpi itu.

Pukul 03.00, Muthi’ terbangun kembali. Alarm yang sudah dia setel tepat menjerit di samping telinganya. Syukurlah Luthfi tidak ikut terbangun. Muthi’ meninggalkan anak kecil itu sediri dikamarnya. Sedikit demi sedikit kesejukkan air kran membasahi tangan Muthi’ yang kurus dan seterusnya, dengan penuh kekhusyu’an sehingga Ia terasa melihat dosa-dosanya turut hanyut bersama air yang mengalir. Ia pun kemudian berdiri di atas mihrab cinta, penuh harap, ia melantunkan ayat-ayat suci yang cukup ampuh melelehkan air matanya. Malam itu terasa sangat panjang, ditemani terang rembulan yang tersenyum simpul melihat tingkah manusia yang merindukan kasih Nya. Hingga sampai pada seruan Shubuh….
“ Ayo anak-anak, udah adzan subuh. Ayo bangun. Kita shalat jama’ah yuk ….!” Suara Muthi’ membangunkan anak-anak, yang langsung disambut dengan riuh suara kaki mereka menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu jati tua.
Ruangan berukuran 4 X 5 meter yang biasa dijadikan tempat Muthi’ bercerita tentang sirah nabawiyah tiap sore, pagi itu terlihat begitu penuh oleh tubuh-tubuh kecil setinggi 100 centimeter yang berjejer rapi, ruku’ dan sujud dengan begitu teratur di hadapan Rabb mereka. Indah sekali.
Hari itu adalah hari Rabu. Selepas subuh, seperti biasa masing anak-anak sudah mendapatkan tugas untuk membersihkan rumah. Dari mulai beresin kamar masing-masing, sapu lantai, ngepel, sampai bersihkan kamar mandi. Setelah semua selesai tepat pukul 6 pagi mereka bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, untuk mendapatkan hak mereka seperti anak-anak yang lain. Sebelum semua penghuni rumah pergi, mba Urwah datang untuk mengisi shift pagi sampai siang menjaga rumah dan menyiapkan keperluan anak-anak ketika pulang nanti. Rumah singgah itu tak hanya menjadi tempat bernaung anak-anak jalanan, tetapi juga mereka jadikan sebagai tempat mangkal aktivis masjid kampus UNS ngumpul, diskusi dan membicarakan banyak hal di sana sambil mengganti giliran memberikan les kepada anak-anak.
Di antara teman-teman aktivis yang lain, Muthi’ salah satu bagian dari mereka yang paling unik. Walaupun ia juga berasal dari tanah Jawa, namun karakter wajahnya tidak bisa menyembunyikan dari mana sebenarnya ia berasal. Namun itu bukanlah masalah bagi Muthi dan teman-temannnya. Meskipun tetap saja kadang itu membuat Muthi’ canggung dan sedikit kaku. Ada kesan yang ingin Muthi’ sampaikan pada teman-temannya, dan bahkan ingin ia teriakkan kepada semua manusia bahwa “aku pun sama seperti kalian.”
Muthi’ bukan hanya memiliki wajah yang unik, tetapi juga karakter, pemikiran, sikap dan seabreg keunikan yang lain. Misalnya, dia lebih cenderung rasionalis dari pada melankolis seperti kebanyakan perempuan lainnya. Dalam artian, dia cukup cuek ketika dihadapkan pada kondisi yang mungkin akan mengakibatkan kebanyakan perempuan, bad mood, uring-uringan dan berrbagai sikap manja lainnya. Yap, tepatnya easy going girl. Tapi, jangan coba-coba mancing emosinya, yang cepet nyulut kalau disinggung soal wajahnya. Pernah suatu hari, waktu makan siang di kantin kampus ada yang iseng deketin Muthi’.
“ Selamat siang… boleh gabung? “
Saat itu Muthi’ dan teman-teman sedang khusyu’ makan sayur asem. Tak ada respon. Sampai akhirnya ….
“ Maaf, anda orang Arab ya …?”
Sontak Muthi’ terhenti. Dan melotot.
“ Anda ngomong sama saya? “
“ Ya, dari tadi saya di sini ingin ngobrol dengan anda.” Ehm … anda orang Arab kan? “
“Emang kenapa? Mau saya orang Arab, Cina, Jawa, Batak… apa urusannya? Emang penting? “
MANTAP ! Seketika teman-temannya pun tegang oleh sikap Muthi’.
“ Muth …nda usah pake otot gitu. Kan orangnya juga nanya baik-baik.” Imas, puteri Solo mengademkan lengkap dengan logat Jawanya.
“ Ehm … ya, memang ga penting. Saya cuma mau memastikan anda memang orang Arab. Karena saya lihat hidung anda berbeda dengan yang lainnya.”
“ WHAT ! sopan bener ya, merhatiin hidung orang. Anda ini ngerti adab opo ora? “
Sendok yang dipegang Muthi’ seketika meramaikan piring yang berisi ikan asin, sambal dan sayur asem. Dia pergi meninggalkan piring yang masih penuh itu.
Tidak peduli perut yang keroncongan, Muthi’ dengan muka merah padam melaju ke masjid kampus. Chesssss … sejuk. Air membasahi wajah Muthi’. Tak terasa sungai kecil di sudut mata elangnya meleleh …

*****
Selepas ashar, di sudut ruang tamu yang kecil, Muthi’ tertunduk khusyu’ mencermati kata demi kata dalam buku Psikologi Islam yang ada di tangannya. Jilbab biru yang dia pakainya, setidaknya mampu mencerahkan wajahnya yang dari siang layu.
“ Assalamu’alaikum mba Muthi’ …?”
“ ‘alaikumussalam warahmatullah …. eeeh Fauzan, sini sayang. Cieee cakep banget, wangi lagi. Dah mandi ya …
“ Hee..heee….emang Ozan kan paling cakep di sini mba. “
“ Iya deh, …
“ Mba, kemarin Ozan lihat di TV, ada berita serem. Ozan nda nyangka ada orang-orang yang kejam membunuh anak-anak kecil. Udah gitu ada ibu-ibu yang nangis minta tolong tapi nda ada yang mau nolongin. Bapak-bapaknya ada yang dibunuh juga. “
“ Ehm … berita dari mana ?’
“ Itu lho mba, yang ada masjid besar yang bagus. Yang kata mba Muthi’ dulu Nabi Muhammad pernah kesitu. “
Muthi tersenyum. “ Itu namanya masjid Al Aqsha. Kiblat pertama kita umat Islam. Dia ada di Palestina. Orang-orang Yahudi Israel, mereka bukan manusia de, mereka bahkan tak akan pernah mendapatkan ampunan Allah. Pertarungan mereka hanya akan terhenti ketika kelak Allah menjadikan sebuah batu yang akan mengatakan, di sini Yahudi kalah.”
“ Mba, kasihan ya … anak-anak di sana. Mereka nda punya rumah, nda punya bapak-ibu. Mereka makan nda ya mba ….?
Ada kaca di mata elang Muthi’. Dengan lembut dia membelai kepala Ozan yang tertutup kopeyah.
“ Insya Allah de, meski mereka kehilangan semua yang mereka miliki, mereka tidak akan pernah kehilangan cinta dan pertolongan Allah. Allah bahkan menjadikan syurga untuk rumah mereka nanti. Dan kita disini, pertama bersyukurlah tidak mengalami nasib pedih seperti mereka. Kedua, jangan pernah lupa untuk mendo’akan mereka. Dan berbuat sekecil apapun untuk menolong mereka. “
“ piye carane mba? “
“ Rajin shalat, rajin ngaji, nda suka bertengkar dan belajar yang pinter.”
“ Lho, emang bisa mba? Kalo Ozan pengen ke sana mba, bawain batu yang buanyak buat nglemparin tank-tank Yahudi.”
“ Ozan…Ozan ….

to be continued ....

Menikah di jalan Da'wah

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah yang munkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah danRasul Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sunguh Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
(Q.S At Taubah : 71)

Bismillahirahmannirrahiim
Alhamdulillah alladzi anzalassakiinata fii quluubil mu’minin. Maha Suci Allah, yang senantiasa mencurahkan rahmat Nya kepada kita semua, disetiap pagi, siang, petang dan disetiap waktu. Shalawat serta salam semoga senantiasa kita limpahkan kepada qudwah kita, sang revolusioner peradaban dunia, Rasulullah saw. Semoga langkah tidak akan pernah terhenti menapaki jalan perjuangannya, meneruskan estafet da’wahnya yang sempurna, hingga pertemuan dengannya di Firdausan’a’la. Amin.
Beberapa hari yang lalu, seorang teman bercerita tentang teman akhwatnya yang telah menikah. Temannya itu bercerita kepadanya dengan mata berair, karena suaminya tidak mengijinkan dirinya mengikuti tastqif di hari ahad, dengan alasan karena suaminya ingin menghabiskan waktu dengannya di hari libur itu. Memang dalam pandangan syar’i itu tidak salah. Bahkan sebuah keharusan bagi seorang istri untuk menunaikan keinginan suaminya. Fenomena ini, mungkin sudah bukanlah sesuatu yang asing atau aneh bagi sebagian orang. Karena memang sudah banyak terjadi. Namun bagi ku, ini sangat aneh, apalagi dengan semakin banyaknya akhwat yang mengadukan dirinya mendadak menjadi passivis ketika setelah menikah, padahal sebelum menikah adalah aktivis P4 (pergi pagi pulang petang).
Sebuah idealisme yang sekali lagi terbukti hanya omongan selangit. Menikah di jalan da’wah, menjadi wacana dan isu yang mampu membuat para aktivis Islam menggebu-gebu untuk segera menggenapkan diin. Namun dalam kenyataannya, pernikahan aktivis da’wah tidak jauh berbeda dengan pernikahan kebanyakan orang. Tidak ada atau sedikit yang memahami bagaimana beramal jama’i dalam bingkai rumah tangga untuk memberikan sesuatu kepada masyarakat. Binaul usroh muslimah adalah sebuah tahapan kedua yang harus dimaksimalkan setelah seseorang mengishlah keIslamannya. Artinya, dengan bergabungnya dua kekuatan dalam sebuah mitsaqon ghalidhon, seharusnya pun mampu memperkokoh bangunan da’wah di tengah masyarakat, sehingga visi ke tiga yakni irsyadul mujtama’ dapat disambut dengan cepat dan mudah.
Satu fikroh, satu visi-misi. Itu yang menjadi pertanyaan. Apakah itu hanya menjadi bukti otentik sejarah perjodohan dalam dunia aktivis? Ketika sudah dapat orangnya, “MoU” pun berubah. Menikah di jalan da’wah harusnya menjadi semangat untuk menegakkan Islam, bukan untuk kepentingan pribadi yang telah terbendung sekian lama. Internalisasi tarbiyah dalam diri setiap aktivispun perlu dimutaba’ah. Apakah tarbiyah yang selama ini dijalaninya telah mampu menjadikan dirinya pecinta Allah, Rasul Nya dan da’wah di jalanNya, sehingga ia rela mendahulukan cinta Nya di atas kepentingan pribadinya.
Dalam perbincangan dengan beberapa ummahat, salah satu dari mereka menyampaikan tentang hak suami atas istri. Beliau mengatakan bahwa,” Hak suami atas istri hanya sekian persen saja, bukan hak penuh.” Karena ada Allah, anaknya, dirinya sendiri, masyarakat, yang harus ditunaikannya juga. Jadi ketika ada yang mengatakan bahwa istri adalah hak penuh suaminya, maka saya fikir mereka hanya orang-orang egois yang ingin selalu terpenuhi hak-haknya.
Terkait hal lain, bahwa peran dan tanggung jawab muslimah (wajibatul mar’ah) yang tidak sedikit, yakni di antaranya :
1. Sebagai hamba Allah
2. Sebagai anak
3. Sebagai da’i
4. Sebagai anggota masyarakat
5. Sebagai istri
6. Sebagai ibu
peran-peran yang tidak saling mengeliminasi satu sama lain, ketika peran-peran terebut ditunaikan. Betapa berat tanggung jawab muslimah, terlepas mereka lajang atau menikah. Karena peran kekhalifahan untuk memakmurkan bumi itu tetap berada di pundaknya sebagai seorang wanita yang diciptakan untuk menjadi partner laki-laki.
Alangkah bijaknya, jika tugas berat itu tidak semakin berat dengan status baru yang disandang dari lajang menjadi menikah. Sekali lagi, seharusnya pernikahan menjadi semangat untuk menata masyarakat dengan Islam. Saling bekerja sama, meracik gagasan, bertukar pikiran dan tidak saling menuntut hak.
Bukan lagi Di jalan da’wah aku menikah, tetapi Untuk Da’wah aku Menikah.
Sebagai penutup ….
Untuk Allah, yang menjadi ghayah dalam setiap langkah kita dan kita rindukan pertemuan dengan Nya…bertakbirlah !
Untuk Rasulullah, yang menjadi qudwah dalam setiap amal dan kita harapkan syafa’atnya…. bertakbirlah !
Untuk Alqur’an, yang kita jadikan pedoman dan ruhnya mengalir dalam jiwa kita …bertakbirlah !
Untuk syahid, yang menjadi cita tertinggi dan kita rindukan kehadirannya disetiap amal kita… bertakbirlah !

ALLAHU AKBAR !!!!!

Lima Tahun yang lalu

Kota Wali, Ahad 6th June 2010

Bismillahirrahmannirrahiim
Alhamdulillah alladzi anzalassakiinata fii quluubil mu’minin. Pukul 17.00 di ruangan yang kecil kelas SDIT Sabilul Huda. Rasanya baru kemarin kaki menginjakkan di sini. Saat mata masih banyak tertunduk, lisan masih ini masih terlalu lugu untuk berucap, atau sekedar menyapa. Tiba-tiba ingatanku langsung bernostalgia, mengingat perjalanan waktu yang telah berlalu bersama teman-teman yang kini satu per satu pergi. Setiap sudut ruangan ini, setiap sisi area ini, mengingatkanku akan sebuah kebersamaan yang menghangatkan. Tawa, canda, tangis, nasihat, rasanya ingin sekali terulang.
Tiga jam yang lalu, waktuku baru saja mengantarkanku dari sebuah tempat yang kini menjadi obsesiku. Tempat yang terlalu sempit bagi orang-orang yang menginginkan kebebasan. Tempat itu, alasan yang semakin menguatkanku untuk tidak meninggalkan the gate of secret ini.
Lima tahun sudah aku di sini. Membuat sejarah yang kelak akan menjadi cerita di masa tuaku. Begitu banyak hal yang aku temukan untuk aku fahami. Begitu banyak yang terlewati. Begitu banyak yang berubah, yang tergantikan dan yang paling sedih, tak akan pernah kembali seperti dulu. Sejarah, adakalanya tak mungkin terulang kembali. Yang tersisa saat ini, hanyalah kekecewaan, keharuan dan …entahlah, tak mampu kugambarkan perasaan ini.
Lima tahun sudah, mungkin semakin menghajatkan diri ini untuk pamit. Terlalu berat pastinya untuk melangkahkan kaki, pergi meninggalkan setiap sudut kota yang penuh kenangan. Pasti akan ada rindu pada panasnya, awannya, dinginnya, suara rintik hujannya dan pada setiap keunikan yang ada. Pasti akan ada getaran ketika ku mengingat semuanya.
Hajatku, tak selalu mudah ku raih. Pasti, akan selalu ada cerita pahit dan sulit di awal. Namun ada kepastian akan ku raih. Meski sungguh, sekali lagi, akan sulit melewati semua perjalanan waktu. Tak mudah, jika saat ini, aku harus membingkai semua kenangan itu dan menjadikannya sebagai hiasan ruang waktuku.
Lima tahun bukanlah waktu yang pendek. Di dalamnya, skenario waktuku penuh dengan berbagai kejutan. Yang semuanya kuma’nai bersama air mata yang menemani. Terlalu banyak yang tak mampu ku fahami. Ukhuwwah, cinta, sayang, perjuangan, pengorbanan, loyalitas, cemburu dan semua yang tak mampu aku terjemahkan. Karenanya, kadang-kadang aku semakin ingin meninggalkan semuanya. Bosan, jenuh…tak ada yang bisa yang ku lakukan.
Dan di saat perasaan itu menguasaiku, aku pun lemah. Tak sanggup aku membayangkan perpisahan itu. Perpisahanku dengan segala kenanganku, sejarahku dan …. orang-orang yang pernah hadir dalam hidupku, terlalu berat jika aku harus mengucapkan selamat tinggal.
Namun, aku pun sadar, tak mungkin selamanya aku berada dalam lingkaran ini. Aku harus keluar, aku punya masa depan, ada peradaban yang harus aku bangun. Dan, mungkin, semuanya harus aku lalui tanpa semua yang ada di sini. Meski masa depanku adalah sebuah rahasia, namun aku harus menyiapkannya atau bahkan menskestanya saat ini. Walaupun dalam skesta yang aku rancang, akan ada duka yang mengiringinya. Aku harus tegar untuk semuanya, untuk masa depanku.
Satu yang pasti, sebelum kaki ini benar-benar melangkah pergi, setiap yang aku cita-citakan, aku harap semuanya akan hadir bersama mengawal kepergianku. Rumah singgah, FLP, Punk kajian, PSK learning ….semoga semua itu menjadi keniscayaan di batas akhir waktuku di sini.
Huuh …indahnya membuat sejarah. Karena ia adalah catatan statistik tentang denyut nadi, derap langkah dan perjalanan alam fikir. Semoga catatan itu berma’na dan indah di akhir cerita. Semoga.
Alhamdulillah …


- Pemburu Syahid-

Sinergitas Peran Da'wah

Pernah ada sebuah pembicaraan yang menarik tentang dua akhwat caleg ga jadi.
” Assalamu’alaikum, gimana mba, jadi ga ? Alhamdulillah ana ga jadi.”
“Alhamdulillah ana juga ga jadi. Terlalu besar saingan dengan ikhwan.”

Hal menarik yang ana tangkap dari percakapan itu, bukanlah kita kemudian berkesimpulan bahwa peran da’wah adalah sebuah persaingan antara ikhwan dengan akhwat. Namun satu hal yang paling menarik yang bisa ditarik dari fenomena di atas adalah lunturnya paradigma berfikir dari kalangan muharrik da’wah tentang sebuah idealisme da’wah. Maksudnya ?
Sejatinya, seorang muharrik da’wah dalam membangun peradaban besaar ini, dimulai dari peradaban kecil di dalam rumahnya. Saat meniatkan langkah untuk membangun kesatuan visi misi dalam rumah tangga, apakah itu kemudian telah menjadi sebuah kesepakatan bersama bahwa rumah tangga yang dibangun adalah benar-benar di atas manhaj rabbani dan sebagai salah satu visi-misi da’wah. Konsekuensinya, akan ada peran managerial yang seimbang antara kedua belah pihak (suami-istri) dalam menunaikan tugas-tugas da’wah dan tugas di dalam rumahnya. Agaknya idealisme itu semakin tak memiliki ruh. Fenomena yang berkembang kebanyakan saat ini adalah da’wah hanya milik kaum suami. Tugas istri hanya sebatas manager domestik.

Ketika seorang muharrik da’wah (ikhwan ataupun akhwat) memutuskan untuk menikah, satu hal yang menjadi pertimbangan saat itu (idealnya) adalah da’wah. Artinya bagaimana kemudian pernikahan itu mampu menjadi kekuatan dalam bangunan jama’ah da’wah ini, dengan saling berta’awun dalam melaksanakan tugas-tugas, sehingga paradigma “Di Jalan Da’wah Aku Menikah” dapat mudah diterjemahkan.

Imam Syahid Hasan Al Banna mengatakan dalam risalahnya,” Islam meninggikan harkat dan martabat wanita dan mengangkat nilai kemanusiaannya serta menetapkannya sebagai saudara bagi sesamanya dan partner bagi laki-laki dalam kehidupan.” Sebagimana firman Allah swt dalam surat At Taubah : “ Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan Rasul Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”

Da’wah adalah kewajiban individu muslim, tak bisa diwakilkan. Laki-laki dan perempuan adalah partner dalam da’wah, sepasang manager yang profesional dalam rumah tangga. Tidak berlepas dari tugas asasi perempuan, namun bukan berarti dia “terpenjara” olehnya. Dan bukan berarti laki-laki pun tidak memiliki andil dalam mengurus rumah tangganya. Sekali lagi, semuanya kembali kepada sejauh mana ta’awun menjadi semangat dalam menunaikan tugas.

Sejenak, sebelum berbicara tentang ta’awun, dia tidak mungkin diwujudkan sebelum adanya tafahum. Ya, tafahum akan tugas dan kewajiban dari masing-masing, sehingga tidak akan hanya muncul dari keduanya penuntutan hak yang harus dipenuhi. Seorang suami, bagaimana dia memahami bahwa istrinya bukan perempuan biasa. Dia yang juga aktivis, memiliki kewajiban terhadap da’wah yang tidak mungkin diwakilkan apalagi diabaikan. Artinya, seorang istri memiliki kompensasi didalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangganya, yang pada hakikatnya adalah tugas paruh waktunya. Pemahaman akan hal inilah yang kemudian akan mampu mewujudkan ta’awun. Seorang istri bukanlah super woman apalagi robot yang mampu melakukan berbagai tugas.
Tidak bisa dipungkiri, di tengah-tengah idealisme yang dibangun di atas da’wah ini, para suami (ikhwan) banyak yang kemudian berfikir untuk menikah dengan akhwat yang biasa-biasa saja. Sehingga ia tidak memiliki kesibukan da’wah diluar yang mampu mengurangi waktu dan perhatiannya untuk keluarga. Idealisme da’wah yang berubah menjadi kekuatan ego sentris. Dan peran akhwat (istri) dalam membangun peradaban yang lebih besar itupun di anggap tidak begitu strategis.

Berbicara tentang sinergisasi peran, seperti pada tulisan saya sebelumnya (Istikrorud da’wah), seorang suami tidak akan terkurangi izzahnya sebagai kepala rumah tangga ketika ia menyetrika, mencuci ataupun memasak untuk keluarganya. Rasulullah pun, dengan segala kemuliaan yang dimiliki, pernah menjahit bajunya yang robek dengan tangannya sendiri yang penuh kelembutan. Imam Al Banna, dengan berbagai agenda da’wahnya yang cukup menyita waktu untuk beliau bercengkrama dengan keluargnya, bukan berarti beliau tak memperhatikan urusan istri dan anak-anaknya. Bahkan beliau memiliki catatan rapih tentang kesehatan, permasalahan sekolah serta prestasi anak-anaknya. Beliau pun tidak segan-segan untuk mengantarkan bekal untuk anak-anaknya di sekolah. Artinya, beliau pun berperan besar dalam mengurusi dan menentukan masa depan anak-anaknya, bukan hanya masa depan Islam.

Berbagai materi telah banyak kita dapatkan, hingga mampu kita tumpuk materi-materi itu dalam buku Liqo’ yang bisa jadi tiga kali ganti dalam setahun. Namun, membangun peradaban ini bukan dengan memperbanyak teori, tapi amal. Amal yang didasari oleh pemahaman yang syumul tentang hakikat dari setiap proses kehidupan ini.

“ Nahnu du’at qobla kulli syai’in.” Sejak awal kita adalah da’i. Saat ini kita da’i. Esok kita da’i. Hingga Islam tegak, kita adalah da’i. Predikat yang tidak tergantikan oleh predikat kedua, ketiga dan seterusnya.

Da’wah ilallah adalah alasan dalam setiap amal kita. “Di Jalan da’wah aku Menikah,” bukanlah sebatas paradigma, tetapi hakikat yang harus ditafsirkan dalam amal nyata. Wallahu’alam.


- Syahidah Lamno -

Sur'atul Istijabah

“ Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabbmu, dan mendapatkan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang bertaqwa.”
(Q.S Ali Imron : 133)

Labbaik ! Suara itu menggemuruh, mengalir lintas kurun dan abad, tiada henti. Membahana dari lembah yang tiada bertanaman, dekat rumah tua itu (Al Baitul Atiq, Q.S Al Hajj : 29,33), rumah suci Nya, tempat segala keamanan dan kemerdekaan, memenuhi telaga hati yang bening dalam kilau yang memancarkan wibawa abadi. Gaungnya menggema, menjadi saksi atas keaslian ajaran harfiah samhah yang kokoh terhadap perubahan-perubahan naif oleh tangan dan otak kerdil yang selalu gagal, namun terus saja merasa mampu mengubah, menyaingi atau menambah keasliannya.
Labbaik, judul roman panjang kehidupan yang seakan dimonopoli tiga elit manusia : Al Khalil Ibrahim, Adz Dzabih Ismail dan Ummu Ismail alaihissalam, dalam ujian berat yang mereka jalani. Pesan itu tak bisa difahami oleh mereka yang melihat adanya kekuatan azam pada para hamba tersebut serta rasul-rasul Ulul Azmi, lalu berkomentar : “ Memang hebat kekuatan jiwa mereka. Tetapi bukankah mereka nabi-nabi dan isteri-isteri nabi, lalu siapakah kita ?”
Apakah para nabi bukan manusia, yang punya selera dan hasrat dunia? Tidakkah mereka pantas menjadi teladan, sementara begitu besar hajat mereka kepada kehidupan dan kesenangan, tetapi lebih memprioritaskan Allah, Rabbnya ? Ada pass-word yang hilang dari memori kaum yang malang ini : ikhlas, yakin, taat, tawakal, optimis, kecintaan beramal, pandangan jauh kedepan dan fauriyatul istijabah (respon kilat) terhadap semua seruan Nya. ( Warisan Sang Murabbi, Ustadz Rahmat Abdullah rahimahullah)
Respon yang luar biasa dari seorang Abu Dujana ketika bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, apa yang akan aku dapatkan dari jihad bersamamu? Rasulullah menjawab : Syurga. Lalu seketika ia pun merespon : “ Kalau begitu aku akan berperang sampai aku syahid dengan luka di sini . “ Kata Abu Dujana sambil menunjuk ke lehernya. Rasulullah berkata kepada : “ Engkau akan mendapatinya, karena engkau jujur kepada Allah.” Dengan segera ia merangsek ke dalam barisan Uhud dan mengatakan, “Sesungguhnya aku mencium wanginya syurga di balik Uhud !” Dan benar, ketika para syuhada Uhud dimakamkan, para sahabat mendapati tubuh Abu Dujana penuh dengan 70 luka pedang, dan luka panah persis seperti yang dia tunjukkan.
Keta’atan yang luar biasa pun, telah kita pelajari dari kisah sahabat dalam perang Khaibar. Perang yang paling lama dan melelahkan. Dipuncak kelelahan, ketika pasukan Muslim berhasil menguasai benteng Ash Sha’b bin Mu’adz, benteng yang paling kaya dengan sumber makanan dan senjata. Di sana mereka telah memasak seekor himar untuk mengisi perut mereka yang lapar berhari-hari. Di saat telah siap disajikan, tiba-tiba datang wahyu tentang pengharaman himar. Apa yang kemudian terjadi? Seketika kuali yang berisi harum daging himar dibalik dan tumpahlah isinya. Tak ada permohonan toleransi atau pembantahan. Nyaris diluar ketaatan kita yang didominasi logika. Mungkin jika kita menjadi meraka akan mengatakan,” Mengapa wahyu itu tidak turun sebelumnya ? “ Tentunya tak akan membuat kecewa perut yang telah keroncongan berhari-hari itu. Itulah ketaatan dan kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul Nya. Tak mengenal logika.
Imam Syahid Hasan Al Banna mengatakan : “ Dapat kugambarkan profil mujahid sejati dalam diri seseorang yang siap mengambil bekal dan memenuhi perlengkapannya. Seluruh dirinya (seluruh sudut jiwa dan hatinya) didominasi pemikiran seputar perjuangan. Ia dalam pemikiran yang selalu, perhatian yang besar dan kesiapan yang senantiasa.”
Keimanan mujahid yang terejawantah dalam kesigapannya melaksanakan kebaikan, tugas dan kewajibannya, adalah refleksi dari jiwa yang bertanggung jawab, yang akan mampu menghindari penyesalan, kerugian dan penderitaan. Ia pun bersegera menuntut ihsan dan itqonul ‘amal sehingga membuahkan natijah yang kongkret.
Dalam era kontemporer, sur’atul istijabah itu seakan menguap. Bisa dilihat dari jumlah peminat tatsqif kader, kajian ilmiah mahasiswa, bedah buku, atau aksi turu ke jalan. Seharusnya layar HP polychrome mendadak buram ketika mendapat jawaban sms, “ afwan ana tidak bisa hadir, ada kuliah…ada urusan ke sini….ada bla…bla…bla…..
Entahlah, berbicara hajat, urusan, kepentingan, semua kita, bahkan para nabi dan para sahabat punya banyak kepentingan. Namun, Allah dan Rasul Nya lebih utama. Kiranya cukuplah kisah Ka’ab bin Malik menjadi teguran dan pelajaran untuk kita semua yang mengaku aktivis Islam.
Lantas apa sebenarnya yang melunturkan kekuatan sur’atul istijabah itu ? Seharusnya, introspeksi jiwa menjadi kebiasaan, hingga kita dapat mengevaluasi beberapa hal :
1. Keimanan.
Keimanan yang dalam sangat mempengaruhi kekuatan sur’ah. Kita masih ingat peristiwa turunnya surat Al Baqarah ayat 286-287 yang membuat para sahabat menangis dan ketakutan. Bahwa syahadat yang menumbuhkan keimanan menuntut konsekuensi yang tidak mudah. Lalu, bagaimana kita pun ingat kaum Hawariyyin yang berkata : “ Nahnu ansharullah.” Ketika nabi Isa as bertanya kepada mereka : “ Siapakah yang akan menjadi penolongku menegakkan diinullah ?” Dan sur’atul istijabah adalah buah dari keimanan. Akankah keimanan kita mampu menggerakkan lisan kita untuk mengatakan dengan tegas : “ NAHNU ANSHARULLAH ! ”
2. Pemahaman
Pemahaman yang benar dan mendalam terhadap wahyu (Alqur’an) adalah kunci kedua setelah keimanan. Ia (fahm) adalah rukun pertama sebelum menghidupkan ikhlas untuk menegakkan sebuah amal. Tak ada amal tanpa keikhlasan dan tak ada keikhlasan tanpa pemahaman. Seorang da’i tidak mungkin dapat mendistribusikan nilai-nilai Islam kepada orang lain, jika ia sendiri tidak memahaminya. Selama seseorang tidak memahami prinsip yang diyakininya, ia tidak akan bisa berinteraksi dengan prinsip tersebut dan ruh yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, Rasulullah selalu mendorong para sahabat untuk memberikan pemahaman kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Beliau mengatakan kepada mereka : “ Berilah pemahaman pada saudaramu dalam urusan agama ini. Bacakan dan ajarkanlah Alqur’an kepadanya.” ( Hadist riwayat Ath Thabarani).
Kisah yang mengharukan dari seorang Tsabit bin Qais dari Hadist yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ketika turun surat Al Hujurat ayat 2. “ Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi …”. Seketika Tsabit ketakutan dan tak mau keluar rumah, seraya menangis dan mengatakan, “ Celakalah aku. Aku ahli neraka.” Anas bin Malik kemudian mengadukan hal ini kepada Rasulullah, maka Rasulullah mengatakan, “ Bahkan sesungguhnya dia adalah ahli syurga.” Luar biasa, hassasiyah jundi Rasulullah, sampai takut akan uqubat karena merasa telah melanggar aturan Nya. Seperti yang kita ketahui bahwa Tsabit adalah sahabat Rasulullah yang bersuara lantang dan keras. Namun bukan hal tersebut yang dimaksudkan surat ke-49 itu.
Dengan lembut dan santun Allah tabaraka ta’ala menyampaikan dalam surat Al Anfal ayat 24 : “ Wahai orang-orang yang beriman ! Penuhilah seruan Allah dan Rasul Nya, apabila dia menyeru kepadamu sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu. Dan ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada Nyalah kamu akan dikumpulkan.”
Asy Syahid Sayyid Quthb mengatakan : “ Sur’atul istijabah adalah tindakan pemenuhan fitrah yang bersih untuk memenuhi seruan da’wah yang haq dan lurus. Di sana ada kejujuran, kelapangan, kekuatan semangat, pengetahuan yang benar dan sambutan akan cetusan qalbu yang hebat atas kebenaran yang nyata.”
3. Ma’rifat yang hidup terhadap kebenaran da’wah
Pemetaan fikrah yang tidak didukung realitas harokah atau ilmu pengetahuan yang tidak didukung oleh ‘amal akan melahirkan ma’rifah mayyitah. Dan, da’wah ini mengharuskan adanya ma’rifah hayyitah dalam diri kader-kadernya. Sehingga idealisme sebuah fikrah dapat dengan mudah didefinisikan dalam tataran realitas. Sirah da’wah Rasulullah, sekali lagi membuka ingatan akan kecerdasan dan keberanian seorang Mush’ab bin Umair, seorang duta da’wah pertama dan tunggal untuk Yatsrib. Kecerdasannya dalam menyampaikan da’wah Islam, begitu mampu mengalir dalam setiap aliran darah Sa’ad bin Mu’adz, pemimpin suku Khazraj. Sehingga Sa’ad berkata kepada kaumnya : “ Wahai Bani Abdil-Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di tengah kalian ?”
Mereka menjawab : “ Engkau adalah pemimpin kami dan orang yang paling jitu pendapatnya serta nasihatnya yang paling kami percaya.”
Sa’ad melanjutkan : “ Siapapun di antara kalian, laki-laki maupun wanita tidak boleh berbicara denganku kecuali jika kalian beriman kepada Allah dan Rasul Nya. “ Hingga sore harinya, tak seorang pun di antara mereka melainkan telah menjadi muslim dan muslimah, kecuali satu orang saja, yaitu Al Ushairim, yang menangguhkan keimanannya hingga perang Uhud. Pada saat perang Uhud itu dia masuk Islam, lalu ikut berperang dan terbunuh sebagai syahid. Padahal belum sati kalipun bersujud kepada Allah. Untuknya Rasulullah bersabda : “ Dia mengerjakan yang sedikit namun mendapat pahala yang melimpah.”
4. Tertanamnya hakikat kehidupan akhirat dalam hati dan amal sehingga akan terjaga dalam penjagaan Allah ( riayah rabbaniyah).
Tertanamnya pemahaman yang syumul tentang hakikat kehidupan, seperti yang Allah serukan dalam surat Adz- Dzariyat ayat 56 bahwa “tidaklah jin dan manusia diciptakan kecuali untuk beribadah kepada Allah.” Ayat ini menyingkap berbagai sisi dan sudut konseptual dan tujuan yang semuanya tercakup oleh hakikat yang besar ini, yang dianggap sebagai batu fondasi di mana kehidupan berdiri. Sisi pertama dari hakikat ini ialah bahwa di sana terdapat tujuan tertentu dari keberadaan jin dan manusia, yang tercermin pada tugas. Barangsiapa melaksanakan dan menunaikan tugas itu, berarti dia telah merealisasikan tujuan keberadaannya. Dan barangsiapa menyepelekannya atau membangkangnya, berarti dia telah menghancurkan tujuan keberadaannya. Sehingga jadilah ia tanpa fungsi, tanpa tujuan dan tidak memiliki makna utama yang menjadi sumber nilainya yang pertama. Jika demikian, berarti dia telah melepaskan diri dari prinsip yang telah melahirkannya ke alam nyata.
Sebuah prinsip yang di dalamnya terdapat sebuah hakikat yang begitu besar. Hakikat yang menjelaskan tugas peribadatan yang lebih luas dan komprehensif. Tidak sekedar pelaksanaan simbol-simbol. Itulah tugas besar kekhalifahan di bumi dan itulah karya alam manusia ini Q.S Al Baqarah : 30). Dan tugas besar ini termasuk dalam konsep ibadah, yang hakikatnya tercermin pada dua masalah pokok, yaitu mengokohkan konsep penghambaan kepada Allah di dalam diri, dan menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh gerak hati, gerak anggota badan dan gerak kehidupan.
5. Fahmu qadhaya ummat dan memiliki ruhul mas’uliyah
Pemahaman akan tugas kekhalifahan yang menuntut perbaikan, tak akan niscaya apabila apatis terhadap kondisi. Sekali lagi, hassasiyah positif dalam diri kader adalah wajib, karena ia adalah modal awal untuk kemudian ia mampu memahami realitas yang harus dirubah. Dan ruhul mas’uliyah yang akan mampu mengarahkan gerak perubahan sehingga managable, ihsan dan itqon fii al ‘amal.
6. Keyakinan bahwa kebersamaan bersama Rasulullah, shadiqin, syuhada dan solihin di syurga ditentukan oleh sejauh mana kita mengikuti mereka dalam sigap pada setiap panggilan jihad dan da’wah.
Wallahu’alam.

Faqir Ila Allah

Syahidah Lamno
Maraji :
 Warisan Sang Murabbi (Alm. Ustadz Rahmat Abdullah)
 Tafsir Fii Dzilalil Qur’an Sayyid Quthb
 Sirah Nabawiyah
 Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimun 1

Karena Aku terlanjur Cinta pada KAMMI

Hari itu, siang yang cukup panas. Lima tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku menghirup udara kota wali. Aku, di antar oleh temanku (mba Nanis, thank’s for the nice moment with you), setelah registrasi calon mahasiswa baru di salah satu kampus di sana, berkunjung ke sebuah tempat yang cukup strategis untuk menengok kegiatan bimbel ujian masuk dari sebuah organisasi mahasiswa, KAMMI. Telat sekali, hari itu adalah hari terakhir bimbel, dan hari terakhir pendaftaran (calon mahasiswa). Memang sempat ada yang bilang, “ ck..ck…ck…niat kuliah nda sih kamu…”. Ya, apa boleh buat, masih untung bisa daftar dari pada telat sama sekali. Singkat cerita, waktu ujian masuk kampus itu tiba juga. Aku, menginap di tempat kostan yang dulu mba Nanis pernah tinggal di situ. Ehm…base camp akhwat ternyata.
Kesan pertama, cukup asing. Walau sebelumnya pun pernah menginap di tempat serupa saat berjuang melawan soal-soal SPMB di Semarang. Ada teh Unah, teh Yuni, teh Lulu, teh Eti, teh Lia, serta Sani dan Eka yang senasib seperjuangan. Kami bertiga berjuang bersama malam itu. Dan …kami pun diterima di kampus itu. Kami bertiga, juga kompak masuk dua organisasi sekaligus, LDK dan KAMMI. Masa-masa orientasi yang indah dan melelahkan.
Awal ketergabungan, belum terasa kontribusi yang diberikan, maklum…we have still cute. Menginjak semester genap, mulai terasa “aroma” perjuangan yang harus diberikan. Aksi pertama kami adalah aksi menyambut Ramadhan. Ehm …ternyata ni’mat buangeet yang namanya long march, malemnya….langsung tuh kaki parareugel. Tapi, tidak ada kata CUKUP. Kalo kata iklan, “ Mau lagi doooong !!!! ”
Ketergabungan kami yang mulai semakin jauh dengan pelibatan di dalam struktur organisasi. Dua amanah pun menyambutku. Mas’ul Departemen Da’wah Sekolah di LDK dan kaderisasi untuk KAMMI komisariat STAIN (sekarang IAIN). Awal, cukup berat. Dalam perjalanannya, terpaksa aku mohon pamit kepada teman-teman LDK. Ya, aku memilih focus perjuangan di KAMMI. Tentu, keputusan yang tidak mudah dan berat. Namun…apa boleh buat.
Tahun kedua, inilah masa awal yang membuatku kemudian bertekad untuk total. Untuk pertama kalinya, aku berani bolos kuliah. Ada panggilan aksi….Let’s move !!!, ada agenda besar KAMMI …Come on !!! Oh ..indahnya. Apalagi dengan IP yang memuaskan di awal, semangat itu semakin agresive merasuki jiwaku…halah…lebay !
Namun, sempat shock juga, ketika pernah ada satu mata kuliah yang tidak lulus. Sebuah tamparan untukku. Saat itu, agenda sedang begitu banyaknya ngantri untuk ditunaikan. Dan, satu tekad, MAJU terus pantang mundur ! Konsekuensi yang harus aku tunaikan selanjutnya adalah, STUDY HARD !!!
Serunya berjuang di KAMMI, tentunya yang pertama karena aksinya, yang kedua bisa bertemu dengan teman-teman KAMMI dari daerah lain. Ingat sekali, aksi spektakuler KAMMI Daerah Cirebon yang berhasil membobol pintu balai kota dengan jumlah masa cuma sekitar 20 orang, padahal polisinya sampai tiga lapis pengamanan. Aksi Palestine yang di kawal oleh 2 mobil kompi polisi…(waduh pakkk, kita tidak pernah macem-macem kalo aksi, takutkah engkau pada KAMMI ????). Oh ya… yang lebih seru, aksi gabungan di Jakarta saat penolakan kenaikan harga BBM, dan di Bandung saat deklarasi SBY-Boediono. Waahhh… unforgetable dah pokoknya.
Betul sekali kata seorang aktivis, “Jangan pernah ngaku mahasiswa kalo belum pernah demo.” Yaa…demo itu seru bin ni’mat. Rugi bagi orang-orang yang mengaku mahasiswa, tetapi hanya berjibaku dengan buku-buku kuliah. Ahhh…itu mah anak SMA.
Not only demo, kegiatan Ramadhan dari tahun-tahun yang juga menyuguhkan cerita indah tersendiri bersama KAMMI. Ifthor jama’i, penggalangan dana korban bencana (subhanallah, di tengah lelah dan lapar yang sangat, semakin terasa ni’matnya Ramadhan saat itu bersama KAMMI), bakti sosial, bedah buku, etc.
KAMMI, tentunya bukanlah organisasi yang hanya pintar berorasi di jalan tanpa solusi. Bagaimanapun, KAMMI tempat para intelektual muslim berdiskusi untuk merumuskan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Tradisi ilmiah yang senantiasa dikembangkan di forum-forum diskusi seperti madrasah KAMMInya atau madrasah siyasi, sebagai bekal bahwa orasi KAMMI di jalanan bukanlah orasi tanpa ruh. Kekuatan humas KAMMI mampu memasuki jajaran anggota dewan, dinas, elemen masyarakat dsb.
Dalam perjalanannya, kemudahan semakin banyak bertebaran di depan “jalan” perjuangan bersama KAMMI. Salah satunya kemudahan bolos, heee…heee….heee…. entah dah berapa kali bolos, tapi alhamdulillah… IPK tetap memuaskan (tidak termasuk PMDK alias Persatuan Mahasiswa Dua Koma). Kemudahan di tengah kesulitan-kesulitan yang menyerbu. Permasalahan yang kadang membutukan jalan berfikir, dan tak jarang pula ada tangis bersama yang terpaksa kita hadirkan saat menikmati perjuangan bersama KAMMI.
Semakin jauh berjalan bersama KAMMI, tentunya sunnatullah perjuangan, KAMMI tak lagi jadi prioritas. Satu per satu dari mereka yang dulu loyal, kini mundur dengan teratur dari barisan. Menuntaskan kuliah, pulang kampung, kerja dan berbagai alasan lainnya. Generasiku, kini tertinggal 2 akhwat yang belum mau check out dari rumah KAMMI. Generasi sesudahku, bahkan lebih banyak yang lebih dulu “pamit”. Pernah ada yang memberikan nasihat,” udahlah, saatnya pengkaderan. Sudah bukan masanya lagi anti ada di KAMMI. Tuntaskan kuliah, kemudian ….”. Justru itu, keberadaanku dan saudaraku itu, tak bisa dipungkiri karena untuk pengkaderan. Ketika kita berfikir realistis, KAMMI ku….tak bisa ku bayangkan apa yang akan terjadi padanya, meski aku yakin akan ada “tangan” Allah yang membereskan. Karena aku pun telah terlanjur cinta pada KAMMI, mungkin itu pula yang membuatku belum ingin atau bahkan tak ingin mengucapkan “GOODBYE” pada KAMMI. Amanah itu senantiasa terus memanggil-manggil untuk aku ambil dan selesaikan. Bukan karena KAMMI secara organisasi aku mencintainya, namun secara substansi. Satu per satu memang telah pamit pulang lebih dulu, namun aku ingin menjadi orang yang paling terakhir mengucapkannya.
Nasihat ustadz Rahmat Abdullah rahimahullah, yang senantiasa ku pegang,” Seonggok kemanusiaan terkapar. Siapa mengaku bertanggung jawab, tak satu pun. Bila semua pihak menghindar, biarlah saya menanggungnya, semuanya atau sebagian. “
KAMMI … eksistensinya, ada di tangan siapa? tak perlu menunjuk siapa, tunjuklah diri sendiri. Jika kau tak mampu menunjuk diri sendiri, maka memang lebih baik mundurlah. Biarkan kami bersama KAMMI. Membenahinya untuk membenahi peradaban ini.

“Banyak kewajian tanpa peran adalah kebangkrutan, dan banyak peran tanpa kewajiban adalah kemandulan.”
Ambillah peran itu, selagi ada.


- Syahidah Lamno -

Wanita Itu Tangguh

Wanita, makhluq Allah yang tercipta dari tulang rusuk saudara kandungnya yang bernama laki-laki. Seperti dari mana ia berasal, seperti itulah karakternya. Teringat ketika Rasulullah berkata : “ Wanita itu berasal dari tulang rusuk yang bengkok. Jangan terlalu keras ketika engkau ingin meluruskannya, karena ia akan patah. Namun jika ia dibiarkan, ia akan tetap bengkok.” Artinya perlu kesabaran dalam mendidik wanita. Diperlukan kekuatan fikrah dan ruhiyah, sehingga tarbiyah itu mampu melahirkan wanita-wanita penegak peraaban.

Sejarah Islam telah membuktikan, berapa banyak wanita mulia yang terlahir dari keelokkan madrasah tarbiyah di dalam rumahnya. Sebutlah disana ada Maryam, Hajar, Khodijah, Fatimah. Ada juga pejuang Palestine seperti Wafa al Idris, Dareen Abu ‘Aisya, Jameelah Shanti yang mampu mendobrak blokade Israel, atau seperti Zainab Al Ghazali yang tak jera keluar masuk penjara Mesir yang menakutkan dan masih banyak lagi. Mereka adalah wanita-wanita luar biasa yang ketika mereka bangkit, mampu mengalahkan kelemahan yang memenjarakan mereka. Bahkan mereka mampu lebih tangguh dari laki-laki dalam hal ketaqwaan.

Dan, dari kekuatan itu, terlahir dari rahim suci mereka mujahid-mujahid tangguh yang kemudian dengan tangannya membuat Islam semakin mampu mendongakkan wajahnya. Dengan keluhuran budinya, kelembutan hati dan lisannya, ia menjadi lentera dalam redupnya perjalanan yang dihadapi. Seorang wanita yang shalihah, ia akan menjadi ank yang menyejukkan hati orang tuanya, istri yang meneguhkan jihad suaminya, ibu yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya, dan ia pun menjadi mujahidah yang tak luput dari kerja-kerja besar membangun peradaban Islam.

Beberapa waktu yang lalu, ketika bersilaturahim kepada seorang Ibu yang sudah lanjut usia, memiliki enam anak (kalo ga salah) dan semuanya telah sukses. Beliau adalah guru yang telahir dari pendidikan Belanda. Namun kualitas, dedikasi dan semangatnya sungguh luar biasa. Mungkin pahitnya kehidupan di masa lalu itulah yang mendidik beliau kini membuat saya terpana, terharu dan sungguh…ingin seperti beliau. Ketika bercerita bagaimana beliau membesarkan anak-anaknya dengan gaji hanya sebagai guru. Namun beliau memiliki tekad yang kuat, bahwa anak-anaknya harus mendapatkan pendidikan yang baik. Kedekatannya dengan anak-anak sungguh itulah yang membuat hati saya trenyuh mendengarnya. Bagaimana ia bangun setiap malam untuk tahajud dan mendoakan anak-anaknya bersama suaminya dengan diiringi air mata. Sebelumnya ia menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak sehingga tidak terlalaikan. Dan setelah subuh ia menyiapkan semua keperluan suami dan anak-anaknya. Terlebih ketika ia mendapatkan kabar anaknya yang hendak ujian. Segera ia mengambil air wudhu yang melaksanakan shalat 2 rakaat untuk mendoakan anaknya. Dan memang… hasilnya sungguh luar biasa. Do’a suci yang terpancar dari lisan dan hati yang suci. Subhanallah ….

Kisah yang paling mengharukan adalah ketika sang suami meninggalkan dia dan anak-anaknya. Ia sendiri sebagai seorang ibu harus berjuang membiayai pendidikan anak-anaknya. Saat itu ada 2 orang anaknya yang belum masuk perguruan tinggi. Karena keiibaan sesorang mengatakan, “ Sudahlah anak-anakmu yang belum kuliah tidak usah kuliah, berat biayanya. Kamu tidak mungkin sanggup.” Namun apa yang dikatakan beliau kemudian, “ Tidak, anak-anakku harus tetap melanjutkan kuliah, soal rezeki pasti Allah memberikan. “ Setiap malam tak pernah beliau tinggalkan tahajud sambil berdo’a penuh harap. Suatu malam karena ngantuk, beliau tertidur. Dan itu seperti ada sebuah bisikan yang mengatakan kepadanya, “ dagang ….dagang … dagang …” Kemudian beliau terbangun dan berfikir, apakah ia harus berdagang ? Tapi apa ?
Akhirnya ia berjualan kue. Karena beliau memiliki kreatifitas yang sangat tinggi, di rumahnya banyak terpajang kerajinan tangannya yang tak kalah bagus dengan barang yang dijual di toko-toko. Dan dari kue itu, luar biasa, pertolongan Allah untuk ibu yang berjuang untuk anak-anak yatim. Kedua anaknya pun mampu melanjutkan ke perguruan tinggi dan menjadi orang-orang sukses. Satu hal istimewa dari beliau adalah manajemen waktu yang sangat rapih. Beliau adalah aktifis. Namun aktifitasnya tidak melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Beliau adalah da’iyah yang disegani di kampungnya, sampai saat ini.

Subhanallah, bukan berarti di sini mengumandangkan gender. Namun, sejarah dan fakta telah membuktikan bahwa wanita bukan makhluq lemah. Ia adalah manusia tangguh. Di otaknya berbagai hal yang memusingkan atau membahagiakan tak membuatnya lemah. Karena memililki kekuatan yaitu Rabbnya. Ia mampu berdikari meski ia berjuang sendiri di tengah ganasnya kehidupan tanpa bantuan suami. Bukan hanya ibu yang tadi diceritakan, ibuku pun telah membuktikannya.

Untuk para wanita, buktikan bahwa engkau bukan makhluq lemah, cengeng, manja yang selalu mengadu. Buktikan bahwa engkau pun mampu mengubah peradaban ini dengan tanganmu. Wallahu’alam.


- Syahidah Lamno -

Orchestra Sakit Hati

Bismillahirrahmanirrahiim.
Di dalam sebuah ruang diskusi, tiba-tiba seorang kawan meluncurkan sebuah kalimat yang lumayan menohok (sebenarnya), andai orang-orang yang di dalam ruangan itu “ngeh” dengan diskusi yang sedang terjadi. Namun nampaknya …tidak, huuuh…sayang sekali.
Ada kejenuhan, yang sebenarnya sudah mengakar sejak lama. Ruang diskusi yang senyap dari ruh perubahan. Terlalu riuh oleh permasalahan yang sebenarnya tak perlu dijadikan masalah. Klasik….monoton dan dangkal.
Kawanku tadi, memang cukup cerdas. Entah mungkin bahasa seperti apa yang pantas diucapkan untuk menggambarkan sebuah gemuruh di dalam hati orang-orang menginginkan movement yang progressive. Tidak terlalu bertele-tele.
Ya, diskusi di ruangan itu pun, nampaknya jauh dari sebuah semangat perubahan. Terlalu terpaku pada sebuah konsep dan idealisme yang tidak realistis. Lima tahun (kurang lebih) sudah, setidaknya ada kesadaran akan sebuah kondisi realitas yang stagnan yang perlu di rubah.
Di lima tahun ini, ternyata orchestra sakit hati menjadi semakin menggemparkan suasana di ruang-ruang diskusi kami. Sikap diam yang kini menjadi pilihan, pun ternyata telah meramaikan deretan pendukung orchestra sakit hati.
Suara lantang dan tegas yang mengorasikan perubahan di hati-hati para penyeru itu, kini semakin tenggelam bersama dengan tenggelamnya jiwa-jiwa yang katanya mencita-citakan perubahan.
Ahhh ….apa itu manhaj ? apa itu renstra? apa arti itu semua jika hanya sebatas konsep yang dihafalkan?
Untuk apa kita ada disini, itu yang paling berarti !!! Yang akan membuat akal dan nurani kita cerdas untuk memahami dan menyusun langkah. Bukan sekedar rajin berdiskusi, tapi kering amalnya. Manhaj, renstra …dan apapun itu, bukan untuk dibicarakan, dan menunggu waktu untuk evaluasi di akhir cerita, tapi untuk diejawantahkan dalam amal, sehingga ia akan membuat rangkaian cerita yang indah di akhirnya.
Semuanya semakin hampa. Ada manhaj, ada renstra, ada konsep, tapi tak ada pelaku. Jadi ….? Maka semakin nyaringlah orchestra sakit hati itu ….
Apology akan kelemahan dan keterbatasan diri, begitu mudah menguap mengisi ruang-ruang yang ada. Saling menuntut dan menarik diri dari kewajiban…ahh, apakah seperti itu orang-orang yang seharusnya menunaikan hak mereka yang menantikan gerak kita?
Sekali lagi, renungilah ! untuk apa kita di sini ? di jalan ini, di atas segala kepayahan langkah ini? Sungguh, memang tidak ada sesuatu yang indah yang dapat kita ambil dari sini, kecuali nanti.
Masing-masing kita mengejar urusan pribadi dan bergerak cepat meninggalkan jalan ini. Baiklah … pergilah dari jalan ini. Karena rasanya memang terlalu sesak jalan ini, jika dipenuhi orang-orang yang egois dengan urusan pribadi namun masih sok sibuk mikirin urusan umat. Ini bukan urusan main-main. Jika untuk urusan ini, hanya waktu, tenaga dan fikiran sisa yang bisa diberikan, lebih baik, PERGILAH !!! karena aku yakin, umat pun akan ikhlas. Namun ketahuilah !!!! Kewajiban ini tak akan pernah selesai, meski episode kita diwaktu ini berakhir.
Semoga nada getir orchestra sakit hati ini pun akan berakhir, dan segera berganti dengan Mars Kemenangan !!!! Semoga.



- Syahidah Lamno -

Masih Ada Sejuta Deni

Bismillahirrahmannirrahiim. Sore itu, langit kota wali terlihat cukup gelap. Sebagian orang mungkin ada yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Sebagian yang lain ada yang sedang berkumpul dan bersenang-senang dengan keluarga mereka melepas penat.
Di sudut lain kota itu, pun ada sebagian mereka yang mengabsen hilir mudik mobil mewah di lampu merah, menodong dengan tangan kosong atau dengan iringan suara sumbang yang menyisakan getir. Mereka itu, orang-orang istimewa yang diperlakukan istimewa pula oleh kita yang mungkin ternyata hanya memandang mereka sebelah mata.
Sore itu, di sebuah pantai yang seharusnya menjadi aset bahari kota wali, namun rupanya lebih tepat sebagai tempat “pembuangan sampah”. Pemandangan yang sangat tidak pantas menghiasi rona wajah pantai di kota wali itu. Merekalah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mengabaikan adab, menutup mata dan rasa malu mereka yang katanya manusia. Ingin rasanya sore itu, tangan ini menyingkirkan manusia-manusia tak tahu malu itu.
Sore itu …”mba, sedekahnya…buat makan.” Suara parau seorang bocah laki-laki yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Sejenak ku tertegun. Kantongku tak berisi apa-apa. Tak ada yang bisa ku berikan. Perih rasanya melihat wajah polos itu kecewa tak mendapatkan rupiah yang ia minta.
Dan …” ade siapa namanya?”
“ Deni”.
“Ade sekolah?”
“ Ya.”
“ Di mana ?”
“ Di SD Muhammadiyah Pronggol.”
“ Kelas berapa ?”
“ Kelas lima. “
Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba meluncur cepat dari lisanku. Ya Allah…tak ada yang bisa ku beri untuknya …
Namannya Deni Setiawan Riyanto. Anak kedua dari enam bersaudara. Adik-adiknya masih terlalu kecil untuk dia jaga. Kakaknya sudah tidak peduli padanya. Dia tinggal dengan neneknya, di sebuah komplek perumahan yang cukup kumuh di daerah pesisir. Neneknya berjualan makanan di sekitar pantai. Lalu kemana ayah dan ibunya ?
Ibunya pergi ke Malaysia sebagai pahlawan devisa. Tak pernah ada kabar. Hanya moment lebaran yang bisa ia harapkan bisa bertemu dengannya. Dan Ayahnya? Menikah lagi, dan keberadaannya entah kemana. No body care with him. Deni, bocah polos yang mencari uang jajan dan modal tabungan dari hasil menadahkan tangan. Dia bagi penghasilannya dengan adik-adiknya. Sehari, setidaknya dia bisa membawa pulang kurang lebih 20 ribu.
Siapa yang peduli dengan seorang Deni? Bocah malang yang disia-siakan. Tak ada yang mendidiknya mengenal Tuhannya. Neneknya pun tak peduli apa yang dilakukan Deni setiap siang sampai sore itu di pantai.
Wajah polosnya, tertunduk, seolah tak punya keberanian menatapku. Hanya kata-kata polos tanpa cela yang membuat kami terasa dekat sore itu. Dan, dia pun tak punya cukup semangat untuk menatap masa depannya.
Deni…. hanya salah satu potret wajah generasi masa depan negeri ini. Masih ada berjuta Deni yang sungguh tidak adil bila mereka harus merasakan ganasnya kehidupan ini di usia yang masih sangat hijau. Dan sangat tidak bijak, jika kemudian yang kita lakukan hanyalah menonton dan berkomentar. Apa yang mereka lakukan, memang tidak pantas. Dan tugas kita adalah, memberikan mereka yang pantas, yaitu PENDIDIKAN.
Negeri ini tidak butuh SPd atau SPd.I, SE, SH atau profesor sekalipun. Negeri ini sudah terlalu muak dengan semua gelar itu. Toh negeri ini pun tak semakin mendekati kemakmurannya. Negeri ini butuh director of change. Sutradara sekaligus pelaku perubahan. Bukan penjual ijazah.
Lihatlah mereka … jangan hanya melihat diri kita. Kenyangnya kita dengan tiga kali makan sehari, apakah sudah mampu mengenyangkan perut mereka ?
Masih ada berjuta Deni yang menanti uluran tangan kita …bukan ijazah kita.

Saudaraku, kau tahu bencana itu datang lagi
Porak lagi negeri ini
Hilang sudah selera orang-orang untuk mengharap
Sementara jiwa-jiwa nelangsa itu
Sudah sedari tadi berbaris-baris memanggil-manggil

Keluarlah, keluarlah saudaraku
Dari kenyamanan mihrabmu
Dari kekhusyu’an I’tikafmu
Dari keakraban sahabat-sahabatmu

Keluarlah, keluarlah saudaraku
Dari keheningan masjidmu
Bawalah ruh sajadahmu ke jalan-jalan
Ke pasar-pasar, ke majelis dwan yang terhormat
Ke kantor-kantor pemerintah dan pusat-pusat pengambilan keputusan

Keluarlah, keluarlah saudaraku
Dari ni’mat kesendirianmu
Satukan kembali hati-hati yang berserakan ini
Kumpulkan kembali tenaga-tenaga yang tersisa
Pimpinlah dengan cahayamu kafilah nurani yang terlatih
Di tengah badai gurun kehidupan

Keluarlah, keluarlah saudaraku
Berdirilah tegap di ujung jalan itu
Sebentar lagi sejarah akan lewat
Mencari aktor baru untuk drama kebenarannya

Sambut saja dia
Engkaulah yang dia cari

(H.M Anis Matta)

Untuk Deni… terima kasih telah menjadi teman teteh