“ Ozan…Ozan …. kebaikan yang kita lakukan, akan membuat Allah cinta kepada kita, nah kalo Allah dah cinta sama kita, apa yang kita minta nda mungkin nda dikasih. Nah, kita kan bisa minta apa aja yang buanyak buat saudara-saudara kita di sana. “
“ Oh …gitu ya mba. Ozan ngerti sekarang. Ozan mau lebih rajin lagi mba.”
“ Bagus ! Nah, sekarang Ozan panggil yang lain ya …. dah waktunya ngaji. “
“ Siap mba Muthi’, tapi setelah ngaji cerita Nabi Musanya dilanjutin meneh yo mba …”.
“ Ya ..”
Sore itu, suara anak-anak yang nyaring membaca setiap huruf hijaiyyah, menyemarakan suasana yang tadinya sepi. Begitu semangat. Terkadang terdengar suara gaduh, Luthfi dan Marwan yang berebut ngaji duluan. Mba Fani yang biasanya kalem, sore itu harus terpaksa sedikit galak biar anak-anak mau tertib. Jam 17.00 semarak suara anak-anak itu tenggelam. Mereka begitu khusyu’ mendengarkan Muthi’ bercerita tentang Nabi Musa yang gagah melawan Fir’aun. Akhirnya, adzan maghrib memaksa pertarungan Nabi Musa dan Fir’aun disudahi. Pertanda semua penghuni rumah singgah harus bersiap untuk shalat berjama’ah. Selepas shalat, mba Urwah sudah siap dengan peluitnya, mengambil komando untuk makan malam. Ehm … menu kali ini sedikit seru, setidaknya memenuhi standar P2B alis program penggemukan badan. Yupz … di ruang makan yang tidak terlalu besar, anak-anak duduk bersila dan melingkari si bandeng presto, cap cay kuah, sambel goreng hati, dan perkedel jagung. Ehm … menu gado-gado, tinggal pilih.
Mba Urwah,” Muth … sesuk ono munashoroh palestina ora?
“ Iyo mba, jam 8 kumpul ning ngarep kampus. Sekalian galang dana, one man one dinar …hehe..hehee ..
“ Hahh … one dinar? Arep tuku dinar neng endi Muth?
“ Bercanda mba, one man one dollar, khususon mba Urwah, one man hundred dollar…hehee…heee ….
“ Amiiin … mudah-mudahan mba bisa ngasih gede …”
“ Sesuk aksi gabungan toh ?
“ Yoi mba …. jangan lupa pake identitas masing-masing, pake kerudung putih, biar semarak.”
“ Siap bu korlap !!!!
“ Iya mba, sebel … udah tahu suaraku kecil nda bisa teriak, tetap aja ditunjuk jadi korlap. Timbul tenggelamlah suaraku. “
“ Semangat Muth, mba siapin air segalon buat minum kamu habis aksi. Makanya belajar teriak, wong calon guru ko suaranya kecil, ntar kalah sama anak-anakmu.”
“ Mba Urwah bisa aja, emang jadi guru musti gede suaranya. Ntar aku bawa megaphone aja sekalian orasi di kelas. Haa..haaa..haa….”
“ Muthi’….Muthi’… ono-ono wae …”
Pagi itu, hari Kamis, tepat pukul 8 lewat 10 menit, sedikit molor dari waktu yang dijadwalkan, anak-anak DKM Masjid Kampus sudah mulai memenuhi jalanan. Di bagian paling depan, akh Ridho dan akh Fahmi berdiri di atas mobil bak lengkap dengan sound system dan full nasyid-nasyid untuk Palestine. Entah berapa kali lagu itu diputar. Tapi, nda apa-apalah, yang penting semangat. Tepat di belakang mobil bak, para ikhwan dengan atribut mereka, ada yang pake kafiyeh punya bapaknya, ada yang bawa bendera Palestine, ada juga sebagian yang menjadi tim relawan penggalang dana. Pun sama dengan barisan akhwat yang ada di belakang ikhwan. Dengan serempak kerudung putih, luar biasa indah dipandang. Mereka meneriakan yel-yel anti Israel dan dukungan untuk Palestine dengan mengibarkan bendera-bendera kecil Palestine. Hari itu, Surakarta bergetar oleh takbir dan tasbih pemuda-pemudi yang memenuhi sepanjang jalan di pusat kota. Sekitar 150 mahasiswa dan relawan bersama-sama turun ke jalan dan menghimpun dana untuk Palestine. Dan …. 2 juta berhasil dikumpulkan hari itu. Alhamdulillah.
“ Alhamdulillah ya Muth, hari ini luar biasa sekali. Rencananya mau dikirim lewat mana ?
“ Biasa mba, lewat KNRP. Kalo itu urusan akh Ridho. Nanti saya tanyain kapan mau dikirim. Soalnya ada yang mau nyumbang emas.”
“ Subhanallah, sopo Muth? “
“ Ada deh… orangnya nda mau dikasih tau namanya.”
Selepas dzuhur, Muthi’ pergi ke masjid kampus. Di teras masjid, sudah ada akh Ridho dan ade-ade tingkat yang masih sibuk dengan mushafnya.
“Assalamu’alaikum…”
“’alaikumusslam warahmatullah …”
“afwan akhi, ini hasil penggalangan dananya. Ada sekitar 2 juta lebih. Terus ini ada kalung dan giwang dari salah seorang umi. “
“ Subhanallah …jazakillah mba. Insya Allah habis ashar saya kirim ke pusat.”
“Yo wis… gitu aja. Syukron katsir…assalamu’alaikum..
‘alaikumussalam warahmatullah …”
Aneh. Itu yang Muthi’ rasakan. Ia terasa aneh ketika harus berhadapan dengan akh Ridho. Kaku dan terkesan jutek. What happen gitu ? Sudah hampir satu setengah tahun yang lalu. Ada kesan berbeda yang tidak bisa Muthi’ artikan. Oh ..tidak ! jangan terjadi, dan nda boleh terjadi. Dengan sekuat tenaga ia mencoba bersikap biasa dan menetralkan semua perasaan. Namun. Nihil. Muthi’ makin kaya’ orang bingung jika harus berurusan dengan orang yang namanya Ridho’.
Huuh …LUPAKAN ! Doing something useful. Itu obat yang paling mujarab. Di taman kampus, Muthi’ buka buku-buku psikologi yang dia pinjam dari perpustakaan.
“ Bismillahirrahmanniraahiim..” Muthi’ mulai membaca setiap halaman yang memuat teori-teori yang dia cari untuk skripsinya. Mulutnya nda berhenti komat-kamit membaca setiap kata yang dijumpainya. Maklum orang audio. Dahinya berkerut-kerut, pertanda ia benar-benar serius dan konsentrasi. Tiba-tiba …Hpnya menjerit karena ada pesan yang harus dibaca juga.
“ Ehm … siapa ya ? “ Mendadak wajahnya pias, jantungnya berdetak lebih cepat. Pesan singkat dari orang rumah membuatnya linglung. Buku ditangannya tak lagi diperhatikan. Lembar halaman yang dia baca pun terbolak-balik ditiup angin yang tiba-tiba juga berhembus kuat.
“ Yaa Allah … ada apa ya? Nda biasanya umiku minta aku pulang. Pake bilang penting lagi.” Muthi makin kacau dengan bicara sendiri.”
Perlahan dia mencoba mencet tombol-tombol di Hpnya.
“Ada apa mi? tumben minta Muthi’ pulang? Muthi’ nda bisa pulang mendadak seperti ini. Apalagi besok ada janji dengan dosen mau konsultasi skripsi. “ pesan di Hp menunjukkan pesannya sudah tersampaikan. Dan …
“ Udah kamu pulang dulu aja, ntar juga tahu sendiri kalo dah nyampe rumah. Besok pagi kalo bisa udah nyampe. Jadi malam ini berangkat ya…Yo wis Muth. Umi tunggu di rumah.”
Malam ini ? Pulang ke Semarang ? Huuh … Muthi’ menarik nafas panjang. Buku-buku psikologi pun dah nda minat dilirik lagi. Dengan langkah loyo, Muthi’ berjalan pulang ke rumah singgah.
“ Assalamu’alaikum mba Muthi’ …tumben ko’ belum maghrib dah pulang?” Suara Ozan tiba-tiba mengagetkan Muthi’ yang nda sadar sudah nyampe di depan rumah singgah.
“’alaikumussalam. Iya de… soale mba ntar malem mau pulang ke Semarang. Jadi Mba harus siap-siap. “
“ Apa Muth ? Pulang? Ko’ mendadak? Mba Indi yang lagi nyapu teras pun ikut nyambung.
“ Nda tahu mba, disuruh pulang sama umi. Yah, nurut dulu aja apa kata orang tua. Lagian katanya penting. Padahal besok juga ada janji sama pak Masnun mau konsultasi skripsi. Bingung juga sih mba …”. Muthi’ nda punya semangat untuk menjelaskan ke mba Indi. Karena ia memang lagi bad mood dan loss spirit.
“ Ya udah pulang aja. Lagian juga kamu kan jarang pulang. Nda ada salahnya kamu turuti keinginan umi minta kamu pulang. Ingat Muth, mumpung masih ada waktu dan kesempatan untuk silaturahim dengan orangtua. Apalagi tinggal satu. Kalo saya, memang nda ada alasan pulang kampung. Lha wong orang tua wis ora ono. Arep balik ning sopo? “
Muthi’ tersenyum. “ Mba Indi bisa aja. Kan masih bisa silaturahim sama saudara yang lain. Jujur mba...entah kenapa saya nda pernah semangat kalo musti pulang kampung. Suasana rumah amat sangat tidak saya harapkan. Bawaannya nda betah kalo di rumah.” Nda sadar Muthi’ curhat sama mba Indi, seraya mata menatap kosong.
“Muth’… mereka itu ladang da’wah buat kita. Ingat, Rasulullah pertama kali berda’wah kepada kerabat dekatnya. Setelah kuat dan mapan, baru orang-orang yang sedikit itu yang disebut dalam sirah para assabiquunal awwaluun, menyebarkan Islam kepada massa yang lebih luas. “
“Iya mba, tapi keluargaku itu keras. Mereka itu sombong, terlalu bangga dengan rasnya. Setiap saya pulang ke rumah, pasti ada kata-kata yang membuat telingaku panas. Saya nda suka dengan fanatisme seperti itu.”
“Mba ngerti Muth…makanya mba bangga punya saudara seperti kamu. Tapi, sekali lagi ingat Muth, mereka tetap bagian dari keluarga kita. Meski mereka tidak seperti kamu, setidaknya mereka mendukung kamu. Itu yang harus kamu pikirkan. “
“Iya mba, saya ngerti. Yo wis, mau siap-siap dulu. Ntar malam mau pulang ke Semarang.”
Di kamar yang kecil itu, Muthi berberes baju-baju dan buku-buku yang akan di bawa.
“ Ah sitik wae nggowone. Nda pake lama lagian di rumah.” Muthi’ ngomong sendiri. Dan sejenak dia terdiam memandangi coretan-coretan tangannya yang tertempel di tembok kamarnya. Matanya mengeja satu demi satu cita-cita yang dia tulis. Tiba-tiba sungai kecil di matanya mengalir. Terharu, karena saat ini ia telah mencapai cita-citanya yang ketiga. Ia kini telah berada di tengah-tengah anak-anak jalanan yang begitu polos wajahnya, tutur katanya. dan segala kepolosan mereka yang tak jarang membuat Muthi tertawa dan juga menangis. Ia bahagia.
Selepas Isya’ sebelum Muthi’ berangkat, ia masih sempat memberikan cerita tentang ketangguhan ‘Asma binti Abu Bakar ketika menolong Rasulullah dan ayahnya yang bersembunyi di dalam gua Tsur.
“ Mba Muthi’ mau pulang ke Semarang ya…? Lama nda mba…?
“ Yah..kalo mba Muthi pulang ntar siapa donk yang cerita tentang Nabi lagi?
“ Insya Allah mba nda lama. Cuma dua hari. Habis itu mba pulang ke sini lagi. Kan masih ada mba Indi sama mba Urwah….
“Tapi janji ya..cuma dua hari. Pokoknya Ozan tungguin disini.
“Insya Allah pak ustadz ….
Tepat jam 22.30, anak-anak sudah terlelap. Dan saatnya Muthi’ bersiap pulang ke Semarang. Mba Urwah mengantar Muthi’ sampai terminal. Sesampainya di terminal …
“ Mba…do’ain saya ya. Mudah-mudahan saya bisa berda’wah ke keluarga. “
“ Insya Allah Muth. Allah pun tak akan pernah membiarkan hamba Nya yang berjuang untuk Nya, merasakan kesusahan. Yups … fii amanillah. Salam untuk keluarga. “
“ Insya Allah mba, salam juga buat teman-teman dan juga ade-edeku, terutama ustad Ozan.”
Ya tuh…fans berat kamu. Jangan lama-lama ya di sana. Lagian kita harus nyiapain program buat OMB. “
“Okelah kalau begitu..“Assalamua’alaikum…” Muthi’ melempar senyum sebelum naik ke bus.
“’alaikumussalam warahmatullah..” Mba Urwah melambaikan tangannya. “ Ya Allah, tolonglah dan kuatkan saudaraku melewati setiap skenario Mu.” dan ia pun membatin.
Muthi’ berlalu bersama bus ekonomi jurusan Semarang dengan hiruk-pikuk malam menemaninya. Di dalam bus, mata elang Muthi’ begitu tajam menatap setiap yang berlalu dihadapannya. Dua orang pengamen, yang masih istiqomah menadah tangan hingga larut seperti ini. Pipa-pipa panjang dan gitar yang dipadu secara apik, tak bisa menyembunyikan suara mereka yang sumbang menyanyikan shalawat. Tidak ada kefasihan ketika Allah dan Rasul Nya di sebut-sebut dalam bait-bait lagunya. Entah hati mereka pun seperti apa ketika menyebutnya. Bus berhenti sejenak. Sopir dan para kondekturnya rehat di warung kopi pinggir jalan. Mata elang Muthi’ pun menembus sesuatu yang gelap di luar sana. Di dekat warung kopi, nampak seorang wanita tengah baya, berjualan nasi untuk memenuhi kebutuhan para pejalan malam. Muthi’ membatin. Kemana suaminya, anak-anaknya? Membiarkan wanita setua itu berjuang melawan dingin, gelap dan bahkan bahaya dunia malam sendirian? Matanya berkaca, ia bersyukur ibunya menikmati masa tua yang begitu bahagia bersama anak-anaknya di rumah. Kepalanya pun tertunduk….Muthi’ kembali membatin, “ Akankah masa tuaku seperti ibu itu? “ Oh …tidak. Aku ingin seperti Kartini yang syahid di usia yang masih sangat muda dengan membawa bukti perjuangan yang kini menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Atau seperti Cut Nyak Dien. Menghabiskan usianya untuk berjuang mengusir penjajah dari tanah Aceh sampai syahid di usianya yang ke 62 tahun. Ah …terlalu idealiskah diriku? Aku fikir tidak. Seorang da’I memang seharusnya berfikir seperti itu. Akhir seperti apa yang akan ia rancang di akhir waktunya ?
Sepanjang perjalanan malam itu, Muthi’ tak mampu terpejam. Ia menatap kosong. Namun berbagai hal berterbangan di alam fikirnya. Keheningan malam itu, meski bising oleh suara bus dan berbagai kendaraan malam yang berseliweran dengan kecepatan tinggi, tak peduli siapa menyalip siapa. Nyawa begitu tak ada harganya malam itu. Bagi Muthi’ saat-saat yang tepat untuk berkontemplasi.
Tak terasa perjalanan telah mendekati subuh. Bus pun ternyata pantang berhenti sejenak. Apa boleh buat. Muthi’ menunaikan dua raka’at subuh di dalam bus. Kebetulan dia duduk sendirian. Jadi aman. Lantunan do’a ma’tsurat menemaninya menyambut sinar fajar yang menghangatkan.
Akhirnya, tibalah Muthi’ di terminal perhentian. Bibirnya sedikit tersimpul ketika menghirup udara kota kelahirannya. Segera ia stop angdes yang menuju rumahnya. Tiga puluh menit kemudian, ia sampai di depan gang rumahnya. Dari sana ia berjalan, menyusuri perumahan warga yang telah nampak banyak perubahan. Banyak rumah-rumah yang disulap jadi istana dalam waktu kurang lebih tiga tahun. Ya…Muthi’ memang sangat jarang pulang. Ia hanya menengok kampungnya itu satu tahun sekali. Ramadhan akhir dan Syawal.
“ Lho …mba Muthi’ bukan nih ?
“ Inggih bu…” senyum Muthi’ menyapa ramah Ibu Mega tetangganya yang berjualan jajanan pasar. Semasa kecil Muthi’ biasa mangkal di situ kalau pulang sekolah.
“Masya Allah, wis gede yo…. perasaan baru kemarin ibu lihat Muthi’ pake baju merah putih. Eh sekarang wis gadis. Bentar lagi nikah.”
“ Ibu bisa aja…monggo bu, duluan…” Muthi’ segera menyudahi basa-basinya.
“ Yo…yo …monggo. “
Sesampainya di rumah. “ Assalamu’alaikum warahmatullah….”. Muthi’ masuk ke rumahnya yang terbuka. Suasana asing begitu cepat menyelimuti jiwa Muthi’.
“ ‘alaikumussalam warahmatullah…masya Allah Muthi’. Akhirnya nyampe juga. Jam berapa dari Surakarta ?
“ Jam 11 mi.” Muthi’ segera mencium tangan uminya dan memeluknya. Bukan hal yang biasa bagi Muthi’ memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya. Mungkin sudah terlalu lama tidak pulang, ia merasa harus memeluknya.
“ Yang lain pada kemana mi? Ko’ sepi ?
“ Farah sama Abir lagi ke kota. Biasa belanja bulanan mereka. Kakak iparmu lagi pada ta’ziyah. Tetangga sebelah ada yang meninggal. “
Innalillahi…siapa mi?
“ Bu Neneng… yang dulu kamu biasa manjat pohon jambu di pekarangannya. “
“ Masya Allah…banyak kejutan Muthi’ pulang. “
“ Sudah sana kamu istirahat dulu. Kelihatan cape wajahmu. Sudah makan belum ?
“ Sampun mi. “
Uminya berlalu menuju dapur. Sedang Muthi’ menuju kamarnya di pojok dekat dapur. Sejenak ia tertegun menatap kamarnya. Tidak ada perubahan sejak ia meninggalkannya. Ia pun merebahkan diri di atas tempat tidurnya.
Selepas dhuhur, Muthi’ bersama umi dan kakak-kakaknya, melingkar di meja makan. Suasana asing, kembali menyelimuti panasnya siang itu.
“ Muth, gimana kuliahmu? Kapan wisuda? Kak Abir, kakak pertama perempuan Muthi, membuka pembicaraan. Oh ya, lupa. Muthi’ adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Yang pertama adalah Abir, yang kedua Farah, yang ketiga laki-laki namanya Fairus dan terakhir Muthi’. Semuanya sudah menikah, tinggal Muthi’ yang tersisa. Dan semuanya berpencar ke berbagai kota, tapi masih di Jawa Tengah. Hanya kebetulan semuanya sedang ngumpul di Semarang.
“ Udah selesai, lagi skripsi. Insya Allah target ikut gelombang wisuda akhir tahun ini.” Muthi’ menjawab datar.
Muthi’ sosok yang paling berbeda di dalam keluarga itu. Yang pertama, beda prinsip. Meski tergolong warga keturunan, dia tidak mempermasalahan itu sebagai sebuah perbedaan di tengah masyarakat yang membuat kebanyakan golongan mereka memilah-milah. Yang kedua, dari penampilan. Karena tarbiyah yang diikutinya sejak SMA membuatnya berpenampilan layaknya santri. Jilbab lebar, sering memakai gamis, atau atasan panjang sampai lutut dan rok, kaos kaki yang menutupi kakinya jika keluar rumah. Apalagi, di moment kumpul keluarga seperti saat ini, di dalam rumah pun ia tetap memakai atribut lengkap akhwat. Pernah Muthi’ mendapat protes berkali-kali dari umi dan kakak-kakaknya. Tapi dia hanya melempar senyum menanggapi mereka. Dan akhirnya, mereka pun menyerah menghadapi Muthi’ yang memegang teguh prinsipnya.
Setelah makan siang selesai, tibalah umi membuka obrolan.
“Muth, umi minta secepatnya kamu selesaikan kuliahmu. “
“ Insya Allah mi, saya juga sedang berusaha bagi waktu. Biar skripsi lancar dan kerjaan saya pun tidak terganggu.”
“Kerja ? Kerja apaan? umi bertanya heran.
“ Oh ya, saya lupa kasih tahu. Alhamdulillah saya udah punya kerjaan. Ya, meski nda seberapa gajinya, minimal bisa bantu bayar kost dan makan. “ Semua yang ada di ruangan itu, bengong dengan keunikan adik bungsunya itu.
“ Udahlah Muth. kamu focus skripsi saja, biar cepat kelar…” kak Farah menanggapi dengan nada yang kurang ramah.
“ Saya cuma ingin mandiri kak…”
“ Farah ???? Muthi…umi ingin menyampaikan sesuatu.” umi menyeka Farah.
“ Apa mi…” Muthi semakin tidak nyaman dalam ruangan dan kondisi seperti itu.
“ Gini, dua minggu yang lalu, saudara umi dari Jakarta datang ke rumah. Dia datang dengan anak laki-lakinya. Namanya Faris. Punya usaha yang mapan. Dan sudah punya tempat tinggal sendiri di Tangerang. Uminya Faris ingin meminta kamu untuk Faris. Karena Faris butuh istri untuk menemaninya di Tangerang.”
“ tapi bukannya ..???
“ Ya, Faris baru bercerai dari istrinya. Karena ternyata istrinya cuma ingin hartanya Faris. Dia sekarang duda, tapi belum punya anak. Gimana Muth?
“ Orangnya baik Muth, sholeh lagi. Dan kamu nda perlu kerja macam-macam. Apalagi ngurusi anak-anak jalanan yang nda tahu terimakasih. Cukup dirumah, sudah nyaman, kamu juga bisa jalan-jalan keliling Jakarta bahkan keluar negeri. Kalo aku jadi kamu, pasti tak terima lamarannya.” Lagi-lagi kak Farah nyerocos tanpa tedeng aling-aling.
Muthi’ terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Keringat dingin mengucur deras. Dia tidak sanggup mendengar ocehan-ocehan seperti itu. Hampir saja air mata tumpah saat itu, tapi tertahan dan semakin membuat sesak nafasnya.
“ Maaf mi, saya nda bisa kasih jawaban sekarang. Lagian saya belum pernah ketemu orangnya.” akhirnya Muthi berani menjawab.
“ Ngapain difikirkan dulu. Toh Faris sama uminya udah pernah lihat kamu. “ Kak Farah kembali nembak.
“ Kak, pernikahan itu bukan untuk sehari atau dua hari. Tapi seumur hidup. Perlu istikharah, pertimbangan dan persiapan yang nda mudah.”
“ Muthi’, Faris itu sudah mapan. Dia bahkan siap menanggung biaya pernikahan, kamu masih bisa kuliah lagi dan seperti tadi aku sampaikan, kamu bisa hidup seneng dan enak sama Faris …”
“ Kak…itu bukan pernikahan yang saya pahami. Kebahagiaan itu bukan karena banyaknya harta. Dan maaf, saya tidak sama dengan perempuan Arab yang lain. Yang kerjanya hanya diam dirumah dan menadahkan tangan menunggu jatah makan dari suami.” Muthi sudah memuncak.
“ Kamu itu ngomong opo to Muth…”
“Udah, saya tahu apa yang musti saya lakukan. Dan maaf, saya tidak bisa menerima lamaran Faris.” Muthi’ meninggalkan ruangan itu dan segera berlari ke kamarnya dan menguncinya.
Di dalam kamar, Muthi’ menangis sepuas-puasnya. Dia tidak menyangka, apa yang difikirkannya, ternyata terjadi saat ini. Sementara itu di ruang makan…
“ Heran, kok Muthi’ bisa keras kaya’ gitu…? Kak Farah berkomentar.
“ Farah, kamu itu yang terlalu keras. Kenapa kamu tidak biarkan umi menjelaskan pelan-pe;lan ke Muthi’? Umi memprotes Kak Farah.
“ Huuuuuh …. Habis saya nda sabar sama Muthi’.
Setelah kejadian siang itu, rumah itu pun semakin menyuguhkan hawa panas yang sangat tak diharapkan. Semuanya bersikap dingin. Tak ada yang bersedia menyapa, atau sekedar basa-basi. Kecuali umi, yang tetap menyuguhkan senyumnya, terutama untuk Muthi’. Tak ada bisa dilakukan Muthi’ untuk menetralkan perasaannya, kecuali diam dan baca buku, atau sekedar bantuin uminya.
Di teras rumah…” Muth’, kamu nda usah pikirin kata-kata Farah tadi siang. Umi juga nda maksa kamu. Tapi umi harap kamu nda secepat itu memutuskan jawaban. Umi tahu, kamu punya aktivitas yang banyak. Dan hal itu bisa dibicarakan. Umi yakin, Faris bisa ngerti kesibukan kamu.”
“ Umi berharap….?” Muthi’ menanggapi dengan pertanyaan menggantung.
“ Umi cuma ingin kamu bahagia Muth’…” Sergah umi.
“ Maaf mi, saya nda bisa. Hati saya nda ngadep.” Muthi’ menatap umi sayu.
“ Besok saya pulang lagi ke Surakarta.”
“ ko’ cepet sekali. Kamu tuh memang nda pernah betah di rumah..” umi kecewa.
“ Maaf mi, di kampus lagi banyak kerjaan. Lagian saya sudah ngajar, masa bolos lagi.” Muthi menjelaskan pelan.
to be continued ...