Gerbang pertama
Refleksi Cinta Untuk Peradaban
Deklarasi cinta pertama yang menggetarkan. Tatkala mitsqon gholidzon itu disaksikan oleh seluruh makhluq di langit dan di bumi. Ia pun adalah gerbang pertama memasuki dimensi waktu yang di dalamnya berbagai skenario dijalankan. Awal gerbang itu dibuka, segala keindahan menjadi hiasan mata. Jiwa melambung tinggi dan raga tertunduk khusyu’ mensyukuri setitik nikmat penghuni syurga yang diturunkan ke bumi. Sebuah anugerah fitriah yang membuktikan betapa Penguasa Alam ini begitu Maha Pengasih dengan kehendak Nya yang menghimpun hati-hati yang sebelumnya terserak. Dan darinya ditiupkankanlah cinta Nya yang menjelma sebagai kekuatan yang semakin mengikat kedua hati.
Itulah kekuatan cinta yang menjadi narasi kehidupan menuju gerbang selanjutnya. Seperti apa narasi itu disusun, tergantung pada tema besar yang disepakati di awal. Menjadi fatal, manakala tema besar itu tak terfikirkan, apalagi tak terancang. Atau manakala ia hanya disikapi sama dengan penyikapan kebanyakan manusia. Padahal dari sanalah awal bencana atau kebahagiaan bermula.
Ya, dimensi waktu yang membawa cinta dalam sebuah institusi bernama keluarga, tak sedikit hanya difikirkan sebagai kebutuhan individu yang nyaris kering dari penamaan tema besar. Akhirnya, kita saksikan bersama, institusi itu banyak melahirkan generasi-generasi lemah dan melemahkan. Rusak dan merusak. Sebuah refleksi yang agaknya perlu dihadirkan dalam ruang kontemplasi akan sebuah pesan sakral :
“Hai manusia bertaqwalah kepada Rabb yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Allah menciptakan istrimu. Dari keduanya Allah mengembangbiakan laki-laki dan wanita yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. “( Q.S. An Nisaa’ : 1)
Sangat jelas, pesan yang mengisyaratkan bahwa dasar kehidupan manusia adalah keluarga. Sang Khaliq menghendaki agar “tanaman” di muka bumi ini dimulai dengan sebuah keluarga. Terbentuknya sebuah keluarga yang terdiri dari suami-istri, “dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan wanita yang banyak.” Allah swt berkehendak terhadap sesuatu yang diketahuiNya dan terhadap suatu hikmah yang dimaksudkan Nya, yaitu hendak mengembangkan jalinan kerahiman. Dimulailah hal itu dengan koneksi rubbubiyah yang merupakan pangkal dan awal segala koneksi dan berikutnya adalah koneksi rahim (kekeluargaan). Maka terwujudlah keluarga pertama yang terdiri dari seorang laki-laki dan wanita, yang keduanya dari diri yang satu dengan tabiat dan fitrah yang satu. Dan di atas ini semua, dengan landasan aqidah, berdirilah tatanan masyarakat. Maka, Islam pun mengatur agar ikatan kekeluargaan ini tetap terpelihara, kokoh, mantap dan terlindungi dari segala yang melemahkan.
Selanjutnya, inilah yang menjadi misi bersama yang tidak mungkin termandatkan hanya pada salah satu manager institusi. Peran managerial menjaga dan melindungi aset yang juga adalah amanah, haruslah menjadi pemikiran bersama dalam merancang peta kemana dan bagaimana amanah itu dihantarkan pada hakikat awal pemberiannya. Singkatnya, meskipun dalam aplikasinya ada semacam job division, tetapi peran yang satu ini tetaplah menjadi peran koalisi yang saling mengisi. Sinergisasi peran yang tidak terkotak pada salah satu definitif peran yang ternyata membuka ruang permasalahan yang semakin lebar dikemudian hari. Paradigma berfikir yang berkembang pun perlu diluruskan, guna tidak menjadi racun yang mematikan pelan-pelan karakter yang seharusnya ditanam sejak awal.
Perumusan paradigma inilah yang menjadi kunci pertama yang harus dirancang agar pintu menuju ruang yang bernama kerja sama dapat ditata dengan apik dan rapih. Oleh karenanya dibutuhkan kelapangan hati, kearifan berfikir dan kesamaan cita-cita dalam merumuskannya. Tema besar seperti apa yang akan di “pajang” di atas gerbang institusi itu dan langkah-langkah seperti apa yang akan diwujudkan dalam mengejawantahkannya.
Ya, secara jelasnya, institusi yang bernama keluarga itu, adalah tempat pertama disemainya benih peradaban yang bernama anak. Kenaifan berfikir yang tidak sedikit kemudian membuahkan fatalisme dalam perjalanannya. Sebagai contoh real dalam masyarakat, ketika peran ini didefinitifkan pada satu pihak (ibu, sebagai pemegang peran domestik), tidak sedikit anak-anak yang mengalami disorder in development. Meskipun ibu memiliki berjuta cara untuk memegang kendali pendidikan anaknya, namun tetap saja, ada semacam kekuatan yang harus diberikan dari sentuhan tangan ayah, dari kecupan ayah, dari kebersamaan dengannya yang mampu menumbuhkan kekuatan emosional yang baik pada diri anak.
Banyak kita jumpai dalam kehidupan kini, seorang ayah merasa telah bertanggung jawab terhadap keluarganya dengan pergi pagi pulang petang mencari nafkah. Sesampainya di rumah, apa yang terjadi di rumah terkait dengan urusan PR anak, bercanda bersama mereka atau moment desperate istrinya, termaklumkan karena lelah yang tersisa. Seakan ada pemaafan yang tersirat manakala ayah “mengundurkan” diri dari tugas parenting dan keberadaannya sebagai qowam. Walhasil, hubungan yang terwujud di antara keduanya, persis hubungan antara seorang majikan dan bawahannya. Atau, ayah adalah sebagai ayah yang harus dihormati, tak boleh diganggu yang akhirnya ada keseganan bagi anak untuk sekedar menyapa ayahnya. Yang paling fatal adalah anak yang tak merasa memiliki ayah, meskipun secara fisik ia ada.
Secara psikologi, anak membutuhkan peran ayah. Baik fisiknya, pemikirannya, perhatiannya dan juga nasihatnya. Karena ada sesuatu pada diri ayah yang tidak dimiliki oleh ibu. Ada sebuah nasihat dari sahabat Ali bin Abi Thalib terkait dengan pendidikan anak, beliau berkata,” Pada usia tujuh tahun pertama posisikan anakmu selayaknya seorang raja. Pada tujuh tahun kedua, posisikan anakmu dengan mendidiknya sebagaimana seorang tentara, dan pada tujuh tahun ketiga didiklah anakmu dengan menjadikanmu sebagai teman baginya.”
Pada fase perkembangannya, anak membutuhkan peran pendukung sekaligus pembentuk dirinya dari luar, yakni ayah dan ibunya. Ketika hal itu tidak didapatkan anak dari keduanya, maka secara psikologi untuk memenuhi kebutuhan itu, anak akan mencarinya di dunia luar. Inilah yang kemudian menjadi awal bencana atau bisa jadi kebaikan bagi anak sendiri dan juga bagi keluarga. Banyak anak yang perkembangannya dipenuhi dengan nilai-nilai negatif, karena mereka mencari kebutuhan itu pada tempat dan orang yang tidak tepat. Namun tak sedikit pula mereka yang mendapatkan kebaikan dalam pencarian jati dirinya, karena mereka mendapatkan pada tempat dan dari orang yang benar pula.
Kondisi ini mungkin bagi sebagian orang adalah biasa. Disorder in children development hanya disikapi sebagai akibat negatif lingkungan dan media. Tanpa ada usaha dari para orang tua, setidaknya, instrospeksi akan tanggung jawabnya mendampingi mereka. Terjadi kemudian dalam keluarga, sikap saling menyalahkan antara ibu dan ayah. Ayah menyalahkan ibu yang dianggap tidak telaten ngurusi anak, atau ibu yang menggugat ayah yang terlalu sibuk dengan dunia kerja.
Sejatinya, kedua manager institusi keluarga mesti menyadari dan merasakan bahwa mereka memikul amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya keduanya senantiasa memerlukan keseimbangan yang sehat dalam kepemimpinan ini. Keseimbangan yang sehat ini akan mampu terwujud manakala pengaturan tentang hal ihwal kerumah tanggaan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan anak, dijalankan dalam suasana penuh kerja sama, tanggung jawab dan syuro, dalam pengertian sesuai dengan ketentuan Islam.
Kembali penulis disini mengajak untuk merefleksi tujuan awal institusi itu dibangun. Bijaknya, tidak sekedar bermodal semangat, atau kesiapan materi, namun jauh lebih penting dari itu adalah konsep penyiapan benih peradaban itu sendiri, yang tidak bisa dipungkiri adalah salah satu tujuan dari pembangunan institusi yang bernama keluarga. Satu hal lagi yang perlu menjadi perenungan adalah hakikat amanah besar dalam membangun dan menyiapkan peradaban itu. Begitu Maha Agungnya Allah dengan segala ketentuan-ketentuan yang telah disampaikan-Nya melalui ayat-ayat penggugah yang selalu kita baca sebagai petunjuk jalan keselamatan, kebahagiaan dan petunjuk jalan menuju kegemilangan generasi Islam sesudah kita. []
to be continued ...
Selasa, 30 November 2010
Selasa, 19 Oktober 2010
Epilog Seorang Ibu dan Dua Orang Anaknya
Semburat mega menyingsing mengusir sinar senja di permulaan malam. Sinar keemasannya perlahan pamit ke peraduan. Tersisa kini lampu-lampu sorot dari kendaraan yang berlalu lalang, mengencangkan gas menuju tempat orang-orang tercinta menanti. Membawa kebungkus martabak atau setumpuk rupiah untuk bekal belanja anak dan istri. Senyum bahagia bercampur lelah menjadi tenaga sisa di akhir senja itu.
Rentetan suara klakson bersautan mengalahkan suara adzan maghrib yang memanggil. Berdesak, meminta paksa setiap kendaraan untuk menyingkir dari hadapannya. Di perempatan lampu merah, tak pelak lagi pemandangan lama yang masih menghiasi wajah senja. Wajah-wajah yang berseri tatkala banyak dijumpai mobil mewah ngantri dibawah lampu merah. Mengharap lemparan receh dari kaca mobil atau setidaknya sebatang rokok untuk membungkam demonstrasi di perut sedari pagi.
Seorang wanita muda, dengan buntelan kecil di pundaknya, tersenyum layu, berlari mengejar harapan di bawah lampu merah. Matanya mengernyit, menahan silau lampu kendaraan. Tangannya tak lelah menadah dari mobil ke mobil, dari motor ke motor. Untunglah ia tak menghampiriku. Terlalu perih menyuguhkan receh yang tak seberapa. Dan terlalu bodoh jika selalu memberikan harapan itu padanya. Itu sama sekali tak akan pernah menolongnya.
Sejenak, kuperhatikan hitungan detik yang menandakan lampu hijau sebentar lagi mempersilahkanku tancap gas. Dengan cepat dua bocah kecil berlalu di hadapanku. Mereka berjalan dengan penuh canda. Bibir mereka menyanyikan pelan lagu-lagu yang biasa mereka dengar di pinggir jalan atau dari supir angkot yang biasa mangkal menemani mereka melepas lelah di pinggiran terminal kota itu. Nampaknya mereka kakak dan adik. Buntelan kecil pun nemplok di pundak kecil si kakak. Sedangkan si adik, berjingkrak, menenteng kresek hitam.
Mereka berdiam di trotoar. Memandangi kami yang juga memandangi mereka. Dua bocah itu menunggu wanita yang tengah berada di tengah-tengah arus mobil dan motor. Wajah mereka begitu polos. Berkas-berkas debu menghiasi wajah-wajah tirus yang dimake-up senyum getir. Sesak dada ini menatap mereka tanpa harapan. Sebuah cerita lalu yang kembali terulang, mengumandang bersama syahdunya panggilan Tuhan.
Wanita itu, ibu dari dua bocah malang itu. Mereka mencari harapan di bawah panasnya matahari, derasnya hujan mengguyur, dan di tengah dinginnya malam. Jalanan menjadi rumah mereka, trotoar menjadi alas tidur yang paling murah dan mudah disinggahi. Entah, apa yang ada dalam benak mereka tentang kehidupan. Sesuap nasi yang mendarat dimulut mereka adalah yang terutama. Mereka bertiga, menepi di trotoar, bercengkrama layaknya keluarga bahagia. Bersama-sama membongkar buntelan, menyantap sisa makanan yang ada. Buntelan plastik kecil tak luput untuk dibuka. Ya, kepingan rupiah menyegarkan wajah mereka yang kusam. Satu per satu rupiah dihitung. Beberapa tumpukan receh yang menjulang menjadi semangat tersendiri bagi dua bocah dan wanita itu. Pada tumpukan receh itulah harapan di sandarkan. Tragis.
Perlahan wanita itu memandangi lekat-lekat dua wajah anaknya. Ia elus kepala di adik dengan penuh haru. Tak ada kata yang meluncur dari bibir keringnya. Hanya senyum dan setitik bening lara yang menyapa. Anak itu pun dengan polos berkata, “ Mak, kalo setiap hari kita dapat uang sebanyak ini, nanti kita bisa sekolah nda ?” Sambil menelan ludah, wanita itu pun berkata,” Kamu masih ingin sekolah ? Jika saja uang receh ini bisa untuk membayar biaya sekolah, tentu akan emak sekolahkan kalian. Tapi siapa yang mau menerima receh-receh lusuh dari kita? Masa depanmu bukan emak yang menentukan, tapi receh ini. Emak tidak bisa berbuat banyak di tengah jaman yang galak seperti ini. “
Bocah itu pun menatap kosong wajah emaknya. Tak ada kata-kata yang terucap untuk membalas kata-kata emaknya, layaknya seorang bocah yang selalu bertanya ingin tahu. Si kakak pun hanya diam, sibuk oleh receh yang terus disusunnya. Lalu si kakak pun bersorak,” Horeee, kita dapat 50rb. Emak, jangan dihabiskan semua ya uangnya, kita tabung. Nanti besok-besok kita nyari lebih banyak lagi ya….”. Emaknya hanya menatap sayu anak sulungnya itu.
Malam semakin bergulir. Saatnya mereka kembali ke rumah yang entah ada dimana. Sekali-kali, mereka mampir membeli nasi bungkus di pinggir jalan untuk membungkam si pendemo yang belum letih juga berteriak. Bertiga mereka susuri jalanan yang semakin ramai oleh bis-bis malam, sorot lampu kendaraan yang semakin menyilaukan, dan calo-calo yang kembali lantang berteriak-teriak memanggil calon penumpang. Si Emak berjalan di depan, dan dua bocah itu mengikutinya dari belakang. “ Mak, malam ini kita mau tidur dimana?” lagi-lagi si adik bertanya. “ Dimana aja asal nda kehujanan.” Si Emak hanya menjawab datar. Malam itu pun menjadi malam pelepas lelah untuk mereka bertiga. Tak peduli besok apa yang akan mereka temui untuk kembali mengganjal perut kelaparan mereka. Malam ini adalah malam ini. Esok adalah cerita tersendiri yang akan bergulir seiring dengan kaki melangkah dan tangan yang menengadah.[]
Rentetan suara klakson bersautan mengalahkan suara adzan maghrib yang memanggil. Berdesak, meminta paksa setiap kendaraan untuk menyingkir dari hadapannya. Di perempatan lampu merah, tak pelak lagi pemandangan lama yang masih menghiasi wajah senja. Wajah-wajah yang berseri tatkala banyak dijumpai mobil mewah ngantri dibawah lampu merah. Mengharap lemparan receh dari kaca mobil atau setidaknya sebatang rokok untuk membungkam demonstrasi di perut sedari pagi.
Seorang wanita muda, dengan buntelan kecil di pundaknya, tersenyum layu, berlari mengejar harapan di bawah lampu merah. Matanya mengernyit, menahan silau lampu kendaraan. Tangannya tak lelah menadah dari mobil ke mobil, dari motor ke motor. Untunglah ia tak menghampiriku. Terlalu perih menyuguhkan receh yang tak seberapa. Dan terlalu bodoh jika selalu memberikan harapan itu padanya. Itu sama sekali tak akan pernah menolongnya.
Sejenak, kuperhatikan hitungan detik yang menandakan lampu hijau sebentar lagi mempersilahkanku tancap gas. Dengan cepat dua bocah kecil berlalu di hadapanku. Mereka berjalan dengan penuh canda. Bibir mereka menyanyikan pelan lagu-lagu yang biasa mereka dengar di pinggir jalan atau dari supir angkot yang biasa mangkal menemani mereka melepas lelah di pinggiran terminal kota itu. Nampaknya mereka kakak dan adik. Buntelan kecil pun nemplok di pundak kecil si kakak. Sedangkan si adik, berjingkrak, menenteng kresek hitam.
Mereka berdiam di trotoar. Memandangi kami yang juga memandangi mereka. Dua bocah itu menunggu wanita yang tengah berada di tengah-tengah arus mobil dan motor. Wajah mereka begitu polos. Berkas-berkas debu menghiasi wajah-wajah tirus yang dimake-up senyum getir. Sesak dada ini menatap mereka tanpa harapan. Sebuah cerita lalu yang kembali terulang, mengumandang bersama syahdunya panggilan Tuhan.
Wanita itu, ibu dari dua bocah malang itu. Mereka mencari harapan di bawah panasnya matahari, derasnya hujan mengguyur, dan di tengah dinginnya malam. Jalanan menjadi rumah mereka, trotoar menjadi alas tidur yang paling murah dan mudah disinggahi. Entah, apa yang ada dalam benak mereka tentang kehidupan. Sesuap nasi yang mendarat dimulut mereka adalah yang terutama. Mereka bertiga, menepi di trotoar, bercengkrama layaknya keluarga bahagia. Bersama-sama membongkar buntelan, menyantap sisa makanan yang ada. Buntelan plastik kecil tak luput untuk dibuka. Ya, kepingan rupiah menyegarkan wajah mereka yang kusam. Satu per satu rupiah dihitung. Beberapa tumpukan receh yang menjulang menjadi semangat tersendiri bagi dua bocah dan wanita itu. Pada tumpukan receh itulah harapan di sandarkan. Tragis.
Perlahan wanita itu memandangi lekat-lekat dua wajah anaknya. Ia elus kepala di adik dengan penuh haru. Tak ada kata yang meluncur dari bibir keringnya. Hanya senyum dan setitik bening lara yang menyapa. Anak itu pun dengan polos berkata, “ Mak, kalo setiap hari kita dapat uang sebanyak ini, nanti kita bisa sekolah nda ?” Sambil menelan ludah, wanita itu pun berkata,” Kamu masih ingin sekolah ? Jika saja uang receh ini bisa untuk membayar biaya sekolah, tentu akan emak sekolahkan kalian. Tapi siapa yang mau menerima receh-receh lusuh dari kita? Masa depanmu bukan emak yang menentukan, tapi receh ini. Emak tidak bisa berbuat banyak di tengah jaman yang galak seperti ini. “
Bocah itu pun menatap kosong wajah emaknya. Tak ada kata-kata yang terucap untuk membalas kata-kata emaknya, layaknya seorang bocah yang selalu bertanya ingin tahu. Si kakak pun hanya diam, sibuk oleh receh yang terus disusunnya. Lalu si kakak pun bersorak,” Horeee, kita dapat 50rb. Emak, jangan dihabiskan semua ya uangnya, kita tabung. Nanti besok-besok kita nyari lebih banyak lagi ya….”. Emaknya hanya menatap sayu anak sulungnya itu.
Malam semakin bergulir. Saatnya mereka kembali ke rumah yang entah ada dimana. Sekali-kali, mereka mampir membeli nasi bungkus di pinggir jalan untuk membungkam si pendemo yang belum letih juga berteriak. Bertiga mereka susuri jalanan yang semakin ramai oleh bis-bis malam, sorot lampu kendaraan yang semakin menyilaukan, dan calo-calo yang kembali lantang berteriak-teriak memanggil calon penumpang. Si Emak berjalan di depan, dan dua bocah itu mengikutinya dari belakang. “ Mak, malam ini kita mau tidur dimana?” lagi-lagi si adik bertanya. “ Dimana aja asal nda kehujanan.” Si Emak hanya menjawab datar. Malam itu pun menjadi malam pelepas lelah untuk mereka bertiga. Tak peduli besok apa yang akan mereka temui untuk kembali mengganjal perut kelaparan mereka. Malam ini adalah malam ini. Esok adalah cerita tersendiri yang akan bergulir seiring dengan kaki melangkah dan tangan yang menengadah.[]
Senja Temaram
Bismillah. Amsaina wa amsal mulku lillah walhamdulillahi laa syariikalahu. Senja ini, ruang kontemplasi kembali menyeruak dalam aliran waktu yang tersisa. Ia hadirkan wajah temaram yang menyuguhkan suasana haru, hening, dan sepi. Persis seperti kesendirian jiwa yang tiada pernah ku faham maknanya. Ia begitu agresif merangsek mengobrak-abrik tatanan jiwa yang tadinya begitu nyaman menemaniku. Tapi mungkin itulah tabiat aslinya, kadang memberi nyaman, kadang syahdu, kadang membosankan.
Senja ini, ingin kucoba merangkai kata menuangkan kegundahan yang tak pernah aku harapkan hadir di saat-saat seperti ini. Kekuatan itu kembali meruntuhkan pertahananku. Kali ini kekuatannya lebih besar. Ia membuka kesadaranku akan sebuah hakikat. Namun, tak mudah bagiku ternyata menerimanya sebagai sebuah keniscayaan yang mungkin ya atau juga tidak. Entahlah, ternyata masih sangat berat untukku jika memang itu menjadi mungkin.
Senja ini, tak ada cela kiranya jika hati ini menghaturkan sebuah harap akan hadirnya kekuatan yang selalu berkelebat di pelupuk mataku. Aku tak tahu apa itu. Dan aku pun tak yakin ia mampu menguatkan pertahananku. Sungguh tak ingin aku mengulang yang kedua kalinya, membangun pertahanan di atas pondasi yang ternyata lemah pula. Tapi sebentar, aku tak bermaksud mengatakan aku butuh pondasi yang kuat untuk pertahananku. Aku hanya membutuhkan batu-bata yang kokoh dan kompak menyusun satu pertahanan yang mampu menguatkan diri saat ini, esok dan selamanya.
Senja ini, aku benar-benar rapuh di atas kekuatanku. Inilah hakikat yang telah menampar kesadaranku agar aku tak lagi terlalu banyak mimpi dan mungkin agar aku tak terlalu bangga dengan keakuanku. Karena saat ini aku benar-benar membutuhkan pertemanan. Tak bisa ku ingkari temaramnya jiwa saat ini. Namun bagaimanapun aku harus tetap seperti aku. Tak mungkin aku obral akan menyebalkannya sebuah kesendirian dan kesepian yang tak mengetuk ijin untuk singgah. Jika saja aku punya kuasa mengusirnya ketika ia baru akan melangkah menujuku. Namun aku terlambat.
Senja ini, di atas kerapuhan yang baru kusadari, aku pun ingin bertekad. Aku tak ingin mewariskan temaram jiwa ini untuk waktuku esok. Cukup hari ini, saat ini. Esok adalah hariku yang harus aku semai mimpi dan citaku di sana. Tak boleh dan tak akan aku ijinkan segala yang akan merobohkan menghampiri dan mengusik. Pertahananku akan aku kuatkan dan akan semakin aku jaga agar ia tak akan lagi cacat dan kembali melemahkan. Akan aku fahami dan akan kucoba terima jika hakikat itu menjadi keniscayaan dikemudian hari yang aku yakin mungkin akan membuatku roboh. Tetapi aku pun masih punya sepucuk do’a yang akan terus aku semai sampai keniscayaan itu ku saksikan dengan senyum simpulku atau bening lara yang merembes di sela kedua mataku.
Senja ini, aku kembalikan temaram hati ini kepada yang Maha Memiliki Cahaya. Aku kembalikan kekuatannya kepada yang Maha Memiliki Kekuatan. Aku haturkan do’a senja sebagai penutup segala kegundahan, sebagai pembuka segala kebahagiaan dan kekuatan yang selalu aku jaga dan aku syukuri disetiap makna dan episodenya.
Senja temaram ini, semoga adalah senja yang tak akan lagi menemaramkan hati.
Dan esok adalah mentari kehidupan baru yang harus aku sambut dengan semangat menumbuhkan cita-cita yang tak akan pernah aku biarkan ia kembali luruh dalam ketemaraman. Bismillah.
Kota Udang, 17 Oktober 2010
Senja ini, ingin kucoba merangkai kata menuangkan kegundahan yang tak pernah aku harapkan hadir di saat-saat seperti ini. Kekuatan itu kembali meruntuhkan pertahananku. Kali ini kekuatannya lebih besar. Ia membuka kesadaranku akan sebuah hakikat. Namun, tak mudah bagiku ternyata menerimanya sebagai sebuah keniscayaan yang mungkin ya atau juga tidak. Entahlah, ternyata masih sangat berat untukku jika memang itu menjadi mungkin.
Senja ini, tak ada cela kiranya jika hati ini menghaturkan sebuah harap akan hadirnya kekuatan yang selalu berkelebat di pelupuk mataku. Aku tak tahu apa itu. Dan aku pun tak yakin ia mampu menguatkan pertahananku. Sungguh tak ingin aku mengulang yang kedua kalinya, membangun pertahanan di atas pondasi yang ternyata lemah pula. Tapi sebentar, aku tak bermaksud mengatakan aku butuh pondasi yang kuat untuk pertahananku. Aku hanya membutuhkan batu-bata yang kokoh dan kompak menyusun satu pertahanan yang mampu menguatkan diri saat ini, esok dan selamanya.
Senja ini, aku benar-benar rapuh di atas kekuatanku. Inilah hakikat yang telah menampar kesadaranku agar aku tak lagi terlalu banyak mimpi dan mungkin agar aku tak terlalu bangga dengan keakuanku. Karena saat ini aku benar-benar membutuhkan pertemanan. Tak bisa ku ingkari temaramnya jiwa saat ini. Namun bagaimanapun aku harus tetap seperti aku. Tak mungkin aku obral akan menyebalkannya sebuah kesendirian dan kesepian yang tak mengetuk ijin untuk singgah. Jika saja aku punya kuasa mengusirnya ketika ia baru akan melangkah menujuku. Namun aku terlambat.
Senja ini, di atas kerapuhan yang baru kusadari, aku pun ingin bertekad. Aku tak ingin mewariskan temaram jiwa ini untuk waktuku esok. Cukup hari ini, saat ini. Esok adalah hariku yang harus aku semai mimpi dan citaku di sana. Tak boleh dan tak akan aku ijinkan segala yang akan merobohkan menghampiri dan mengusik. Pertahananku akan aku kuatkan dan akan semakin aku jaga agar ia tak akan lagi cacat dan kembali melemahkan. Akan aku fahami dan akan kucoba terima jika hakikat itu menjadi keniscayaan dikemudian hari yang aku yakin mungkin akan membuatku roboh. Tetapi aku pun masih punya sepucuk do’a yang akan terus aku semai sampai keniscayaan itu ku saksikan dengan senyum simpulku atau bening lara yang merembes di sela kedua mataku.
Senja ini, aku kembalikan temaram hati ini kepada yang Maha Memiliki Cahaya. Aku kembalikan kekuatannya kepada yang Maha Memiliki Kekuatan. Aku haturkan do’a senja sebagai penutup segala kegundahan, sebagai pembuka segala kebahagiaan dan kekuatan yang selalu aku jaga dan aku syukuri disetiap makna dan episodenya.
Senja temaram ini, semoga adalah senja yang tak akan lagi menemaramkan hati.
Dan esok adalah mentari kehidupan baru yang harus aku sambut dengan semangat menumbuhkan cita-cita yang tak akan pernah aku biarkan ia kembali luruh dalam ketemaraman. Bismillah.
Kota Udang, 17 Oktober 2010
Minggu, 26 September 2010
Jangan Panggil Aku Arab bag.4
Sore itu, Muthi’ kembali mengumpulkan semangatnya. Ia tidak mungkin terus terpuruk oleh kesedihan. Hujan menemani dengan riuhnya yang semangat bertasbih. Jari-jarinya semakin semangat memuntahkan isi otaknya dengan memainkan tombol-tombol keyboardnya. Hujanpun berhenti seiring dengan kembalinya sang surya ke peraduannya. Dan lirih adzan maghrib mulai bersautan. Muthi’ pun segera mengakhiri pekerjaannya.
“ Ayo anak-anak … siap-siap !!!! mba Urwah mulai mengomandoi shalat Maghrib.
“ Ayo Muthi’ giliran kamu jadi imam …”
“ Yuuukkk …”
Rapih …indah… khusyu’… Surakarta baru saja diguyur hujan. Keheningan yang menyergap di waktu maghrib itu menyeruak ke dalam jiwa-jiwa yang tenang dan menenangkan. Serak suara sang imam maghrib itu semakin menambah kesyahduan. Satu per satu isak tangis kekhusyu’an pun menghanyutkan jiwa-jiwa itu pada penghambaan yang tulus.
“ Alhamdulillah…” mba Urwah berbalik ke arah anak-anak membimbing mereka berdo’a. Dan bersiap untuk makan malam.
“ Ayo anak-anak .... waktunya makan malam. nanti habis itu langsung siap-siap lagi buat baca Asma’ul husna dan shalat Isya’. Oke …!!!!
“ OOOOKEEEEE !!!!!” paduan suara yang sangat nyaring bunyinya.
“ Ayo Muth’ makan, perasaan nda lihat kamu ikut makan siang? Kenapa ? Diet ?”
“ Diet? mau jadi kaya’ apa kalo aku diet mba? ntar dikira tiang listrik berjalan. Hayu makan …”
Lucunya melihat anak-anak itu makan. Apalagi si ustadz kecil Ozan … Ah…anak itu memang jadi hiburan tersendiri di rumah singgah itu.
“ Mba Muthi’ ntar habis shalat Isya’ belajarin bahasa Inggris ya …”
“ yaa pak ustadz …PR yang waktu kemarin dah di kerjain belum ? “
“ Udah donk mba …kan Ozan anak yang rajin, betul ..betul…betul …? “
“ Huuuh …. “ Wahyu menimpali.
“ udah, yang rajin sama yang nda rajin, yang jujur sama yang bohong nanti juga ketahuan sendiri. Dan juga akan ditanggung sendiri akibatnya. jadi kalo kita pingin rajin, nda usah bandingin dengan teman-teman yang nda rajin, yang enak-enakan main. Allah sangat suka dengan anak-anak yang rajin menuntut ilmu. Mau nda disukai Allah? “
“ Mauuuuuu ….. !!!” kompak.
“ Mba Muthi ….mba Muthi …Luthfi besok naik ke Iqro’ enam lho …”
“ Oh yaaa… alhamdulillah. Yang makin rajin yaa nak. “ Muthi’ mengelus kepala bocah kecil itu.
“ Yap ….ayo makan jangan sambil bersuara. Yang udah selesai siap-siap ke tempat shalat lagi.” mba Urwah memang korlap yang disiplin.
Mba Fani dan Muthi’ membereskan ruang makan, sementara itu anak-anak bersiap ke tempat shalat di komandoi mba Urwah dan mba Indi.
“ Yaa Allah...yaa Rahman, yaa rakhiim yaa Malik …yaaa Kudus …yaa Salaam…yaa Mu’min…yaa Muhaimin ….” lantunan asma’ul husna mulai terdengar. Suara polos anak-anak itu cukup membuat merinding dan menyentak ke hati. Senandung tasbih yang indah, disambut semarak oleh lantunan adzan Isya’. Ruangan itu pun kembali dipenuhi tubuh-tubuh mungil yang berjejer rapih, ruku’ dan sujud….indah sekali. Selepas isya’ ….
“ Alhamdulillah, kita udah makan, udah shalat … sekarang waktunya apa ?” suara lembut Imas membuat suasana semakin ngantuk .
“ BELAJAR !!!!!”
“ Pinter, nah sekarang ambil buku-bukunya ya … yang ada PR dikerjakan, yang tidak ada yaa tetep belajar, ya…” Ah …Imas, logatnya membuat teman-teman yang lain harus menahan tawa karena geli dengan kelembutannya.
“ Ayo Ozan, mana buku-bukunya, “ Muthi’ langsung menagih Ozan yang mulai mengusili teman-temannya.
“ Ya mba Muthi’, Ozan ambil bentar.”
Anak-anak belajar dengan penuh semangat. Ada yang belajar sambil jungkir balik, ada yang sambil ngantuk, ada yang harus dengan permainan … wah macem-macem lah pokoknya.
Jam 21.00 anak-anak sudah nampak lelah. Masing-masing mereka pun memberesi buku-bukunya dan masuk kamar.
Muthi’,mba Indi, mba Fani dan Imas pun nampak lelah. Apa boleh buat, saatnya berlabuh ke pulau kapuk.
Malam itu, di tengah lelah yang menyerbu, Muthi’ tak mampu terpejam. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Pandangannya kosong, ia menarik nafas panjang dan sejenak terpejam, menyeka kristal bening yang tak mampu dibendung. Pelan, dia mencoba menyebut keagungan nama Nya dalam desahan nafasnya. Aahh … Muthi’ bangkit. Ia segera mengambil air wudhu’, menenangkan jiwanya dan mengakhiri malam itu bersama ayat-ayat penggugah.
Sepertiga malam kembali menyapa. Beberapa jiwa yang merindu Tuhannya, berdiri menyapa dalam kekhusyu’an bersama do’a-do’a yang menyentuh dinding mihrab. Keheningan malam yang menyentak kesunyian jiwa, meneteskan secuil butir cinta, hingga seruan fajar menyapa.
Pagi itu, seperti biasa riuh anak-anak mampu merubah manyun menjadi senyum. Ahh, anak-anak, selalu saja ada tingkah yang unik. Jadwal padat hari itu, terpaksa petugas piket rumah singgah dikosongkan. Semua kepala terfokus pada satu tugas, OMB.
Di sekre LDK, beberapa akhwat tengah berbincang. Di balik hijab, terdengar beberapa suara ikhwan, ya salah satunya akh Ridho’. Rapat pun mulai berjalan.
“ Ya, kepada masing-masing penanggung jawab, silahkan melaporkan programnya, “ akh Ridho menjadi pemimpin rapat pagi itu.
“ Ehm …akh, sebaiknya dimulai dari program unggulan kita, biar yang lainnya belakangan, dan waktu pembahasannya lebih efisien. “ suara akh Fajar menggelegar di ruangan kecil di sudut kampus itu.
“ Ok, kalo begitu kita mulai dari program tutorial, penanggung jawabnya ….mba Muthi’ ya, udah datang belum ? “
“ Ya, udah. “ Muthi’ menjawab datar.
“ Monggo mba, dipresentasikan programnya. “
Muthi’ menarik nafas panjang, dan BISMILLAH, ia menyampaikan program yang sudah dia konsep kemarin.
“ Ya, mungkin itu yang bisa saya sampaikan, silahkan untuk koreksinya, barangkali ada yang perlu ditambahin atau dikurangi. “
Sejenak, ruangan itu hening. Hanya dahi-dahi yang berkerut dan tangan yang bertopang dagu yang menandakkan penghuni ruangan itu tengah mikir, mencari kekurangan dari program tutorial untuk dikoreksi.
“ ehm … menurut saya terlalu ideal programnya, mba. Kalo kita lihat SDM dan kondisi birokrasi kampus, rasanya kita akan sedikit kewalahan dengan mekanisme seperti itu, apalagi dengan target yang …yaa, memang progressive, tapi … menurut saya kurang realistis. Ini, pendapat saya. Maaf, bukan bermaksud mementahkan program mba Muthi’, tapi karena saya tipe orang yang lebih berfikir dan bekerja sesuai dengan realita.” akh Ridho’ mengkritik habis program Muthi’.
“ Ya, nda apa-apa, lagian ini kan bukan final programme. Tapi afwan, kalo dalam setiap merancang program kita harus berfikir realistis, lantas kapan kita akan meraih cita-cita da’wah yang selama ini digembar-gemborkan. Pelan boleh, tapi capaian tujuan dan target tetap dimaksimalkan, sehingga akan ada kerja yang maksimal juga. Bukan kerja apa adanya.” Muthi’ menimpali dengan nada agak sewot.
Semua akhwat yang hadir di ruangan itu, terkaget melihat Muthi’ yang tiba-tiba sensitif. Rapat pun berlangsung agak kaku. Tidak ada keakraban yang selama ini biasa menemani perkumpulan mereka. Sepanjang rapat itu pun Muthi’ hanya terdiam mendengarkan presentasi teman-temannya. Tak ada komentar yang keluar, sampai rapat pun akhirnya selesai. Seusai rapat ….
“ Muth’ kamu baik-baik saja kan? Tanya Imas.
“ Ya, saya baik-baik saja ko’. “
“ Tapi kamu agak pucat, Muth, kamu sakit? aku anter pulang aja ya…”
“ Nda usah Mas, lagian habis dhuhur saya ada perlu lagi. Saya nda apa-apa ko’.” Muthi menanggapi sambil menahan sakit di kepalanya.
“ Muth’ kamu istirahat saja, tadi mba lihat kamu kelihatan lemes banget. Migrainnya kambuh lagi ya….” mba Indi nyambung.
“ Nda apa-apa mba, paling kecapean aja. Ntar istirahat di masjid aja sambil nunggu dhuhur, insya Allah juga nanti baikan.”
“ Ya udah, kita ke masjid aja yuk…” Imas menggandeng Muthi’.
Di depan sekre tiba-tiba… DEEBUUUK…Muthi pingsan. Sontak mba Indi dan Imas bingung melihat Muthi’ yang tiba-tiba pingsan. Untunglah di sekre masih ada beberapa akhwat yang belum pulang. Muthi’ pun diisitirahatkan di sekre. Tak lama, Muthi’ pun tersadar. Sambil memegangi kepalanya yang sakit, ia mencoba duduk. Mba Indi di belakang Muthi’, agar tidak jatuh.
“ Muth’, kamu sakit apa ? “ tanya Imas.
“ Kaya’nya mba Muthi’ udah waktunya bedrest deh.” sambung Farah adik tingkatnya.
“Nda apa-apa, paling cuma kecapean,”
“ Ya udah, habis shalat, aku antar pulang ya …” Farah menawarkan bantuannya.
“ Nda usah, de. Lagian ba’da dhuhur mba sudah ada janji dengan mba Hesti. Mba mau ke rumahnya.”
“ Muth, kamu nda ngukur diri apa ? Udah tau kondisi lagi nda beres kayak gini, maksain mau pergi. Mba Hesti kan rumahnya lumayan jauh Muth…!. Mba Indi sewot dengan sikap Muthi yang bandel.
“ Udah ntar biar mba yang minta mba Hesti ke rumah aja, kamu nda usah ke sana.”
“ Tapi mba …”. Udah kamu sekarang nurut sama mba. “
“Ayo sekarang kita shalat, terus pulang, biar kamu istirahat di rumah. “
Selepas Dhuhur, mereka pun pulang. Segera, setelah sampai di rumah, Muthi’ diistirahatkan di kamarnya.
“ Muth, tadi mba dah hubungi mba Hesti, beliau bersedia ke sini, tapi ya agak telat, karena ngasih taunya juga mendadak. “
“ Ya mba, matur nuwun.”
“ Ya udah kamu tiduran aja dulu. Mba ambilin kamu makan, biar ada tenaganya.”
Muthi’ hanya diam menanggapi mba Indi yang mondar-mandir ngurusi dirinya.
“ Mau mba suapin, atau makan sendiri ?”
“ Makan sendiri aja, lagian kayak apa aja makan disuapin. Anak-anak ko’ belum ada yang pulang? Kan udah jam satu lebih.
“ Nda tau juga tuh. Paling juga bentar lagi. Sabar, bentar lagi juga ustad kecilmu datang dengan actingnya yang bikin heboh.”
Mereka pun tertawa membayangkan si ustad kecil Ozan datang dengan tingkahnya yang kocak.
“ Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaaaaaatuh…………”
“Nah tuh…yang diomongin datang. Ya udah Muth, mba ke bawah dulu. Kamu habiskan makannya ya.”
“ Ya..mba.”
Di bawah, terdengar Ozan yang menanyakan Muthi’. Mendengar itu, Muthi hanya tersenyum lemas. Makan pun tak berselera. Piring yang berisi nasi setengah sisa, disingkirkan dari hadapannya.
“ Astaghfirullah….ampuni hamba dengan sakit ini yaa Rabb.” Muthi’ terpejam menahan sakit kepalanya. Dan tertidur.
Suara anak-anak mulai meramaikan suasana rumah singgah siang itu. Kasihan mba Indi yang sendirian ngurusin anak-anak.
“Assalamu’alaikum….?” mba Hesti sampai. “ ‘alaikumussalamwarahmatullah….eh, mba Hesti masuk mba. Waduh maaf nich, anak-anak baru pada pulang, jadi ramai gini.”
“ Nda apa-apa. Muthi’ nya dimana?”
“ Di atas, di kamarnya. Ke atas aja mba.”
“ Ya udah, saya ke atas dulu ya.”
Mba Hesti mengetuk pintu kamar Muthi’ yang sedikit terbuka. Tak ada jawaban. Mba Hesti pun memaksa masuk. Perlahan mendekati Muthi’ yang tertidur. Di pandanginya wajah adek tingkatnya itu. Wajah khas yang tidak bisa disembunyikan dari keteguhan tekadnya untuk menghapuskan kekhasan yang menempel pada dirinya. Pucat. Guratan lelah begitu terlihat, warna hitam kelopak matanya.
“ Tenang sekali tidurmu, dik..” Mba Hesti membatin, matanya berkaca. Muthi’ terbatuk dan bangun. Di dapatinya mba Hesti yang sudah sedari tadi memandanginya tidur.
“ Mba Hesti…? Dari tadi ? Ko’ nda bangunin saya ? “
“ Nda apa-apa. Lagian kamu lagi tidur. Nda tega ngebanguninnya.”
“ Kamu sakit apa dik ? Sampai pingsan gitu…”
“ nda apa-apa mba, paling cuma kecapean.”
“ Cape apa ? “
Muthi memandangi wajah teduh mba nya itu. Ia mengerti maksud pertanyaan sindiran tadi.
“ Kamu tuh butuh refreshing Muth. Mba tahu, bukan fisik kamu yang cape, tapi fikiran dan jiwa kamu. Berbagilah dengan mba, meski mungkin tidak ada advice yang bisa mba berikan, setidaknya kamu merasa ringan dengan tidak menumpuk semua beban di pundakmu.”
Muthi’ tertunduk. “ Mba tahu kan cita-cita saya ? Mungkin saya salah ketika berfikir bahwa cita-cita itu bisa saya raih ketika saya…”
“ Muth, mba tahu. Dan mba juga tahu persis tekadmu. Tapi kamu jangan lupa, itu bukan hal yang mudah. Kamu tidak mungkin berjuang merobohkan dinding itu sendiri. Ketika kamu memaksa menantang itu semua, mba khawatir kamu justru akan kalah Muth. Idealisme itu bagus, tetapi tidak dengan cara konyol. Keluargamu tidak mungkin mentolerir keputusanmu untuk menikah dengan orang selain kalangan Arab. Afwan mba terpaksa mengatakan ini. “
Muthi’ tertunduk, menangisi kebuntuan yang semakin merapat di kepalanya.
“ Terkait akh Ridho, mba yakin kamu sudah mengambil sikap dewasa untuk menghadapinya. Satu rahasia Nya sudah terungkap, dia bukan yang terbaik buat Muthi’. “
Mba Hesti menggenggam tangan Muthi’, “ Mba tahu, ini berat buat kamu. Tapi yakinlah, Allah sedang merancang jalan lain yang lebih indah buat Muthi’, permasalahannya adalah waktu. Kita hanya bisa menunggu.”
Mba Hesti memeluk Muthi’, dibiarkannya adik kesayangannnya itu menangis puas di pundaknya, membasahi kerudung cokelatnya.
“ Muth, cita-citamu adalah kewajibanku juga untuk memperjuangkannnya. Insya Allah, jika kita yakin dan tetap istiqomah di atas jalan ini, Allah pun akan membukakan kemudahan untuk kita. Apa yang kita inginkan, yakinlah tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah untuk tidak mewujudkannya untuk kita. Banyak berdo’a dan semangat terus bekerja untuk da’wah. “
“ Ya…jazakillah mba. “
“ Masya Allah Muth, kamu mimisan ? Kamu benar nda apa-apa ? Ada yang kamu sembunyikan dari mba ?”
“ Nda apa-apa mba, nda tau juga nich, seumur-umur baru mimisan.”
“ Ya udah, besok pagi kita ke dokter, periksain. Terutama kepalamu yang sering sakit itu. Mba khawatir mimisanmu ada hubungannya juga sakit kepalamu yang sering itu.”
“ Nda sering ko’, Cuma…”
“ Udah, nda usah banyak ngeles. Besok pagi mba jemput, kita ke dokter syaraf, jika perlu rontgen kepala. “
“ Ya ampun mba, segitunya….”
“ Kamu tuh, jangan menyepelekan kesehatan. Gimana mau menunaikan amanah kalo badannya ringkih kaya’ gitu. “
“ Yaaa buuu…. dokteeeeeeer.”
“ Heuuehh !!! Dasar anak bandel.” Ya udah, mba pamit dulu, udah ashar. Mba ada janji dengan orang-orang dinas sosial. Mereka mau ke rumah katanya. “
“ Ehm …jadi program pemberdayaan wanita rawan sosial ekonomi itu ?”
“ Alhamdulillah, di ACC sama kepala dinasnya. Mereka bersedia kita jadi penanggung jawab pembinaannya. “
“ Alhamdulillah, aku dilibatkan juga kan mba ? “
“ Kalo Muthi’ masih bandel kaya’ gini, mba nda akan libatkan. “
“ Yaa deh, Muthi’ Muthmainnah nurut kata bu dokter Wiwik Hesti Prastiwi. Peace !!!”
“ Udah ah …yupz.. Assalamu’alaikum.”
“ ‘alaikumussalam warahmattulah…hati-hati mba.”
“ Ya, insya Allah. banyak istirahat sama makan yang bener ya…”
Muthi’ membalas dengan jempolnya. Ah …sudah ashar. Saatnya menikmati senja dengan bercinta di atas mihrab. Uuuh…indahnya.
Senja itu, memberikan cahaya spirit luar biasa. Ia tampak mempesona dengan sinar kuning kemerah-merahannya. Tentram, damai. Selepas shalat, Muthi’ paksakan turun ke bawah menemui adik-adiknya.
“ Lho Muth’ ko’ turun ? Dibilang suruh istirahat juga….” mba Indi menghampiri Muthi’ yang berjalan agak sempoyongan.
“ Nda apa-apa mba, pengen ketemu adik-adik. Kangen dah lama nda ngobrol sama mereka. “
” ya udah, duduk sini aja. Oya, mba baru bikin bubur kacang hijau, mba ambilin ya…”
“ Mba Indi, orang sakit ko’ suruh makan terus, pahit mba rasanya…”
“ Dipaksaian Muth’, kalo kayak gitu terus, kapan makannya, kapan sembuhnya…?”
“ Iya deh… Kenapa ya, dokter kok cerewet-cerewet ?
“ ya gimana nda cerewet, pasiennya bandel-bandel !”
Muthi’ hanya tersenyum melihat mba Indi yang sedikit kesal. “ Ah…baik sekali mbak ku yang satu ini. Aku tahu pasti kau sangat lelah. Tapi masih bisa tersenyum dan ikhlas ngurusin adikmu ini.” Muthi’ membatin seraya memandangi mba Indi yang riweuh dengan urusan dapur dan anak-anak.
“ Mba Muthi’ katanya sakit ya…istirahat aja mba, biar cepet sembuh..” Ozan bergaya mijitin kaki Muthi’ dengan dua tangannya yang mungil, dan diikuti teman-temannya yang lain Dimas, Wahyu, Budi, Deni, Irfan dan juga si kecil Luthfi.
“ Eeh..mba nda apa-apa ko’, udah ayo baca iqro’ lagi. “
“ Nda apa –apa mba, kita kan juga pengen bantuin mba Muthi’, iya ora konco-konco?” Ozan memprofokatori.
“ Iya mba !”, kompak.
“ Iya…tapi yang ada mba malah geli dipijitan kalian. Lagian kalian pasti cape.” Muthi’ memegang tangan mereka dan melepaskannya satu per satu dari kakinya sambil tertawa geli,
“ Biarin Muth, mereka kan juga ingin berbagi kebaikan. Iya kan ? “
“ Betul mba Indi !” Dimas semangat menjawab.
“ Ya udah, tapi mijitinnya udahan aja ya..mau denger cerita dari mba Muthi’ nda ? “
“ Mau, mau, mau…!”
Sore itu, anak-anak begitu antusias mendengarkan cerita Muhammad Al Fatih menaklukkan Romawi.
“ Waaaah..keren ya, kecil kecil jadi panglima. Aku bisa nda ya mba ? “ Wahyu berseloroh sambil mengaitkan kedua tangannya di depan dadanya.
“ Wah kamu sih jadi panglima bertopeng aja kaya’ yang di Sin Chan. “ Ozan mulai ngeledek.
“ Eeh, Ozan nda boleh kaya’ gitu. Pasti Wahyu, asal ada keyakinan dan usaha yang sungguh-sungguh, serta nda lupa ibadah yang rajin, insya Allah cita-cita kita akan mudah kita raih. “
“ Tapi Wahyu kan…nda punya bapak, nda punya Ibu, gimana Wahyu bisa? “
“ Wahyu, kita nda punya ibu atau bapak, tetapi kita masih punya Allah yang nda akan pernah meninggalkan kita. Kecuali kita yang meninggalkan Allah. Keberhasilan itu tergantung usaha kita, bukan karena orang lain. Orang lain itu hanya penyemangat. Seperti mba Muthi’, mba Indi, mba Imas, mba Fani, mas Fajar, mas Ridho’ dan juga teman-teman yang lain. Mereka adalah saudara yang akan selalu membantu dan mendoakan, tetapi bukan kepada mereka kita bertumpu, melainkan kepada Allah. Karena Allah sumber pertolongan, sumber di kabulkannya semua do’a dan cita-cita, maka kita harus rajin mendekatkan diri kepada sumber pertolongan itu.”
“ Ooooh…berarti Allah itu super hebat ya mba…”
“ Ya iya donk…Allah Maha Besar, sedangkan kita dihadapan Allah sama seperti semut, sangat kecil, tidak berarti apa-apa kecuali jika ada keimanan dalam hati kita. Semuanya pengen tidak seperti Al Fatih ? “
“ Pengen mba….”
“ Bagus, kalian harus punya cita-cita setinggi mungkin. Dengan tangan kalian, kalian harus mampu dan yakin, bahwa dunia ini akan takluk di tangan kalian karena Islam yang kalian bawa. “
” ALLAHU AKBAR !!!!!” anak-anak menyambut dengan takbir.
“ Lho…kalian ko’ bisa kompak ?”
“ Ya iyalah..kita kan sering nonton mba-mba sama mas-mas kalo demo. Ada takbirnya, ALLAHU AKBAR, seru mba….” Irfan menirukan gaya takbir mas-masnya.
Semua yang ada di ruangan itu pun bertakbir dan menyantap bubur kacang hijau buatan mba Indi. Indahnya kebersamaan.
“ Assalamu’alaikum…” suara Imas, Fani dan yang lain terdengar dari depan.
“ ‘alaikumussalam warahmatullahiwabarakaatuh.” Muthi’ dan kawan-kawan menyambut kompak.
“ Wah…lagi pada PeWe nih…” Fani berjalan lemes.
“ Apaan PeWe mba..? Biasa Ozan dengan gaya pengen taunya.
“ PeWe itu…posisi wueeenak..”
“ Iya donk…kalian mau juga. Ntar tak ambilin ya…” Mba Indi kembali ke dapur.
“ Muth’, dah sehat? Masih pucat gitu. Istirahat lah…” Imas mendekati Muthi’
“ Nda apa-apa Mas, justru aku pengen sembuh, makanya aku main sama anak-anak.”
“ Orang aneh.” Fani mengomentari sambil berjalan ke dapur mengambil air minum.
“ Eehh…justru yang aneh yang banyak fansnya…”
“ Muth, tadi ditanyain akh Ridho. Katanya mba Muthi’ sakit apa? Kaya’nya dia merasa bersalah minta kamu revisi program tutorial.” Fani duduk pasrah di hamparan tikar di ruang tengah.
Muthi’ terdiam. Dia tersentak dengan pernyataan Fani. “Ah…akh Ridho, nda usah sok perhatian githu lah, bikin kotor hati akhwat.” Muthi’ membatin kesal.
“ Aku nda apa-apa. Cuma kecapean aja. Ya udah, aku mau ke atas, pengen istirahat. “
“ Tak anter sini Muth, ntar kamu jatuh lagi. “ Imas langsung menggandeng tangan Muthi’
Muthi’ menghabiskan waktu Maghrib dan Isya’nya di kamarnya. Malam itu serasa malam terakhir baginya. Badannya lemas, dinding kamarnya terasa berputar-putar. Pandangannya buram, dan….ia pun menghabiskan raka’at-raka’at shalatnya di atas tempat tidurnya.
“ Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku bersama sakit yang aku rasa. Jika malam ini adalah malam terakhir untukku, maka jadikanlah malam ini malam yang terindah dalam perjalanan malam-malamku. Ijinkanlah aku hiasi malam terakhir ini dengan senyum bahagiaku, senyuman yang belum pernah tersimpulkan sebelumnya. Amiiin. “
Malam itu, menjadi malam yang terasa singkat. Subuh seolah tak sabar untuk segera merangsek menggugah manusia-manusia yang tertidur pulas. Subuh itu, mba Indi menemui Muthi yang masih tertidur.
“ Dik…bangun. Udah subuh, ayo shalat dulu.” Muthi’ membuka matanya perlahan. Sayup-sayup, ia masih mendengar suara adzan di desa sebelah.
“ Ini adzan subuh mba..? “
“ Ya iya Muth, masa adzan Dhuhur.”
“ Astaghfirullah, aku tidur semalam penuh. Lupa nda nyalain alarm.”
“ Muth, kamu tuh lagi sakit. Mba minta tolong sekali, jangan terlalu memaksakan diri. Badanmu punya hak untuk diperhatikan, bukan cuma ruhiyahmu.”
“ Ya mba. Alhamdulillah, ternyata malam tadi bukan malam terakhir. “
“ Kamu ngomong apa toh Muth…Udah, ayo mba anter ke kamar mandi.”
“ Mba udah shalat? “
“ Belum, makanya mba ke atas, biar bisa jama’ahan sama kamu. Anak-anak di bawah udah dihandle sama Fani dan Imas.”
“ Mba aku shalatnya duduk saja ya…”
“ Ya…”
Mereka pun shalat subuh berjama’ah di kamar Muthi’. Di bawah, terdengar suara Ozan yang mengimami teman-temannya agar berdo’a untuk kesembuhan Muthi’. Tersentak haru yang begitu dalam mendengar suara polos anak-anak itu. Selepas shalat, Muthi’ langsung merebahkan diri lagi di ranjangnya.
“ Masih sakit kepalanya Muth..? Mba pijitin ya, ada minyak kayu putih nda ?”
“ Kalo nda salah, di atas rak buku.”
“ Masya Allah Muth, badan kamu panas lagi. Udah, ntar habis dhuha kita ke rumah sakit. Check up.”
“ Ya, mba Hesti ntar mau ke sini. Beliau juga cerewet maksain ke rumah sakit.”
“ ya iya, gimana nda cerewet. Badan kamu tuh udah harus diservice. Udah saatnya masuk bengkel. Jika perlu ganti oli.”
Muthi’ tertawa kecil,” Mba ini ada-ada saja. Emang aku motor. Pake ganti oli segala. Sekalian aja ganti onder dill.”
“ Kamu ini udah sakit, masih aja bandel. Gimana, masih sakit ?”
“ Alhamdulillah mba, udah mendingan. Jazakillah.”
“ Ya udah, kamu nda usah turun. Hari ini jadwal khusus buat istirahat total. Mba mau masak buat anak-anak dulu. Kamu sarapan bubur aja ya…biar gampang dicernanya.”
“ Yaa….apa kata bu dokter Indria Mahsunah aja lah..”
Mba Indi meninggalkan Muthi. Di bawah, anak-anak seperti biasa sibuk dengan aktivitasnya.
“ Mba Indi yang baik hati, mba Muthi’ masih sakit ya..” Ozan segera menyerbu mba Indi yang terlihat baru turun dari kamar atas.
“ Ya, masih sakit. Makanya Ozan dan teman-teman yang lain yang rajin shalatnya, dan jangan lupa do’ain mba Muthi’ biar cepat sembuh. “
“ Ya, mba tadi juga kita berdo’a buat mba Muthi’. Mba, Ozan boleh ke kamar mba Muthi’ nda?”
“ Udah selesai belum tugas in the morning nya…?”
“ Belum.”
“ Ayo, selesaikan dulu. Nanti kalo udah selesai, boleh ke kamar mba Muthi’. “
“ Oke deh…” Ozan berlalu dengan tampang layu.
“ Assalamu’alaikum…”, mba Hesti pagi-pagi sudah sampai buat jemput Muthi’
“ ‘alaikumussalamwarahmatullah, lho…mba Hesti pagi-pagi dah nyampe. Mau jemput Muthi’ ya. Muthi’ nya juga baru mau sarapan.” mba Indi menghampiri mba Hesti sambil membawa sarapan buat Muthi’.
“ Ya, sengaja pagi-pagi. Ntar kalo kesiangan lama ngantrinya. Ya udah saya yang bawain sarapannya. Oh ya gimana kondisinya?”
“ Ya gitu mba, masih lemas. Tapi agak lebih baik dari kemarin.”
Mba Hesti mengangguk sambil berlalu menuju kamar Muthi’.
“ Assalamu’alaikum, “ mba Hesti langsung masuk kamar Muthi’ yang terbuka.
“ ‘alaikumussalam warahmatullah. Lho, mba pagi-pagi udah beredar. “
“ Biar kamunya cepet di bawa ke rumah sakit. Sekarang ayo, sarapan dulu. Terus ini, mba bawa madu. Nanti diminum pake air hangat. Satu sendok aja sehari.”
“ Ya bu dokter..”
Selesai sarapan, hanya membasuh muka dan bebersih sedikit Muthi’ langsung di antar ke rumah sakit, ditemani juga oleh mba Indi. Sesampainya di rumah sakit, Muthi’ langsung dibawa ke ruang radiology.
“ Lho, mba ko’ langsung ke sini? mba Indi bengong.
“ Ya, biar ketahuan dulu penyakitnya apa. Kan selama ini masalah Muthi’ di kepalanya. “
Muthi’ hanya pasrah mau diapakan sama mba-mbanya itu. Sepuluh menit kemudian, Muthi’ keluar dari ruang rontgen. Pak Edi, teman mba Hesti menjelaskan,” Hasil foto rontgennya nanti akan dianalisis oleh dokter syarat terbaik di rumah sakit ini, namanya dokter Fahmi. “
“ Lalu, kapan hasilnya bisa keluar? “ mba Hesti bertanya nda sabar.
“ Hari ini dr.Fahmi ke rumah sakit, karena ada operasi tumor otak jam sebelas. Biasanya beliau datang jam sembilan atau jam sepuluh. Ya, mudah-mudahan bisa langsung dibaca oleh beliau. Kalo tidak ya kemungkinan besok. Karena operasi tumor lumayan memakan waktu. “
Mba Hesti dan mba Indi saling berpandangan. “ Ya udah, kalo hasilnya sudah keluar, nanti tolong langsung segera hubungi saya ya pak…”.
“ Siip mba. Nanti saya kabari.”
“ Ya udah kalo begitu, kita pulang dulu. Assalamu’alaikum.”
“ wa’alaikumussalamwarahmatullah. Eeeh mba sebentar. Mba Muthi’ perlu test darah dan periksa tensi dulu. Barangkali ada gejala lain. Mari saya anter ke ruang periksa.” Pak Edi langsung berjalan di depan mereka bertiga.
Muthi’ langsung diperiksa oleh suster Diana. “ Hasil tensinya bagus, normal. Nah sekarang, saya ambil darahnya dulunya sedikit. “ Suster Diana mengambil suntikan untuk test darah.
“ Yap, sebentar ya. Tunggu sekitar 30 menit lagi untuk tahu hasilnya testnya.” suster Diana tersenyum meninggalkan mereka bertiga ke laboratorium.
“ Cape mba.” Muthi’ bersandar dikursi plastik di ruang periksa.
“ sabar dik, kalo hasilnya dah keluar kita langsung pulang.” mba Indi memegang tangan Muthi’ yang mulai dingin.
Tiga puluh menit kemudian, suster Diana datang, “ Ehm, maaf mba, hasilnya belum bisa keluar sekarang. Kami menunggu dokter spesialis lain untuk memastikan hipotesis laboratorium.”
“ Emang ada masalah sus?” Mba Indi sedikit cemas.
“ Ehm…kita lihat hasilnya nanti ya mba. Paling lambat besok sudah ada.” suster Diana menenangkan. Ya, itu sudah kewajibannya untuk menjaga mental pasien.
“ Ya udah, kalo begitu kita boleh pulang kan? “ Muthi’ menyimpulkan pertanyaan berikutnya, dia memang benar-benar ingin pulang. Mba Indi hanya menatap Muthi’.
“ Ya, silahkan. Besok setelah dhuhur bisa ambil hasilnya.” Tiba-tiba pak Edi memanggil mba Hesti dari belakang, “ dokter Fahmi sudah datang. Kalo mau langsung ketemu beliau mari saya anter ke ruang prakteknya.”
“ Alhamdulillah, ya udah ayo kita langsung kesana. Muth, kamu masih kuat kan?”
Muthi’ hanya mengangguk lemas. Sesampainya di ruang praktek dr. Fahmi, mereka bertiga langsung bertemu beliau. Untunglah tidak ada pasien lain.
“ Dok, ini teman saya, mba Hesti. Beliau ini mengantar temannya untuk periksa syaraf. Ini hasil foto rontgennya. Dokter bisa menolong mereka?” pak Edi membuka prolog.
“ Oh ya, mari langsung ke ruang periksa.” dr. Fahmi langsung menyiapkan alat-alat prakteknya.
mba Hesti mengantar Muthi’ ke ruang periksa. “ Mba temeni saya.” Muthi’ memegangi tangan mba Hesti. “ Ya, dik.”
Sepuluh menit, dr. Fahmi memeriksa Muthi’. Sementara itu, mba Indi menunggu di luar. Dr. Fahmi meminta mba Hesti keluar, karena ada hypothesisnya yang harus disampaikan.
“ Muth, kamu istirahat dulu di sini ya. Mba mau bicara dengan dr. Fahmi.” mba Hesti pun meninggalkan Muthi’.
Mba Indi dan mba Hesti duduk manis menunggui dokter Fahmi yang masih serius mengamati hasil rontgen kepala Muthi’. Setelah itu…dr. Fahmi membuka kacamatanya, mengela nafas…dan memandangi mba Indi dan mba Hesti. Mereka pun menjadi tegang.
“ Ada apa dok? ada hal yang serius ?” mba Hesti membuka pertanyaan.
“ Maaf sebelumnya, mba-mba ini ada hubungan darah dengan mba Muthi’? “
“ Oh, nda ada dok. Kami hanya satu organisasi dan sudah tiga tahun satu atap alias satu kostan. Jadi kami juga sudah seperti saudara. Ada apa gitu dok?” Mba Indi menjelaskan dengan nada tegang.
“ Begini mba-mba. Sebagai dokter, tugas kami bukan hanya berusaha membantu pasien sembuh, tetapi juga menyemangati psikology pasien agar tidak rapuh. Syukurlah, jika mba-mba ini memiliki hubungan yang sangat baik dengan mba Muthi’. Saya sebagai dokter memohon untuk turut membantu menyemangati mba Muthi’ “. dr. Fahmi menjelaskan tetapi memusingkan.
“ Maaf dok, bisa to the point saja? “ mba Hesti semakin tegang.
“ Begini mba-mba. Saya sudah membaca hasil rontgen tadi. Dan hasilnya…” mba Indi dan mba Hesti berpegangan tangan. Tangan mereka dingin karena penjelasan dr. Fahmi yang menggantung.
“ Saya minta mba-mba tetap kuat agar mba Muthi’ pun turut kuat. Karena pada hakikatnya, kekuatan yang diperlukan pasien untuk bertahan dari sakitnya adalah kekuatan jiwanya. Ya, meski kesimpulan saya akan sakit mba Muthi belum sampai pada tingkat serius.” dr. Fahmi semakin membuat tegang.
“ Maksud dokter? “ mba Hesti semakin penasaran.
“ Saya akan beritahu hasil analysis rontgennya secara tertulis. Sebentar.” dr. Fahmi masuk ke ruangan kecil disamping ruang periksa. Tak lama kemudian….
“ Ini hasilnya.” dr. Fahmi menyerahkan amplop putih panjang dan juga hasil rontgen Muthi’.
Mba Hesti langsung membuka isi amplopnya. Dan …air matanya langsung menetes melihat hasil rontgen dari dr. Fahmi. Kanker otak stadium satu. Mba Indi yang turut membaca kertas putih itu pun tak kuasa menahan air matanya. Namun, tidak mungkin jika ia turut larut dalam kesedihan. Ia mencoba menenangkan mba Hesti.
Dengan menahan air matanya, “ Lalu apa yang harus kami lakukan untuk Muthi’? “ mba Hesti bertanya lirih.
“ Yang pertama, seperti yang saya sampaikan di awal. Yang kedua, awasi pola makan, istirahat dan aktivitas Muthi’. Dia tidak boleh terlalu cape, banyak fikiran apalagi stress. Saya akan tuliskan menu yang harus dikonsumsi Muthi’. “
“ Apa kami harus merahasiakan hal ini dari Muthi’ ?” mba Indi menambahkan.
“ Ehm… untuk saat ini, ya. Kondisinya saya lihat sangat lemah. Saya melihat sepertinya Muthi’ sedang ada beban pikiran. Nah, ini tolong di kurangi atau lebih baik buat Muthi’ lupa dengan masalah-masalahnya. Karena saat ini dia ngedrop bukan cuma karena ada gejala seperti ini, tapi juga karena memang dia sudah sangat lelah. Jika dia sudah pulih, lebih baik dia memang tahu akan sakitnya, tentunya hati-hati. Saat ini dia harus bedrest total.“ dr. Fahmi menjelaskan pelan.
“ Tentu dok.” mba Hesti menggangguk.
“ Baik, ini menu dan pantangan-pantangan untuk Muthi’. Maaf saya harus siap-siap lagi, karena ada operasi jam sebelas. Assalamu’alaikum.”
“ ‘alaikumussalam warahmatullah.”
Muthi, mba Hesti dan mba Indi pun pulang. Sepanjang perjalanan pulang, tak ada satu hurufpun yang keluar. Mba Hesti tak kuasa menahan sedih, ia memalingkan wajahnya ke arah jendela angkot agar tak terlihat air matanya yang mulai menetes. Pun mba Indi, ia kehabisan kata-kata untuk menenangkan mbanya itu. Tak terkecuali Muthi’ yang memilih diam, karena tak ada energi untuk bersuara. Sesampainya di rumah, terlihat senyum terpaksa yang mengembang, setidaknya menghibur anak-anak dan saudara-saudara yang lain, yang sudah tidak sabar ingin tahu hasil rumah sakit.
“ Gimana hasilnya rontgennya mba?” Fani langsung menghadang di depan pintu.
“ Bentar lah Fan, kami kan baru nyampe. Muthi’ juga harus langsung istirahat dulu.” mba Hesti sedikit berbasa-basi. Mendengar itu, Fani hanya diam, memandangi wajah Muthi’ dan mba Indi penuh dengan tanda tanya. Mba Indi langsung mengantar Muthi’ istirahat di kamarnya.
“ Mba tadi apa kata dokter Fahmi?” Muthi’ memegang tangan mba Indi yang akan meninggalkan kamar Muthi’.
“ Ehm …nda apa-apa kok Muth. dokter Fahmi cuma bilang kamu harus istirahat total sampai kamu benar-benar sehat. Terutama kepalamu. Kamu nda boleh banyak pikiran apalagi stress. Kami semua ada di sini, siap berbagi dengan Muthi’. Itu aja pesan dokter.”
“ ada yang mba Indi dan mba Hesti sembunyikan ? “
“ Nda ada kok de. Udah kamu istirahat dulu ya. Nanti dhuhur mba bangunin.” mba Indi tersenyum dan meninggalkan Muthi’.
to be continued...
“ Ayo anak-anak … siap-siap !!!! mba Urwah mulai mengomandoi shalat Maghrib.
“ Ayo Muthi’ giliran kamu jadi imam …”
“ Yuuukkk …”
Rapih …indah… khusyu’… Surakarta baru saja diguyur hujan. Keheningan yang menyergap di waktu maghrib itu menyeruak ke dalam jiwa-jiwa yang tenang dan menenangkan. Serak suara sang imam maghrib itu semakin menambah kesyahduan. Satu per satu isak tangis kekhusyu’an pun menghanyutkan jiwa-jiwa itu pada penghambaan yang tulus.
“ Alhamdulillah…” mba Urwah berbalik ke arah anak-anak membimbing mereka berdo’a. Dan bersiap untuk makan malam.
“ Ayo anak-anak .... waktunya makan malam. nanti habis itu langsung siap-siap lagi buat baca Asma’ul husna dan shalat Isya’. Oke …!!!!
“ OOOOKEEEEE !!!!!” paduan suara yang sangat nyaring bunyinya.
“ Ayo Muth’ makan, perasaan nda lihat kamu ikut makan siang? Kenapa ? Diet ?”
“ Diet? mau jadi kaya’ apa kalo aku diet mba? ntar dikira tiang listrik berjalan. Hayu makan …”
Lucunya melihat anak-anak itu makan. Apalagi si ustadz kecil Ozan … Ah…anak itu memang jadi hiburan tersendiri di rumah singgah itu.
“ Mba Muthi’ ntar habis shalat Isya’ belajarin bahasa Inggris ya …”
“ yaa pak ustadz …PR yang waktu kemarin dah di kerjain belum ? “
“ Udah donk mba …kan Ozan anak yang rajin, betul ..betul…betul …? “
“ Huuuh …. “ Wahyu menimpali.
“ udah, yang rajin sama yang nda rajin, yang jujur sama yang bohong nanti juga ketahuan sendiri. Dan juga akan ditanggung sendiri akibatnya. jadi kalo kita pingin rajin, nda usah bandingin dengan teman-teman yang nda rajin, yang enak-enakan main. Allah sangat suka dengan anak-anak yang rajin menuntut ilmu. Mau nda disukai Allah? “
“ Mauuuuuu ….. !!!” kompak.
“ Mba Muthi ….mba Muthi …Luthfi besok naik ke Iqro’ enam lho …”
“ Oh yaaa… alhamdulillah. Yang makin rajin yaa nak. “ Muthi’ mengelus kepala bocah kecil itu.
“ Yap ….ayo makan jangan sambil bersuara. Yang udah selesai siap-siap ke tempat shalat lagi.” mba Urwah memang korlap yang disiplin.
Mba Fani dan Muthi’ membereskan ruang makan, sementara itu anak-anak bersiap ke tempat shalat di komandoi mba Urwah dan mba Indi.
“ Yaa Allah...yaa Rahman, yaa rakhiim yaa Malik …yaaa Kudus …yaa Salaam…yaa Mu’min…yaa Muhaimin ….” lantunan asma’ul husna mulai terdengar. Suara polos anak-anak itu cukup membuat merinding dan menyentak ke hati. Senandung tasbih yang indah, disambut semarak oleh lantunan adzan Isya’. Ruangan itu pun kembali dipenuhi tubuh-tubuh mungil yang berjejer rapih, ruku’ dan sujud….indah sekali. Selepas isya’ ….
“ Alhamdulillah, kita udah makan, udah shalat … sekarang waktunya apa ?” suara lembut Imas membuat suasana semakin ngantuk .
“ BELAJAR !!!!!”
“ Pinter, nah sekarang ambil buku-bukunya ya … yang ada PR dikerjakan, yang tidak ada yaa tetep belajar, ya…” Ah …Imas, logatnya membuat teman-teman yang lain harus menahan tawa karena geli dengan kelembutannya.
“ Ayo Ozan, mana buku-bukunya, “ Muthi’ langsung menagih Ozan yang mulai mengusili teman-temannya.
“ Ya mba Muthi’, Ozan ambil bentar.”
Anak-anak belajar dengan penuh semangat. Ada yang belajar sambil jungkir balik, ada yang sambil ngantuk, ada yang harus dengan permainan … wah macem-macem lah pokoknya.
Jam 21.00 anak-anak sudah nampak lelah. Masing-masing mereka pun memberesi buku-bukunya dan masuk kamar.
Muthi’,mba Indi, mba Fani dan Imas pun nampak lelah. Apa boleh buat, saatnya berlabuh ke pulau kapuk.
Malam itu, di tengah lelah yang menyerbu, Muthi’ tak mampu terpejam. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Pandangannya kosong, ia menarik nafas panjang dan sejenak terpejam, menyeka kristal bening yang tak mampu dibendung. Pelan, dia mencoba menyebut keagungan nama Nya dalam desahan nafasnya. Aahh … Muthi’ bangkit. Ia segera mengambil air wudhu’, menenangkan jiwanya dan mengakhiri malam itu bersama ayat-ayat penggugah.
Sepertiga malam kembali menyapa. Beberapa jiwa yang merindu Tuhannya, berdiri menyapa dalam kekhusyu’an bersama do’a-do’a yang menyentuh dinding mihrab. Keheningan malam yang menyentak kesunyian jiwa, meneteskan secuil butir cinta, hingga seruan fajar menyapa.
Pagi itu, seperti biasa riuh anak-anak mampu merubah manyun menjadi senyum. Ahh, anak-anak, selalu saja ada tingkah yang unik. Jadwal padat hari itu, terpaksa petugas piket rumah singgah dikosongkan. Semua kepala terfokus pada satu tugas, OMB.
Di sekre LDK, beberapa akhwat tengah berbincang. Di balik hijab, terdengar beberapa suara ikhwan, ya salah satunya akh Ridho’. Rapat pun mulai berjalan.
“ Ya, kepada masing-masing penanggung jawab, silahkan melaporkan programnya, “ akh Ridho menjadi pemimpin rapat pagi itu.
“ Ehm …akh, sebaiknya dimulai dari program unggulan kita, biar yang lainnya belakangan, dan waktu pembahasannya lebih efisien. “ suara akh Fajar menggelegar di ruangan kecil di sudut kampus itu.
“ Ok, kalo begitu kita mulai dari program tutorial, penanggung jawabnya ….mba Muthi’ ya, udah datang belum ? “
“ Ya, udah. “ Muthi’ menjawab datar.
“ Monggo mba, dipresentasikan programnya. “
Muthi’ menarik nafas panjang, dan BISMILLAH, ia menyampaikan program yang sudah dia konsep kemarin.
“ Ya, mungkin itu yang bisa saya sampaikan, silahkan untuk koreksinya, barangkali ada yang perlu ditambahin atau dikurangi. “
Sejenak, ruangan itu hening. Hanya dahi-dahi yang berkerut dan tangan yang bertopang dagu yang menandakkan penghuni ruangan itu tengah mikir, mencari kekurangan dari program tutorial untuk dikoreksi.
“ ehm … menurut saya terlalu ideal programnya, mba. Kalo kita lihat SDM dan kondisi birokrasi kampus, rasanya kita akan sedikit kewalahan dengan mekanisme seperti itu, apalagi dengan target yang …yaa, memang progressive, tapi … menurut saya kurang realistis. Ini, pendapat saya. Maaf, bukan bermaksud mementahkan program mba Muthi’, tapi karena saya tipe orang yang lebih berfikir dan bekerja sesuai dengan realita.” akh Ridho’ mengkritik habis program Muthi’.
“ Ya, nda apa-apa, lagian ini kan bukan final programme. Tapi afwan, kalo dalam setiap merancang program kita harus berfikir realistis, lantas kapan kita akan meraih cita-cita da’wah yang selama ini digembar-gemborkan. Pelan boleh, tapi capaian tujuan dan target tetap dimaksimalkan, sehingga akan ada kerja yang maksimal juga. Bukan kerja apa adanya.” Muthi’ menimpali dengan nada agak sewot.
Semua akhwat yang hadir di ruangan itu, terkaget melihat Muthi’ yang tiba-tiba sensitif. Rapat pun berlangsung agak kaku. Tidak ada keakraban yang selama ini biasa menemani perkumpulan mereka. Sepanjang rapat itu pun Muthi’ hanya terdiam mendengarkan presentasi teman-temannya. Tak ada komentar yang keluar, sampai rapat pun akhirnya selesai. Seusai rapat ….
“ Muth’ kamu baik-baik saja kan? Tanya Imas.
“ Ya, saya baik-baik saja ko’. “
“ Tapi kamu agak pucat, Muth, kamu sakit? aku anter pulang aja ya…”
“ Nda usah Mas, lagian habis dhuhur saya ada perlu lagi. Saya nda apa-apa ko’.” Muthi menanggapi sambil menahan sakit di kepalanya.
“ Muth’ kamu istirahat saja, tadi mba lihat kamu kelihatan lemes banget. Migrainnya kambuh lagi ya….” mba Indi nyambung.
“ Nda apa-apa mba, paling kecapean aja. Ntar istirahat di masjid aja sambil nunggu dhuhur, insya Allah juga nanti baikan.”
“ Ya udah, kita ke masjid aja yuk…” Imas menggandeng Muthi’.
Di depan sekre tiba-tiba… DEEBUUUK…Muthi pingsan. Sontak mba Indi dan Imas bingung melihat Muthi’ yang tiba-tiba pingsan. Untunglah di sekre masih ada beberapa akhwat yang belum pulang. Muthi’ pun diisitirahatkan di sekre. Tak lama, Muthi’ pun tersadar. Sambil memegangi kepalanya yang sakit, ia mencoba duduk. Mba Indi di belakang Muthi’, agar tidak jatuh.
“ Muth’, kamu sakit apa ? “ tanya Imas.
“ Kaya’nya mba Muthi’ udah waktunya bedrest deh.” sambung Farah adik tingkatnya.
“Nda apa-apa, paling cuma kecapean,”
“ Ya udah, habis shalat, aku antar pulang ya …” Farah menawarkan bantuannya.
“ Nda usah, de. Lagian ba’da dhuhur mba sudah ada janji dengan mba Hesti. Mba mau ke rumahnya.”
“ Muth, kamu nda ngukur diri apa ? Udah tau kondisi lagi nda beres kayak gini, maksain mau pergi. Mba Hesti kan rumahnya lumayan jauh Muth…!. Mba Indi sewot dengan sikap Muthi yang bandel.
“ Udah ntar biar mba yang minta mba Hesti ke rumah aja, kamu nda usah ke sana.”
“ Tapi mba …”. Udah kamu sekarang nurut sama mba. “
“Ayo sekarang kita shalat, terus pulang, biar kamu istirahat di rumah. “
Selepas Dhuhur, mereka pun pulang. Segera, setelah sampai di rumah, Muthi’ diistirahatkan di kamarnya.
“ Muth, tadi mba dah hubungi mba Hesti, beliau bersedia ke sini, tapi ya agak telat, karena ngasih taunya juga mendadak. “
“ Ya mba, matur nuwun.”
“ Ya udah kamu tiduran aja dulu. Mba ambilin kamu makan, biar ada tenaganya.”
Muthi’ hanya diam menanggapi mba Indi yang mondar-mandir ngurusi dirinya.
“ Mau mba suapin, atau makan sendiri ?”
“ Makan sendiri aja, lagian kayak apa aja makan disuapin. Anak-anak ko’ belum ada yang pulang? Kan udah jam satu lebih.
“ Nda tau juga tuh. Paling juga bentar lagi. Sabar, bentar lagi juga ustad kecilmu datang dengan actingnya yang bikin heboh.”
Mereka pun tertawa membayangkan si ustad kecil Ozan datang dengan tingkahnya yang kocak.
“ Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaaaaaatuh…………”
“Nah tuh…yang diomongin datang. Ya udah Muth, mba ke bawah dulu. Kamu habiskan makannya ya.”
“ Ya..mba.”
Di bawah, terdengar Ozan yang menanyakan Muthi’. Mendengar itu, Muthi hanya tersenyum lemas. Makan pun tak berselera. Piring yang berisi nasi setengah sisa, disingkirkan dari hadapannya.
“ Astaghfirullah….ampuni hamba dengan sakit ini yaa Rabb.” Muthi’ terpejam menahan sakit kepalanya. Dan tertidur.
Suara anak-anak mulai meramaikan suasana rumah singgah siang itu. Kasihan mba Indi yang sendirian ngurusin anak-anak.
“Assalamu’alaikum….?” mba Hesti sampai. “ ‘alaikumussalamwarahmatullah….eh, mba Hesti masuk mba. Waduh maaf nich, anak-anak baru pada pulang, jadi ramai gini.”
“ Nda apa-apa. Muthi’ nya dimana?”
“ Di atas, di kamarnya. Ke atas aja mba.”
“ Ya udah, saya ke atas dulu ya.”
Mba Hesti mengetuk pintu kamar Muthi’ yang sedikit terbuka. Tak ada jawaban. Mba Hesti pun memaksa masuk. Perlahan mendekati Muthi’ yang tertidur. Di pandanginya wajah adek tingkatnya itu. Wajah khas yang tidak bisa disembunyikan dari keteguhan tekadnya untuk menghapuskan kekhasan yang menempel pada dirinya. Pucat. Guratan lelah begitu terlihat, warna hitam kelopak matanya.
“ Tenang sekali tidurmu, dik..” Mba Hesti membatin, matanya berkaca. Muthi’ terbatuk dan bangun. Di dapatinya mba Hesti yang sudah sedari tadi memandanginya tidur.
“ Mba Hesti…? Dari tadi ? Ko’ nda bangunin saya ? “
“ Nda apa-apa. Lagian kamu lagi tidur. Nda tega ngebanguninnya.”
“ Kamu sakit apa dik ? Sampai pingsan gitu…”
“ nda apa-apa mba, paling cuma kecapean.”
“ Cape apa ? “
Muthi memandangi wajah teduh mba nya itu. Ia mengerti maksud pertanyaan sindiran tadi.
“ Kamu tuh butuh refreshing Muth. Mba tahu, bukan fisik kamu yang cape, tapi fikiran dan jiwa kamu. Berbagilah dengan mba, meski mungkin tidak ada advice yang bisa mba berikan, setidaknya kamu merasa ringan dengan tidak menumpuk semua beban di pundakmu.”
Muthi’ tertunduk. “ Mba tahu kan cita-cita saya ? Mungkin saya salah ketika berfikir bahwa cita-cita itu bisa saya raih ketika saya…”
“ Muth, mba tahu. Dan mba juga tahu persis tekadmu. Tapi kamu jangan lupa, itu bukan hal yang mudah. Kamu tidak mungkin berjuang merobohkan dinding itu sendiri. Ketika kamu memaksa menantang itu semua, mba khawatir kamu justru akan kalah Muth. Idealisme itu bagus, tetapi tidak dengan cara konyol. Keluargamu tidak mungkin mentolerir keputusanmu untuk menikah dengan orang selain kalangan Arab. Afwan mba terpaksa mengatakan ini. “
Muthi’ tertunduk, menangisi kebuntuan yang semakin merapat di kepalanya.
“ Terkait akh Ridho, mba yakin kamu sudah mengambil sikap dewasa untuk menghadapinya. Satu rahasia Nya sudah terungkap, dia bukan yang terbaik buat Muthi’. “
Mba Hesti menggenggam tangan Muthi’, “ Mba tahu, ini berat buat kamu. Tapi yakinlah, Allah sedang merancang jalan lain yang lebih indah buat Muthi’, permasalahannya adalah waktu. Kita hanya bisa menunggu.”
Mba Hesti memeluk Muthi’, dibiarkannya adik kesayangannnya itu menangis puas di pundaknya, membasahi kerudung cokelatnya.
“ Muth, cita-citamu adalah kewajibanku juga untuk memperjuangkannnya. Insya Allah, jika kita yakin dan tetap istiqomah di atas jalan ini, Allah pun akan membukakan kemudahan untuk kita. Apa yang kita inginkan, yakinlah tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah untuk tidak mewujudkannya untuk kita. Banyak berdo’a dan semangat terus bekerja untuk da’wah. “
“ Ya…jazakillah mba. “
“ Masya Allah Muth, kamu mimisan ? Kamu benar nda apa-apa ? Ada yang kamu sembunyikan dari mba ?”
“ Nda apa-apa mba, nda tau juga nich, seumur-umur baru mimisan.”
“ Ya udah, besok pagi kita ke dokter, periksain. Terutama kepalamu yang sering sakit itu. Mba khawatir mimisanmu ada hubungannya juga sakit kepalamu yang sering itu.”
“ Nda sering ko’, Cuma…”
“ Udah, nda usah banyak ngeles. Besok pagi mba jemput, kita ke dokter syaraf, jika perlu rontgen kepala. “
“ Ya ampun mba, segitunya….”
“ Kamu tuh, jangan menyepelekan kesehatan. Gimana mau menunaikan amanah kalo badannya ringkih kaya’ gitu. “
“ Yaaa buuu…. dokteeeeeeer.”
“ Heuuehh !!! Dasar anak bandel.” Ya udah, mba pamit dulu, udah ashar. Mba ada janji dengan orang-orang dinas sosial. Mereka mau ke rumah katanya. “
“ Ehm …jadi program pemberdayaan wanita rawan sosial ekonomi itu ?”
“ Alhamdulillah, di ACC sama kepala dinasnya. Mereka bersedia kita jadi penanggung jawab pembinaannya. “
“ Alhamdulillah, aku dilibatkan juga kan mba ? “
“ Kalo Muthi’ masih bandel kaya’ gini, mba nda akan libatkan. “
“ Yaa deh, Muthi’ Muthmainnah nurut kata bu dokter Wiwik Hesti Prastiwi. Peace !!!”
“ Udah ah …yupz.. Assalamu’alaikum.”
“ ‘alaikumussalam warahmattulah…hati-hati mba.”
“ Ya, insya Allah. banyak istirahat sama makan yang bener ya…”
Muthi’ membalas dengan jempolnya. Ah …sudah ashar. Saatnya menikmati senja dengan bercinta di atas mihrab. Uuuh…indahnya.
Senja itu, memberikan cahaya spirit luar biasa. Ia tampak mempesona dengan sinar kuning kemerah-merahannya. Tentram, damai. Selepas shalat, Muthi’ paksakan turun ke bawah menemui adik-adiknya.
“ Lho Muth’ ko’ turun ? Dibilang suruh istirahat juga….” mba Indi menghampiri Muthi’ yang berjalan agak sempoyongan.
“ Nda apa-apa mba, pengen ketemu adik-adik. Kangen dah lama nda ngobrol sama mereka. “
” ya udah, duduk sini aja. Oya, mba baru bikin bubur kacang hijau, mba ambilin ya…”
“ Mba Indi, orang sakit ko’ suruh makan terus, pahit mba rasanya…”
“ Dipaksaian Muth’, kalo kayak gitu terus, kapan makannya, kapan sembuhnya…?”
“ Iya deh… Kenapa ya, dokter kok cerewet-cerewet ?
“ ya gimana nda cerewet, pasiennya bandel-bandel !”
Muthi’ hanya tersenyum melihat mba Indi yang sedikit kesal. “ Ah…baik sekali mbak ku yang satu ini. Aku tahu pasti kau sangat lelah. Tapi masih bisa tersenyum dan ikhlas ngurusin adikmu ini.” Muthi’ membatin seraya memandangi mba Indi yang riweuh dengan urusan dapur dan anak-anak.
“ Mba Muthi’ katanya sakit ya…istirahat aja mba, biar cepet sembuh..” Ozan bergaya mijitin kaki Muthi’ dengan dua tangannya yang mungil, dan diikuti teman-temannya yang lain Dimas, Wahyu, Budi, Deni, Irfan dan juga si kecil Luthfi.
“ Eeh..mba nda apa-apa ko’, udah ayo baca iqro’ lagi. “
“ Nda apa –apa mba, kita kan juga pengen bantuin mba Muthi’, iya ora konco-konco?” Ozan memprofokatori.
“ Iya mba !”, kompak.
“ Iya…tapi yang ada mba malah geli dipijitan kalian. Lagian kalian pasti cape.” Muthi’ memegang tangan mereka dan melepaskannya satu per satu dari kakinya sambil tertawa geli,
“ Biarin Muth, mereka kan juga ingin berbagi kebaikan. Iya kan ? “
“ Betul mba Indi !” Dimas semangat menjawab.
“ Ya udah, tapi mijitinnya udahan aja ya..mau denger cerita dari mba Muthi’ nda ? “
“ Mau, mau, mau…!”
Sore itu, anak-anak begitu antusias mendengarkan cerita Muhammad Al Fatih menaklukkan Romawi.
“ Waaaah..keren ya, kecil kecil jadi panglima. Aku bisa nda ya mba ? “ Wahyu berseloroh sambil mengaitkan kedua tangannya di depan dadanya.
“ Wah kamu sih jadi panglima bertopeng aja kaya’ yang di Sin Chan. “ Ozan mulai ngeledek.
“ Eeh, Ozan nda boleh kaya’ gitu. Pasti Wahyu, asal ada keyakinan dan usaha yang sungguh-sungguh, serta nda lupa ibadah yang rajin, insya Allah cita-cita kita akan mudah kita raih. “
“ Tapi Wahyu kan…nda punya bapak, nda punya Ibu, gimana Wahyu bisa? “
“ Wahyu, kita nda punya ibu atau bapak, tetapi kita masih punya Allah yang nda akan pernah meninggalkan kita. Kecuali kita yang meninggalkan Allah. Keberhasilan itu tergantung usaha kita, bukan karena orang lain. Orang lain itu hanya penyemangat. Seperti mba Muthi’, mba Indi, mba Imas, mba Fani, mas Fajar, mas Ridho’ dan juga teman-teman yang lain. Mereka adalah saudara yang akan selalu membantu dan mendoakan, tetapi bukan kepada mereka kita bertumpu, melainkan kepada Allah. Karena Allah sumber pertolongan, sumber di kabulkannya semua do’a dan cita-cita, maka kita harus rajin mendekatkan diri kepada sumber pertolongan itu.”
“ Ooooh…berarti Allah itu super hebat ya mba…”
“ Ya iya donk…Allah Maha Besar, sedangkan kita dihadapan Allah sama seperti semut, sangat kecil, tidak berarti apa-apa kecuali jika ada keimanan dalam hati kita. Semuanya pengen tidak seperti Al Fatih ? “
“ Pengen mba….”
“ Bagus, kalian harus punya cita-cita setinggi mungkin. Dengan tangan kalian, kalian harus mampu dan yakin, bahwa dunia ini akan takluk di tangan kalian karena Islam yang kalian bawa. “
” ALLAHU AKBAR !!!!!” anak-anak menyambut dengan takbir.
“ Lho…kalian ko’ bisa kompak ?”
“ Ya iyalah..kita kan sering nonton mba-mba sama mas-mas kalo demo. Ada takbirnya, ALLAHU AKBAR, seru mba….” Irfan menirukan gaya takbir mas-masnya.
Semua yang ada di ruangan itu pun bertakbir dan menyantap bubur kacang hijau buatan mba Indi. Indahnya kebersamaan.
“ Assalamu’alaikum…” suara Imas, Fani dan yang lain terdengar dari depan.
“ ‘alaikumussalam warahmatullahiwabarakaatuh.” Muthi’ dan kawan-kawan menyambut kompak.
“ Wah…lagi pada PeWe nih…” Fani berjalan lemes.
“ Apaan PeWe mba..? Biasa Ozan dengan gaya pengen taunya.
“ PeWe itu…posisi wueeenak..”
“ Iya donk…kalian mau juga. Ntar tak ambilin ya…” Mba Indi kembali ke dapur.
“ Muth’, dah sehat? Masih pucat gitu. Istirahat lah…” Imas mendekati Muthi’
“ Nda apa-apa Mas, justru aku pengen sembuh, makanya aku main sama anak-anak.”
“ Orang aneh.” Fani mengomentari sambil berjalan ke dapur mengambil air minum.
“ Eehh…justru yang aneh yang banyak fansnya…”
“ Muth, tadi ditanyain akh Ridho. Katanya mba Muthi’ sakit apa? Kaya’nya dia merasa bersalah minta kamu revisi program tutorial.” Fani duduk pasrah di hamparan tikar di ruang tengah.
Muthi’ terdiam. Dia tersentak dengan pernyataan Fani. “Ah…akh Ridho, nda usah sok perhatian githu lah, bikin kotor hati akhwat.” Muthi’ membatin kesal.
“ Aku nda apa-apa. Cuma kecapean aja. Ya udah, aku mau ke atas, pengen istirahat. “
“ Tak anter sini Muth, ntar kamu jatuh lagi. “ Imas langsung menggandeng tangan Muthi’
Muthi’ menghabiskan waktu Maghrib dan Isya’nya di kamarnya. Malam itu serasa malam terakhir baginya. Badannya lemas, dinding kamarnya terasa berputar-putar. Pandangannya buram, dan….ia pun menghabiskan raka’at-raka’at shalatnya di atas tempat tidurnya.
“ Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku bersama sakit yang aku rasa. Jika malam ini adalah malam terakhir untukku, maka jadikanlah malam ini malam yang terindah dalam perjalanan malam-malamku. Ijinkanlah aku hiasi malam terakhir ini dengan senyum bahagiaku, senyuman yang belum pernah tersimpulkan sebelumnya. Amiiin. “
Malam itu, menjadi malam yang terasa singkat. Subuh seolah tak sabar untuk segera merangsek menggugah manusia-manusia yang tertidur pulas. Subuh itu, mba Indi menemui Muthi yang masih tertidur.
“ Dik…bangun. Udah subuh, ayo shalat dulu.” Muthi’ membuka matanya perlahan. Sayup-sayup, ia masih mendengar suara adzan di desa sebelah.
“ Ini adzan subuh mba..? “
“ Ya iya Muth, masa adzan Dhuhur.”
“ Astaghfirullah, aku tidur semalam penuh. Lupa nda nyalain alarm.”
“ Muth, kamu tuh lagi sakit. Mba minta tolong sekali, jangan terlalu memaksakan diri. Badanmu punya hak untuk diperhatikan, bukan cuma ruhiyahmu.”
“ Ya mba. Alhamdulillah, ternyata malam tadi bukan malam terakhir. “
“ Kamu ngomong apa toh Muth…Udah, ayo mba anter ke kamar mandi.”
“ Mba udah shalat? “
“ Belum, makanya mba ke atas, biar bisa jama’ahan sama kamu. Anak-anak di bawah udah dihandle sama Fani dan Imas.”
“ Mba aku shalatnya duduk saja ya…”
“ Ya…”
Mereka pun shalat subuh berjama’ah di kamar Muthi’. Di bawah, terdengar suara Ozan yang mengimami teman-temannya agar berdo’a untuk kesembuhan Muthi’. Tersentak haru yang begitu dalam mendengar suara polos anak-anak itu. Selepas shalat, Muthi’ langsung merebahkan diri lagi di ranjangnya.
“ Masih sakit kepalanya Muth..? Mba pijitin ya, ada minyak kayu putih nda ?”
“ Kalo nda salah, di atas rak buku.”
“ Masya Allah Muth, badan kamu panas lagi. Udah, ntar habis dhuha kita ke rumah sakit. Check up.”
“ Ya, mba Hesti ntar mau ke sini. Beliau juga cerewet maksain ke rumah sakit.”
“ ya iya, gimana nda cerewet. Badan kamu tuh udah harus diservice. Udah saatnya masuk bengkel. Jika perlu ganti oli.”
Muthi’ tertawa kecil,” Mba ini ada-ada saja. Emang aku motor. Pake ganti oli segala. Sekalian aja ganti onder dill.”
“ Kamu ini udah sakit, masih aja bandel. Gimana, masih sakit ?”
“ Alhamdulillah mba, udah mendingan. Jazakillah.”
“ Ya udah, kamu nda usah turun. Hari ini jadwal khusus buat istirahat total. Mba mau masak buat anak-anak dulu. Kamu sarapan bubur aja ya…biar gampang dicernanya.”
“ Yaa….apa kata bu dokter Indria Mahsunah aja lah..”
Mba Indi meninggalkan Muthi. Di bawah, anak-anak seperti biasa sibuk dengan aktivitasnya.
“ Mba Indi yang baik hati, mba Muthi’ masih sakit ya..” Ozan segera menyerbu mba Indi yang terlihat baru turun dari kamar atas.
“ Ya, masih sakit. Makanya Ozan dan teman-teman yang lain yang rajin shalatnya, dan jangan lupa do’ain mba Muthi’ biar cepat sembuh. “
“ Ya, mba tadi juga kita berdo’a buat mba Muthi’. Mba, Ozan boleh ke kamar mba Muthi’ nda?”
“ Udah selesai belum tugas in the morning nya…?”
“ Belum.”
“ Ayo, selesaikan dulu. Nanti kalo udah selesai, boleh ke kamar mba Muthi’. “
“ Oke deh…” Ozan berlalu dengan tampang layu.
“ Assalamu’alaikum…”, mba Hesti pagi-pagi sudah sampai buat jemput Muthi’
“ ‘alaikumussalamwarahmatullah, lho…mba Hesti pagi-pagi dah nyampe. Mau jemput Muthi’ ya. Muthi’ nya juga baru mau sarapan.” mba Indi menghampiri mba Hesti sambil membawa sarapan buat Muthi’.
“ Ya, sengaja pagi-pagi. Ntar kalo kesiangan lama ngantrinya. Ya udah saya yang bawain sarapannya. Oh ya gimana kondisinya?”
“ Ya gitu mba, masih lemas. Tapi agak lebih baik dari kemarin.”
Mba Hesti mengangguk sambil berlalu menuju kamar Muthi’.
“ Assalamu’alaikum, “ mba Hesti langsung masuk kamar Muthi’ yang terbuka.
“ ‘alaikumussalam warahmatullah. Lho, mba pagi-pagi udah beredar. “
“ Biar kamunya cepet di bawa ke rumah sakit. Sekarang ayo, sarapan dulu. Terus ini, mba bawa madu. Nanti diminum pake air hangat. Satu sendok aja sehari.”
“ Ya bu dokter..”
Selesai sarapan, hanya membasuh muka dan bebersih sedikit Muthi’ langsung di antar ke rumah sakit, ditemani juga oleh mba Indi. Sesampainya di rumah sakit, Muthi’ langsung dibawa ke ruang radiology.
“ Lho, mba ko’ langsung ke sini? mba Indi bengong.
“ Ya, biar ketahuan dulu penyakitnya apa. Kan selama ini masalah Muthi’ di kepalanya. “
Muthi’ hanya pasrah mau diapakan sama mba-mbanya itu. Sepuluh menit kemudian, Muthi’ keluar dari ruang rontgen. Pak Edi, teman mba Hesti menjelaskan,” Hasil foto rontgennya nanti akan dianalisis oleh dokter syarat terbaik di rumah sakit ini, namanya dokter Fahmi. “
“ Lalu, kapan hasilnya bisa keluar? “ mba Hesti bertanya nda sabar.
“ Hari ini dr.Fahmi ke rumah sakit, karena ada operasi tumor otak jam sebelas. Biasanya beliau datang jam sembilan atau jam sepuluh. Ya, mudah-mudahan bisa langsung dibaca oleh beliau. Kalo tidak ya kemungkinan besok. Karena operasi tumor lumayan memakan waktu. “
Mba Hesti dan mba Indi saling berpandangan. “ Ya udah, kalo hasilnya sudah keluar, nanti tolong langsung segera hubungi saya ya pak…”.
“ Siip mba. Nanti saya kabari.”
“ Ya udah kalo begitu, kita pulang dulu. Assalamu’alaikum.”
“ wa’alaikumussalamwarahmatullah. Eeeh mba sebentar. Mba Muthi’ perlu test darah dan periksa tensi dulu. Barangkali ada gejala lain. Mari saya anter ke ruang periksa.” Pak Edi langsung berjalan di depan mereka bertiga.
Muthi’ langsung diperiksa oleh suster Diana. “ Hasil tensinya bagus, normal. Nah sekarang, saya ambil darahnya dulunya sedikit. “ Suster Diana mengambil suntikan untuk test darah.
“ Yap, sebentar ya. Tunggu sekitar 30 menit lagi untuk tahu hasilnya testnya.” suster Diana tersenyum meninggalkan mereka bertiga ke laboratorium.
“ Cape mba.” Muthi’ bersandar dikursi plastik di ruang periksa.
“ sabar dik, kalo hasilnya dah keluar kita langsung pulang.” mba Indi memegang tangan Muthi’ yang mulai dingin.
Tiga puluh menit kemudian, suster Diana datang, “ Ehm, maaf mba, hasilnya belum bisa keluar sekarang. Kami menunggu dokter spesialis lain untuk memastikan hipotesis laboratorium.”
“ Emang ada masalah sus?” Mba Indi sedikit cemas.
“ Ehm…kita lihat hasilnya nanti ya mba. Paling lambat besok sudah ada.” suster Diana menenangkan. Ya, itu sudah kewajibannya untuk menjaga mental pasien.
“ Ya udah, kalo begitu kita boleh pulang kan? “ Muthi’ menyimpulkan pertanyaan berikutnya, dia memang benar-benar ingin pulang. Mba Indi hanya menatap Muthi’.
“ Ya, silahkan. Besok setelah dhuhur bisa ambil hasilnya.” Tiba-tiba pak Edi memanggil mba Hesti dari belakang, “ dokter Fahmi sudah datang. Kalo mau langsung ketemu beliau mari saya anter ke ruang prakteknya.”
“ Alhamdulillah, ya udah ayo kita langsung kesana. Muth, kamu masih kuat kan?”
Muthi’ hanya mengangguk lemas. Sesampainya di ruang praktek dr. Fahmi, mereka bertiga langsung bertemu beliau. Untunglah tidak ada pasien lain.
“ Dok, ini teman saya, mba Hesti. Beliau ini mengantar temannya untuk periksa syaraf. Ini hasil foto rontgennya. Dokter bisa menolong mereka?” pak Edi membuka prolog.
“ Oh ya, mari langsung ke ruang periksa.” dr. Fahmi langsung menyiapkan alat-alat prakteknya.
mba Hesti mengantar Muthi’ ke ruang periksa. “ Mba temeni saya.” Muthi’ memegangi tangan mba Hesti. “ Ya, dik.”
Sepuluh menit, dr. Fahmi memeriksa Muthi’. Sementara itu, mba Indi menunggu di luar. Dr. Fahmi meminta mba Hesti keluar, karena ada hypothesisnya yang harus disampaikan.
“ Muth, kamu istirahat dulu di sini ya. Mba mau bicara dengan dr. Fahmi.” mba Hesti pun meninggalkan Muthi’.
Mba Indi dan mba Hesti duduk manis menunggui dokter Fahmi yang masih serius mengamati hasil rontgen kepala Muthi’. Setelah itu…dr. Fahmi membuka kacamatanya, mengela nafas…dan memandangi mba Indi dan mba Hesti. Mereka pun menjadi tegang.
“ Ada apa dok? ada hal yang serius ?” mba Hesti membuka pertanyaan.
“ Maaf sebelumnya, mba-mba ini ada hubungan darah dengan mba Muthi’? “
“ Oh, nda ada dok. Kami hanya satu organisasi dan sudah tiga tahun satu atap alias satu kostan. Jadi kami juga sudah seperti saudara. Ada apa gitu dok?” Mba Indi menjelaskan dengan nada tegang.
“ Begini mba-mba. Sebagai dokter, tugas kami bukan hanya berusaha membantu pasien sembuh, tetapi juga menyemangati psikology pasien agar tidak rapuh. Syukurlah, jika mba-mba ini memiliki hubungan yang sangat baik dengan mba Muthi’. Saya sebagai dokter memohon untuk turut membantu menyemangati mba Muthi’ “. dr. Fahmi menjelaskan tetapi memusingkan.
“ Maaf dok, bisa to the point saja? “ mba Hesti semakin tegang.
“ Begini mba-mba. Saya sudah membaca hasil rontgen tadi. Dan hasilnya…” mba Indi dan mba Hesti berpegangan tangan. Tangan mereka dingin karena penjelasan dr. Fahmi yang menggantung.
“ Saya minta mba-mba tetap kuat agar mba Muthi’ pun turut kuat. Karena pada hakikatnya, kekuatan yang diperlukan pasien untuk bertahan dari sakitnya adalah kekuatan jiwanya. Ya, meski kesimpulan saya akan sakit mba Muthi belum sampai pada tingkat serius.” dr. Fahmi semakin membuat tegang.
“ Maksud dokter? “ mba Hesti semakin penasaran.
“ Saya akan beritahu hasil analysis rontgennya secara tertulis. Sebentar.” dr. Fahmi masuk ke ruangan kecil disamping ruang periksa. Tak lama kemudian….
“ Ini hasilnya.” dr. Fahmi menyerahkan amplop putih panjang dan juga hasil rontgen Muthi’.
Mba Hesti langsung membuka isi amplopnya. Dan …air matanya langsung menetes melihat hasil rontgen dari dr. Fahmi. Kanker otak stadium satu. Mba Indi yang turut membaca kertas putih itu pun tak kuasa menahan air matanya. Namun, tidak mungkin jika ia turut larut dalam kesedihan. Ia mencoba menenangkan mba Hesti.
Dengan menahan air matanya, “ Lalu apa yang harus kami lakukan untuk Muthi’? “ mba Hesti bertanya lirih.
“ Yang pertama, seperti yang saya sampaikan di awal. Yang kedua, awasi pola makan, istirahat dan aktivitas Muthi’. Dia tidak boleh terlalu cape, banyak fikiran apalagi stress. Saya akan tuliskan menu yang harus dikonsumsi Muthi’. “
“ Apa kami harus merahasiakan hal ini dari Muthi’ ?” mba Indi menambahkan.
“ Ehm… untuk saat ini, ya. Kondisinya saya lihat sangat lemah. Saya melihat sepertinya Muthi’ sedang ada beban pikiran. Nah, ini tolong di kurangi atau lebih baik buat Muthi’ lupa dengan masalah-masalahnya. Karena saat ini dia ngedrop bukan cuma karena ada gejala seperti ini, tapi juga karena memang dia sudah sangat lelah. Jika dia sudah pulih, lebih baik dia memang tahu akan sakitnya, tentunya hati-hati. Saat ini dia harus bedrest total.“ dr. Fahmi menjelaskan pelan.
“ Tentu dok.” mba Hesti menggangguk.
“ Baik, ini menu dan pantangan-pantangan untuk Muthi’. Maaf saya harus siap-siap lagi, karena ada operasi jam sebelas. Assalamu’alaikum.”
“ ‘alaikumussalam warahmatullah.”
Muthi, mba Hesti dan mba Indi pun pulang. Sepanjang perjalanan pulang, tak ada satu hurufpun yang keluar. Mba Hesti tak kuasa menahan sedih, ia memalingkan wajahnya ke arah jendela angkot agar tak terlihat air matanya yang mulai menetes. Pun mba Indi, ia kehabisan kata-kata untuk menenangkan mbanya itu. Tak terkecuali Muthi’ yang memilih diam, karena tak ada energi untuk bersuara. Sesampainya di rumah, terlihat senyum terpaksa yang mengembang, setidaknya menghibur anak-anak dan saudara-saudara yang lain, yang sudah tidak sabar ingin tahu hasil rumah sakit.
“ Gimana hasilnya rontgennya mba?” Fani langsung menghadang di depan pintu.
“ Bentar lah Fan, kami kan baru nyampe. Muthi’ juga harus langsung istirahat dulu.” mba Hesti sedikit berbasa-basi. Mendengar itu, Fani hanya diam, memandangi wajah Muthi’ dan mba Indi penuh dengan tanda tanya. Mba Indi langsung mengantar Muthi’ istirahat di kamarnya.
“ Mba tadi apa kata dokter Fahmi?” Muthi’ memegang tangan mba Indi yang akan meninggalkan kamar Muthi’.
“ Ehm …nda apa-apa kok Muth. dokter Fahmi cuma bilang kamu harus istirahat total sampai kamu benar-benar sehat. Terutama kepalamu. Kamu nda boleh banyak pikiran apalagi stress. Kami semua ada di sini, siap berbagi dengan Muthi’. Itu aja pesan dokter.”
“ ada yang mba Indi dan mba Hesti sembunyikan ? “
“ Nda ada kok de. Udah kamu istirahat dulu ya. Nanti dhuhur mba bangunin.” mba Indi tersenyum dan meninggalkan Muthi’.
to be continued...
Selasa, 31 Agustus 2010
Suara Sumbang di Terakhir Ramadhan
Senja yang cukup cerah. Meski begitu melelahkan dengan hiruk pikuk orang-orang yang selalu memadati jalan untuk mencari santapan berbuka puasa. Ya, semenjak awal Ramadhan, kota kecil ini mendadak selalu macet jika waktu telah memasuki waktu Ashar. Waktu yang seharusnya menjadi ajang mencari kedamaian dalam munajat, ternyata bagi sebagian manusia-manusia itu adalah waktu yang paling tepat untuk ngabu-burit menghabiskan tenaga yang tersisa untuk memburu makanan yang sudah diimpikan sejak siang.
Setiap senja menjelang, kota kecil itu mulai terpolusi oleh suara klakson yang efektif bikin telinga mendadak budeg, kepala menjadi pening, dan emosi harus setengah mati ditahan agar tidak meledak. Melihat kemacetan di jalan utama kota kecil itu, yang di dominasi oleh mobil-mobil mewah, cukup mengisyaratkan ternyata masyarakat kota itu tidak tertinggal seperti kebanyakan orang berbicara. Walau memang kota itu termasuk kota yang tertinggal dari segi pembangunan, baik manusianya maupun infrastrukturnya.
Begitu banyak mobil-mobil mewah di parkir di pelataran mall, rumah makan mewah dan juga masjid terbesar di kota itu, yang saya fikir telah berubah menjadi wahana wisata, bukan untuk ibadah. Kota kecil yang cukup padat penduduk. Cukup padat oleh para tukang becak yang menunggu penumpang sambil tiduran atau menyedot es teh tanpa ada rasa beban sedikitpun. Cukup padat pula oleh orang-orang yang berlomba-lomba memasang tampang memelas, menadahkan tangan untuk keperluan makan dan minum mereka. Sedangkan kemampuan fisik mereka, masih bisa lah jika mereka mau bekerja meski ala kadarnya. Namun, setidaknya mereka menjadi bukti, bahwa kota itu pun dipadati oleh orang-orang malas.
Senja kemarin, aku pun tak berniat menghabiskan waktu itu dengan menelusuri kota itu dari dalam angkot. Malas sekali ke luar pada waktu-waktu seperti itu, macet, bising dan ah….terlalu banyak pemandangan yang tak pantas dipertontonkan di bulan suci seperti ini. Namun, senja kemarin telah membuat ku berfikir tentang sebuah rasa syukur dan sebuah aksi yang harus segera aku lakukan.
Mataku tertuju pada sosok gadis 15 tahunan. Di perempatan lampu merah, dia bersama teman laki-lakinya, dengan tampang layu menadah dengan modal suara sumbang yang dipadu dengan gitar yang dipetik sekenanya. Yang membuatku tertegun adalah perutnya yang membucit. Tentu bukan karena dia korban busung lapar. She is pregnant. Ya, itu yang membuat ku tercengang. Dan mungkin, laki-laki yang bersamanya adalah bapak dari calon bayi yang tengah dikandungnya. Sebuah pemandangan yang telah menamparku, menagih simpati dan amalku. Ia menuntutku untuk berbuat. Bukan lagi berdiskusi dan berjibaku dengan konsep-konsep yang tak lebih hanyalah bualan. Tak kuasa aku menahan sesak yang sekonyong-konyong menyerbuku. Tak mungkin aku menjadi sok cengeng di depan para penumpang.
Pemandangan tadi, masih menjadi menghiasi Ramadhanku kali ini. Di sepuluh hari terakhir, disaat orang-orang harusnya berlomba di atas mihrabnya. Tak mungkin, jika ternyata masih ada mereka-mereka diperempatan lampu merah itu. Ingin sekali aku turun dan ku ajak dia pulang bersamaku. Ingin sekali aku tanyakan mimpi-mimpinya.
Mungkinkah mereka akan setia menghiasi wajah bangsa ini setiap harinya? Gadis itu, anak-anak jalanan itu, nenek-nenek itu….yang wajahnya menyiratkan duka yang dimake-up oleh senyum getir.
Ah … sudah saatnya berbuat. Mereka pun berhak menikmati Ramadhan di dalam masjid, menikmati indahnya tarawih dan I’tikaf di sepuluh malam terakhir ini. Jika tidak pada Ramadhan kali ini, semoga Ramadhan tahun nanti, mereka menjadi orang-orang yang paling bersemangat menyambutnya dan menyemarakkannya dengan ibadah-ibadah mereka. Semoga.
- Syahidah Lamno -
Setiap senja menjelang, kota kecil itu mulai terpolusi oleh suara klakson yang efektif bikin telinga mendadak budeg, kepala menjadi pening, dan emosi harus setengah mati ditahan agar tidak meledak. Melihat kemacetan di jalan utama kota kecil itu, yang di dominasi oleh mobil-mobil mewah, cukup mengisyaratkan ternyata masyarakat kota itu tidak tertinggal seperti kebanyakan orang berbicara. Walau memang kota itu termasuk kota yang tertinggal dari segi pembangunan, baik manusianya maupun infrastrukturnya.
Begitu banyak mobil-mobil mewah di parkir di pelataran mall, rumah makan mewah dan juga masjid terbesar di kota itu, yang saya fikir telah berubah menjadi wahana wisata, bukan untuk ibadah. Kota kecil yang cukup padat penduduk. Cukup padat oleh para tukang becak yang menunggu penumpang sambil tiduran atau menyedot es teh tanpa ada rasa beban sedikitpun. Cukup padat pula oleh orang-orang yang berlomba-lomba memasang tampang memelas, menadahkan tangan untuk keperluan makan dan minum mereka. Sedangkan kemampuan fisik mereka, masih bisa lah jika mereka mau bekerja meski ala kadarnya. Namun, setidaknya mereka menjadi bukti, bahwa kota itu pun dipadati oleh orang-orang malas.
Senja kemarin, aku pun tak berniat menghabiskan waktu itu dengan menelusuri kota itu dari dalam angkot. Malas sekali ke luar pada waktu-waktu seperti itu, macet, bising dan ah….terlalu banyak pemandangan yang tak pantas dipertontonkan di bulan suci seperti ini. Namun, senja kemarin telah membuat ku berfikir tentang sebuah rasa syukur dan sebuah aksi yang harus segera aku lakukan.
Mataku tertuju pada sosok gadis 15 tahunan. Di perempatan lampu merah, dia bersama teman laki-lakinya, dengan tampang layu menadah dengan modal suara sumbang yang dipadu dengan gitar yang dipetik sekenanya. Yang membuatku tertegun adalah perutnya yang membucit. Tentu bukan karena dia korban busung lapar. She is pregnant. Ya, itu yang membuat ku tercengang. Dan mungkin, laki-laki yang bersamanya adalah bapak dari calon bayi yang tengah dikandungnya. Sebuah pemandangan yang telah menamparku, menagih simpati dan amalku. Ia menuntutku untuk berbuat. Bukan lagi berdiskusi dan berjibaku dengan konsep-konsep yang tak lebih hanyalah bualan. Tak kuasa aku menahan sesak yang sekonyong-konyong menyerbuku. Tak mungkin aku menjadi sok cengeng di depan para penumpang.
Pemandangan tadi, masih menjadi menghiasi Ramadhanku kali ini. Di sepuluh hari terakhir, disaat orang-orang harusnya berlomba di atas mihrabnya. Tak mungkin, jika ternyata masih ada mereka-mereka diperempatan lampu merah itu. Ingin sekali aku turun dan ku ajak dia pulang bersamaku. Ingin sekali aku tanyakan mimpi-mimpinya.
Mungkinkah mereka akan setia menghiasi wajah bangsa ini setiap harinya? Gadis itu, anak-anak jalanan itu, nenek-nenek itu….yang wajahnya menyiratkan duka yang dimake-up oleh senyum getir.
Ah … sudah saatnya berbuat. Mereka pun berhak menikmati Ramadhan di dalam masjid, menikmati indahnya tarawih dan I’tikaf di sepuluh malam terakhir ini. Jika tidak pada Ramadhan kali ini, semoga Ramadhan tahun nanti, mereka menjadi orang-orang yang paling bersemangat menyambutnya dan menyemarakkannya dengan ibadah-ibadah mereka. Semoga.
- Syahidah Lamno -
Aku Di 24 tahunku
Taman Firdaus, 21 Ramadhan 1431 H / 31 Agustus 2010
Di sepuluh terakhir Ramadhan, ia pun menyisakan elegi yang ingin segera ku akhiri …
Bismillahirrahmanniraahiim
Di pertengahan malam ini, Ramadhan ke dua puluh satu, ia begitu mampu menggerakkan hati ini untuk berbicara tentang sebuah elegi. Ya, ia berkata betapa ia tak ingin berpisah dengan Ramadhan. Sembilan hari lagi, menjadi sebuah hitungan yang terasa cepat. Rasanya baru kemarin aku menikmati ni’matnya sejuknya air menyirami dahaga di waktu berbuka dan nikmatnya menahan kantuk di waktu sahur. Kini, ia pun perlahan tapi pasti, mendekati saat-saat perpisahannya.
Ramadhan ini, kali kedua bagiku untuk mengevaluasi diri tepat pada moment yang mampu menampar kesadaranku bahwa waktuku pun tak akan lama lagi. Dua hari yang lalu, genap sudah dua puluh empat tahun aku di sini, di dunia ini. Usia yang cukup matang untuk disebut sebagai orang dewasa. Ya, aku pun tak ingin orang-orang menempatkanku sebagai anak kecil ingusan yang baru mengenal dunia. Sudah saatnya mereka tahu, bahwa aku bukanlah Fitri si bungsu. Tapi akulah Fitri yang mandiri.
Ya, mereka semua harus tahu. Boleh saja mereka mengatakan aku manja, meski aku tak pernah merasakan bagaimana manja. Ya karena aku mau manja kepada siapa? Di sini aku seorang diri. Keluargaku pun tak pernah mengajarkanku manja. Mereka hanya mengenalkan padaku bagaimana menjadi pribadi yang tegar seperti prajurit-prajurit yang tak lelah bertempur.
Subhanallah, tak kuasa aku menahan haru ketika ku ingat semua perjalanan di dua puluh tiga tahun yang lalu. Setidaknya di fase aku mulai berfikir bagaimana kehidupan ini harus aku sikapi. Begitu banyak hal yang kini aku maknai hikmahnya. Ingat sekali aku di usia delapan belas tahun, persis setelah aku lepaskan seragam abu-abu-putih, aku tekadkan keluar rumah. Aku mengenal dunia baru yang bernama petualangan dan pengorbanan. Di sana aku belajar kemandirian dan kedewasaaan. Aku pun berjumpa dengan orang-orang yang bermental baja. Yang dari mereka aku belajar banyak hal.
Aku sadar, ada hati yang harus aku jaga. Ia adalah hati yang paling lembut. Yang tak pernah rela orang yang dicintainya terluka atau menderita. Hati yang selalu menguraikan do’a dalam setiap langkahnya. Ia adalah hati wanita termulia yang pernah aku kenal di dunia ini. Ibuku. Aku tahu ia menangis ketika melepas ku pergi. Namun ia tak ingin aku mengetahuinya. Ia tersenyum tegar ketika kulambaikan tangan perpisahan. Maafkan aku ibu, pernah membuatmu menangis. Namun terimakasihku atas keridho’anmu melepasku pergi berjuang.
Di usia itu, aku belajar bagaimana menghadapi kegagalan demi kegagalan. Pahit memang, namun tetap saja, ada manis yang bisa kucicipi. Dari sana, sekali lagi, aku dituntun untuk belajar tegar untuk menjaga hati agar tidak goyah. Sampai akhirnya aku benar-benar merasakan manis yang sama sekali tak ada pahitnya. Walaupun aku harus kembali (mungkin) mengurai air mata ibuku. Aku harus pergi dari rumah demi masa depanku.
Kini, tak terasa sudah hampir lima tahun aku di sini. Meninggalkan kehidupan sebelumnya yang jauh berbeda. Aku hidup dalam persaingan, dan aku harus menang. Di sini, aku belajar kemandirian. Ah, tak begitu sulit hidup mandiri. Toh dulu aku pernah merasakannnya, bahkan lebih keras perjuangannya. Lima tahun, benar-benar telah menjadikanku manusia baru. Ehm …sulit sekali memulai cerita lima tahun yang lalu. Tapi harus ! Harus aku ceritakan.
Awal yang indah, ternyata tak selamanya indah. Bahkan banyak sekali duri-duri yang menusuk kakiku ketika aku melewatinya. Tak jarang pula, air mata ini terpaksa aku teteskan agar aku merasa ringan dari beban yang memberatkanku. Berulang kali, hati ini dihadapkan pada peristiwa yang sama dan sungguh ….luar biasa tarbiyah itu. Ia memang menyakitkan, namun ia membuahkan ketegaran dan kekuatan yang begitu besar pada jiwa ini. Ia mengajarkan ku untuk tegar, di saat yang lain lemah. Tersenyum di tengah duka yang ada dan tertawa di saat air mata tak henti-hentinya menemani.
Ia mengajarkan ku bagaimana teguh di atas kekuatan sendiri, meski pun ia lemah. Meski pun aku di sini tak kekurangan cinta, namun aku sadar, tak selamanya cinta itu bersamaku untuk aku miliki. Ada saatnya, nanti, harus aku tinggalkan. Karenanya, aku pun selalu di tegur oleh Nya dengan peristiwa-peristiwa yang membuatku semakin yakin hanya cinta Nya lah tak akan mungkin aku tinggalkan, karena ia adalah cinta yang tulus dan tak mungkin terkotori oleh cemburu yang membabi buta.
Untuk urusan ini, aku bersyukur, kini aku tak secengeng dan melankolis seperti saat di awal. Logikaku begitu kuat mendominasi. Namun, bukan berarti aku perempuan yang tak mempunyai hati. Aku hanya tak mau terlalu lelah dengan hal-hal yang berhubungan dengan hati. Toh, semuanya sudah diatur. Indah atau menyakitkan, ya memang begitulah sunnahtullahnya.
Di dua puluh empat tahunku kini, aku semakin kuat memberontak. Ingin aku berlepas dari belenggu yang selama ini tak terasa begitu kuat menguasaiku. Ia membuatku tak mampu memiliki diri ku seutuhnya. Ingin aku teriakan, aku pun punya kehidupan yang harus aku jalani dan aku rancang. Tak mungkin selamanya aku di sini. Adakalanya, aku pun harus berfikir bagaimana satu, dua, atau tiga tahun ke depanku. Tak jarang, aku berfikir untuk mencari dunia baru, tempat baru yang akan menorehkan sejarah baru untukku. Salahkah aku dengan jalan berfikirku ini? Sebagian orang mengatakan ya. Aku terlalu egois, hanya berfikir kebahagiaan sendiri.
Maaf kawan, aku tak egois. Aku inginkan sebuah dunia baru, karena aku tak ingin selamanya menjadi sosok yang kalian fahami. Sudah saatnya kalian pun harus memahami maksudku, ambisiku dan masa depanku yang sedang aku persiapkan saat ini. Aku mengerti, akan ada hati-hati yang tak rela dengan keputusanku. Namun, sudah saatnya aku berfikir realistis dan juga idealis. Aku tak ingin kehidupanku “didikte” oleh skenario yang tak pernah kurancang. Aku ingin kehidupanku.
Lelah. Sungguh sangat melelahkan ketika logika dan hati tarik menarik. Logikaku ingin sekali berontak, namun hatiku mengatakan, “sabar …jagalah hati-hati itu.” Namun, bagaimana dengan ku, tak berhakah aku bahagia? Aku tak mengerti dengan hati-hati itu. Aku seperti ‘pengkhianat’ yang harus mengendap-endap ketika ingin beraksi. Dan aku pun lelah, ketika selalu ada ‘dakwaan’ yang mengarah padaku. Aku menjadi terdakwa yang tak pernah bosan dengan ‘dosa’ yang selalu ku buat. Selalu ada salah yang harus terpaksa ku akui.
Di dua puluh empat tahunku, aku semakin berambisi pada cita-citaku. Telah kupancangkan tekadku sekuat-kuatnya untuk aku raih semua mimpi-mimpiku. Aku tak ingin lagi menjumpai kegagalan yang bertubi-tubi. Di usiaku ini, aku yakin pada mimpi-mimpiku. Dan aku begitu yakin, esok akan menjadi kenyataan. Semoga.
- Syahidah Lamno -
Di sepuluh terakhir Ramadhan, ia pun menyisakan elegi yang ingin segera ku akhiri …
Bismillahirrahmanniraahiim
Di pertengahan malam ini, Ramadhan ke dua puluh satu, ia begitu mampu menggerakkan hati ini untuk berbicara tentang sebuah elegi. Ya, ia berkata betapa ia tak ingin berpisah dengan Ramadhan. Sembilan hari lagi, menjadi sebuah hitungan yang terasa cepat. Rasanya baru kemarin aku menikmati ni’matnya sejuknya air menyirami dahaga di waktu berbuka dan nikmatnya menahan kantuk di waktu sahur. Kini, ia pun perlahan tapi pasti, mendekati saat-saat perpisahannya.
Ramadhan ini, kali kedua bagiku untuk mengevaluasi diri tepat pada moment yang mampu menampar kesadaranku bahwa waktuku pun tak akan lama lagi. Dua hari yang lalu, genap sudah dua puluh empat tahun aku di sini, di dunia ini. Usia yang cukup matang untuk disebut sebagai orang dewasa. Ya, aku pun tak ingin orang-orang menempatkanku sebagai anak kecil ingusan yang baru mengenal dunia. Sudah saatnya mereka tahu, bahwa aku bukanlah Fitri si bungsu. Tapi akulah Fitri yang mandiri.
Ya, mereka semua harus tahu. Boleh saja mereka mengatakan aku manja, meski aku tak pernah merasakan bagaimana manja. Ya karena aku mau manja kepada siapa? Di sini aku seorang diri. Keluargaku pun tak pernah mengajarkanku manja. Mereka hanya mengenalkan padaku bagaimana menjadi pribadi yang tegar seperti prajurit-prajurit yang tak lelah bertempur.
Subhanallah, tak kuasa aku menahan haru ketika ku ingat semua perjalanan di dua puluh tiga tahun yang lalu. Setidaknya di fase aku mulai berfikir bagaimana kehidupan ini harus aku sikapi. Begitu banyak hal yang kini aku maknai hikmahnya. Ingat sekali aku di usia delapan belas tahun, persis setelah aku lepaskan seragam abu-abu-putih, aku tekadkan keluar rumah. Aku mengenal dunia baru yang bernama petualangan dan pengorbanan. Di sana aku belajar kemandirian dan kedewasaaan. Aku pun berjumpa dengan orang-orang yang bermental baja. Yang dari mereka aku belajar banyak hal.
Aku sadar, ada hati yang harus aku jaga. Ia adalah hati yang paling lembut. Yang tak pernah rela orang yang dicintainya terluka atau menderita. Hati yang selalu menguraikan do’a dalam setiap langkahnya. Ia adalah hati wanita termulia yang pernah aku kenal di dunia ini. Ibuku. Aku tahu ia menangis ketika melepas ku pergi. Namun ia tak ingin aku mengetahuinya. Ia tersenyum tegar ketika kulambaikan tangan perpisahan. Maafkan aku ibu, pernah membuatmu menangis. Namun terimakasihku atas keridho’anmu melepasku pergi berjuang.
Di usia itu, aku belajar bagaimana menghadapi kegagalan demi kegagalan. Pahit memang, namun tetap saja, ada manis yang bisa kucicipi. Dari sana, sekali lagi, aku dituntun untuk belajar tegar untuk menjaga hati agar tidak goyah. Sampai akhirnya aku benar-benar merasakan manis yang sama sekali tak ada pahitnya. Walaupun aku harus kembali (mungkin) mengurai air mata ibuku. Aku harus pergi dari rumah demi masa depanku.
Kini, tak terasa sudah hampir lima tahun aku di sini. Meninggalkan kehidupan sebelumnya yang jauh berbeda. Aku hidup dalam persaingan, dan aku harus menang. Di sini, aku belajar kemandirian. Ah, tak begitu sulit hidup mandiri. Toh dulu aku pernah merasakannnya, bahkan lebih keras perjuangannya. Lima tahun, benar-benar telah menjadikanku manusia baru. Ehm …sulit sekali memulai cerita lima tahun yang lalu. Tapi harus ! Harus aku ceritakan.
Awal yang indah, ternyata tak selamanya indah. Bahkan banyak sekali duri-duri yang menusuk kakiku ketika aku melewatinya. Tak jarang pula, air mata ini terpaksa aku teteskan agar aku merasa ringan dari beban yang memberatkanku. Berulang kali, hati ini dihadapkan pada peristiwa yang sama dan sungguh ….luar biasa tarbiyah itu. Ia memang menyakitkan, namun ia membuahkan ketegaran dan kekuatan yang begitu besar pada jiwa ini. Ia mengajarkan ku untuk tegar, di saat yang lain lemah. Tersenyum di tengah duka yang ada dan tertawa di saat air mata tak henti-hentinya menemani.
Ia mengajarkan ku bagaimana teguh di atas kekuatan sendiri, meski pun ia lemah. Meski pun aku di sini tak kekurangan cinta, namun aku sadar, tak selamanya cinta itu bersamaku untuk aku miliki. Ada saatnya, nanti, harus aku tinggalkan. Karenanya, aku pun selalu di tegur oleh Nya dengan peristiwa-peristiwa yang membuatku semakin yakin hanya cinta Nya lah tak akan mungkin aku tinggalkan, karena ia adalah cinta yang tulus dan tak mungkin terkotori oleh cemburu yang membabi buta.
Untuk urusan ini, aku bersyukur, kini aku tak secengeng dan melankolis seperti saat di awal. Logikaku begitu kuat mendominasi. Namun, bukan berarti aku perempuan yang tak mempunyai hati. Aku hanya tak mau terlalu lelah dengan hal-hal yang berhubungan dengan hati. Toh, semuanya sudah diatur. Indah atau menyakitkan, ya memang begitulah sunnahtullahnya.
Di dua puluh empat tahunku kini, aku semakin kuat memberontak. Ingin aku berlepas dari belenggu yang selama ini tak terasa begitu kuat menguasaiku. Ia membuatku tak mampu memiliki diri ku seutuhnya. Ingin aku teriakan, aku pun punya kehidupan yang harus aku jalani dan aku rancang. Tak mungkin selamanya aku di sini. Adakalanya, aku pun harus berfikir bagaimana satu, dua, atau tiga tahun ke depanku. Tak jarang, aku berfikir untuk mencari dunia baru, tempat baru yang akan menorehkan sejarah baru untukku. Salahkah aku dengan jalan berfikirku ini? Sebagian orang mengatakan ya. Aku terlalu egois, hanya berfikir kebahagiaan sendiri.
Maaf kawan, aku tak egois. Aku inginkan sebuah dunia baru, karena aku tak ingin selamanya menjadi sosok yang kalian fahami. Sudah saatnya kalian pun harus memahami maksudku, ambisiku dan masa depanku yang sedang aku persiapkan saat ini. Aku mengerti, akan ada hati-hati yang tak rela dengan keputusanku. Namun, sudah saatnya aku berfikir realistis dan juga idealis. Aku tak ingin kehidupanku “didikte” oleh skenario yang tak pernah kurancang. Aku ingin kehidupanku.
Lelah. Sungguh sangat melelahkan ketika logika dan hati tarik menarik. Logikaku ingin sekali berontak, namun hatiku mengatakan, “sabar …jagalah hati-hati itu.” Namun, bagaimana dengan ku, tak berhakah aku bahagia? Aku tak mengerti dengan hati-hati itu. Aku seperti ‘pengkhianat’ yang harus mengendap-endap ketika ingin beraksi. Dan aku pun lelah, ketika selalu ada ‘dakwaan’ yang mengarah padaku. Aku menjadi terdakwa yang tak pernah bosan dengan ‘dosa’ yang selalu ku buat. Selalu ada salah yang harus terpaksa ku akui.
Di dua puluh empat tahunku, aku semakin berambisi pada cita-citaku. Telah kupancangkan tekadku sekuat-kuatnya untuk aku raih semua mimpi-mimpiku. Aku tak ingin lagi menjumpai kegagalan yang bertubi-tubi. Di usiaku ini, aku yakin pada mimpi-mimpiku. Dan aku begitu yakin, esok akan menjadi kenyataan. Semoga.
- Syahidah Lamno -
Selasa, 17 Agustus 2010
Kamuflase Kemerdekaan
Begitu banyak cerita kepahlawanan yang sering kita dengar. Namun sebanyak apa kita menghargai hasil perjuangan mereka ? Jika kita sering mendengar cerita perjuangan para pahlawan kemerdekaan, seperti apa saat ini mereka dihargai ?
Di tengah semangat orang-orang mengibarkan bendera merah putih, di tengah meriahnya lagu kebangsaan dinyanyikan, lantas dimana semangat perjuangan mereka kini? Apakah terwariskan? Kemerdekaan yang kini kita nikmati sebagai warisan perjuangan mereka-mereka yang berkorban dengan sebaik-baik pengorbanan, ternyata tak lain hanya nilai simbolik yang hanya kita kenang dan kita hargai setiap satu tahun sekali, hanya sehari dan hanya beberapa jam.
Dan kemerdekaan itu sendiri, apakah ma’nanya benar-benar terejawantah dalam sistem kehidupan bangsa ini ? Jawaban itu, tergantung perspektif masing-masing. Secerdas apa akal menganalisis, maka disitulah kemerdekaan diartikan. Tentunya kita bukan-bukan orang-orang yang latah meneriakkan MERDEKA, tetapi perilaku yang terlihat sangat jauh dari arti merdeka. Tak jarang kita justru memproklamasikan bahwa kita adalah “budak” yang bangga melakonkan setiap perintah tuannya.
Kemerdekaan saat ini hanya dinikmati oleh orang-orang yang terbiasa berjalan di atas karpet merah. Sedangkan mereka yang berjalan tanpa alas kaki, tak jauh berbeda dengan orang-orang yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada yang memaksa mereka “kerja rodi”, bahkan mereka begitu agresive mencari sumber penghidupan mereka. Namun, mereka tak punya ruang lain untuk lepas dari jerat “kerja rodi” itu. Sehari saja mereka rehat, tak ada nasi dan lauk sederhana di atas piring.
Apa itu merdeka ? Dan milik siapa merdeka itu? Jika masih ada orang tua yang tega membakar diri dan kedua anaknya karena mereka tak merdeka dari urusan ekonomi? Atau anak-anak jalanan, orang tua renta di lampu merah, penjual di warung remang-remang, jual beli manusia, dan seabreg kebiadaban manusia lainnya masih menjadi warna hitam dominan yang mewarnai wajah bangsa ini? Apakah seperti ini arti kemerdekaan?
Bendera kita adalah merah putih. Merah, sebagai bukti keberanian pejuang kita mengenyahkan segala bentuk penjajahan, kini telah terkotori oleh perilaku pecundang dan penjilat orang-orang yang “terwariskan” menggerakkan roda negeri ini. Keberanian itupun menguap berganti keserakahan, penjarahan, anarkisme, tawuran, pembunuhan, perampokan, perkosaan dan perilaku sok berani lainnya yang semakin mengkarakter. Keberanian itu pun berubah menjadi sikap apatis ketika karakter bangsa ini ditukar bahkan dimatikan.
Keberanian untuk berkata TIDAK atas segala bentuk perbudakan, kini terbungkam rapat oleh dolar berlembar-lembar. Ya …sangat lucu, menjadi budak di negeri yang katanya telah merdeka selama 65 tahun. Miskin di negeri yang begitu melimpah sumber kekayaan alamnya. Kelaparan di tengah hamparan ladang padi berhektar-hektar.
Putih, bukti kesucian tekad untuk membebaskan bangsa dari perbudakan atas nama Tuhan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil, ah …orang-orang kecil tidak mengenal kata itu. Itu kata yang sangat mahal. Untuk mendapatkannya, tidak cukup dengan memajang wajah pucat, mata celong dan tubuh kurus kering. Jika belum ada yang namanya SKTM, orang-orang miskin yang sakit, hanya pasrah menunggu ajal. Jika raskin tidak diberikan, mana mungkin orang-orang yang berpenghasilan 10 rb-15rb per hari bisa makan bersama istri dan 5 orang anaknya? Negeri yang kaya dengan hasil padi, masih harus menyediakan beras “spesial” untuk rakyat miskin. IRONIS.
Beradab, adab yang mana harus diterapkan? Anak muda yang tidak punya adab kepada orang tua, pun orang tua yang tidak beradab kepada anak muda. Kebajikan yang sudah terbalik-balik. Kesucian tekad saat ini, sekali lagi telah menghilang. Mungkin karena usia yang sudah tua, 65 tahun, bangsa ini semakin pikun dengan “pelajaran-pelajaran” tempo dulu. Akalnya semakin melemah untuk mengingat bagaimana “pelajaran” itu harus difahami. Terlalu berat jika harus memikirkan bagaimana bangsa ini dipertahankan kedaulatannya. Itu kan urusan hidup masing-masing. Maka urus sendiri saja urusan dapur kalian masing-masing. Kaya atau miskin, kenyang atau lapar, rumah istana atau gubuk reot, itu selera masing-masing.
Merdeka, ia hanya kamuflase. Simbolis saja. Substansinya, bangsa ini masih menangis terjajah. Teriakan MERDEKA tempo dulu, terkumandangkan dari ujung Sumatra sampai pedamalan Irian. Dan saat ini, air mata dan keringat bangsa ini masih semangat menetes untuk merebut kembali kemerdekaan yang sudah 65 tahun lalu mensejarah. Agar ia tak kamuflase, agar ia bukanlah simbol belaka, tetapi rahmat untuk negeri ini, saat ini, esok dan selamanya.
MERDEKA Indonesiaku !!!!
- Syahidah Lamno -
Di tengah semangat orang-orang mengibarkan bendera merah putih, di tengah meriahnya lagu kebangsaan dinyanyikan, lantas dimana semangat perjuangan mereka kini? Apakah terwariskan? Kemerdekaan yang kini kita nikmati sebagai warisan perjuangan mereka-mereka yang berkorban dengan sebaik-baik pengorbanan, ternyata tak lain hanya nilai simbolik yang hanya kita kenang dan kita hargai setiap satu tahun sekali, hanya sehari dan hanya beberapa jam.
Dan kemerdekaan itu sendiri, apakah ma’nanya benar-benar terejawantah dalam sistem kehidupan bangsa ini ? Jawaban itu, tergantung perspektif masing-masing. Secerdas apa akal menganalisis, maka disitulah kemerdekaan diartikan. Tentunya kita bukan-bukan orang-orang yang latah meneriakkan MERDEKA, tetapi perilaku yang terlihat sangat jauh dari arti merdeka. Tak jarang kita justru memproklamasikan bahwa kita adalah “budak” yang bangga melakonkan setiap perintah tuannya.
Kemerdekaan saat ini hanya dinikmati oleh orang-orang yang terbiasa berjalan di atas karpet merah. Sedangkan mereka yang berjalan tanpa alas kaki, tak jauh berbeda dengan orang-orang yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada yang memaksa mereka “kerja rodi”, bahkan mereka begitu agresive mencari sumber penghidupan mereka. Namun, mereka tak punya ruang lain untuk lepas dari jerat “kerja rodi” itu. Sehari saja mereka rehat, tak ada nasi dan lauk sederhana di atas piring.
Apa itu merdeka ? Dan milik siapa merdeka itu? Jika masih ada orang tua yang tega membakar diri dan kedua anaknya karena mereka tak merdeka dari urusan ekonomi? Atau anak-anak jalanan, orang tua renta di lampu merah, penjual di warung remang-remang, jual beli manusia, dan seabreg kebiadaban manusia lainnya masih menjadi warna hitam dominan yang mewarnai wajah bangsa ini? Apakah seperti ini arti kemerdekaan?
Bendera kita adalah merah putih. Merah, sebagai bukti keberanian pejuang kita mengenyahkan segala bentuk penjajahan, kini telah terkotori oleh perilaku pecundang dan penjilat orang-orang yang “terwariskan” menggerakkan roda negeri ini. Keberanian itupun menguap berganti keserakahan, penjarahan, anarkisme, tawuran, pembunuhan, perampokan, perkosaan dan perilaku sok berani lainnya yang semakin mengkarakter. Keberanian itu pun berubah menjadi sikap apatis ketika karakter bangsa ini ditukar bahkan dimatikan.
Keberanian untuk berkata TIDAK atas segala bentuk perbudakan, kini terbungkam rapat oleh dolar berlembar-lembar. Ya …sangat lucu, menjadi budak di negeri yang katanya telah merdeka selama 65 tahun. Miskin di negeri yang begitu melimpah sumber kekayaan alamnya. Kelaparan di tengah hamparan ladang padi berhektar-hektar.
Putih, bukti kesucian tekad untuk membebaskan bangsa dari perbudakan atas nama Tuhan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil, ah …orang-orang kecil tidak mengenal kata itu. Itu kata yang sangat mahal. Untuk mendapatkannya, tidak cukup dengan memajang wajah pucat, mata celong dan tubuh kurus kering. Jika belum ada yang namanya SKTM, orang-orang miskin yang sakit, hanya pasrah menunggu ajal. Jika raskin tidak diberikan, mana mungkin orang-orang yang berpenghasilan 10 rb-15rb per hari bisa makan bersama istri dan 5 orang anaknya? Negeri yang kaya dengan hasil padi, masih harus menyediakan beras “spesial” untuk rakyat miskin. IRONIS.
Beradab, adab yang mana harus diterapkan? Anak muda yang tidak punya adab kepada orang tua, pun orang tua yang tidak beradab kepada anak muda. Kebajikan yang sudah terbalik-balik. Kesucian tekad saat ini, sekali lagi telah menghilang. Mungkin karena usia yang sudah tua, 65 tahun, bangsa ini semakin pikun dengan “pelajaran-pelajaran” tempo dulu. Akalnya semakin melemah untuk mengingat bagaimana “pelajaran” itu harus difahami. Terlalu berat jika harus memikirkan bagaimana bangsa ini dipertahankan kedaulatannya. Itu kan urusan hidup masing-masing. Maka urus sendiri saja urusan dapur kalian masing-masing. Kaya atau miskin, kenyang atau lapar, rumah istana atau gubuk reot, itu selera masing-masing.
Merdeka, ia hanya kamuflase. Simbolis saja. Substansinya, bangsa ini masih menangis terjajah. Teriakan MERDEKA tempo dulu, terkumandangkan dari ujung Sumatra sampai pedamalan Irian. Dan saat ini, air mata dan keringat bangsa ini masih semangat menetes untuk merebut kembali kemerdekaan yang sudah 65 tahun lalu mensejarah. Agar ia tak kamuflase, agar ia bukanlah simbol belaka, tetapi rahmat untuk negeri ini, saat ini, esok dan selamanya.
MERDEKA Indonesiaku !!!!
- Syahidah Lamno -
Minggu, 08 Agustus 2010
Akankah Lelah ini Terobati....?
Senja, 8 Agustus 2010
Di penghujung senja, terurailah air mata pengiring lelah, yang tiada bosan mendera….
Akankah lelah ini terobati … ?
Senja, senangnya aku bisa menjumpaimu saat ini. Meski sebentar lagi kau akan pergi, dan malam akan mengganti waktumu. Huuh, kawan, hari ini aku lelah sekali. Sangat lelah. Entah, aku tak tahu kenapa. Sesaat tadi, baru saja air mataku tumpah. Lega, meski masih masih ingin kutumpahkan lebih banyak lagi.
Kawan, jalan cerita hidup ini memang kadang tak bisa dimengerti. Dan karena ketidakmengertian itu, tak jarang menjenuhkan alam fikir dan menyesakkan lelah yang tak terperi. Jalannya cerita yang penuh dengan teka-teki, sungguh, ingin segera ku akhiri.
Kembali, nurani ku “tertampar.” Dan sungguh, tak sanggup aku menahan sakitnya. Peristiwa demi peristiwa yang mengisi, begitu ku rasa berat dan selalu kekuatanku hampir tumbang. Ya, hampir saja, aku kehilangan kekuatanku. Ia terguncang hebat oleh kuatnya hantaman peristiwa.
Oh … jiwaku. Ia tak akan mungkin bertahan sampai saat ini kalau bukan karena cinta Nya. Ya, cinta Nya, begitu dahsyat ia membuaiku. Membuatku kadang tersenyum di tengah dukaku. Membuatku tertawa di tengah derasnya air mataku menemani. Dan, kau tahu kawan, semua yang mengguncang jiwaku ketika ku pahami, ternyata tak lebih, bahwa setiap guncangan itu ternyata semakin mengokohkan akar kekuatanku. Sehingga, aku pun tak kan roboh ketika ia kembali menerjangku dengan kisah yang lebih getir untuk aku terima.
Ketika ku rasa aku memang kuat, sekali lagi tak bisa ku pungkiri, aku lelah…sangat lelah dengan alur cerita yang seperti ini. Bukan … bukan maksud ku untuk menggugat Nya. Namun salahkah aku jika ku adukan lelah ini ? Berdosakah jika aku kemudian bertanya, akankah lelah ini terobati ? Kapankah lelah ini akan segera ku semai dengan janji Nya, busyro kumul yauma jannaatin tajrii min tahtihal anhaar ? Atau, adakah busyro itu pun aku dapati di sini, di dunia ini? Di tempat aku menanam semua “benih” untuk aku panen kelak, setidaknya ia akan semakin mampu menguatkanku, meski fana. Aaah… tidakkah cukup kau pinta yang lebih tinggi dari itu wahai jiwa?
Kawan, benarlah ketika Dia pun selalu mengingatkan, “ Qul hasbiyallah ! “ Satu panggilan yang mencukupkan kita hanya kepada Nya. Tak bersandar pada selain Nya, karena itulah sebaik-baik kekuatan, itu yang ku fahami dari ma’na panggilan itu. Dan aku pun menguatkan kelemahan yang ku miliki, dengan mengeluh di hadapan Nya. Ooh…ringkihnya diri ini. Tak ku fikirkan bertandang ke “ruang” yang lain untuk menyampaikan desah keluhku.
Namun, taukah kawan, apa yang kemudian harus aku coba mengerti lagi? Entah, apakah mungkin karena kekuatan yang tak pernah aku sangka melingkupiku, atau karena aku yang terlalu egois dengan keakuanku? Entahlah….. Yang pasti, ada kecewa yang tergores di hati orang-orang yang pernah menyatakan cintanya padaku. Orang-orang yang rela menyebutnya sahabat untuk menemaniku. Mereka bilang,” Kau terlalu sombong dengan kekuatanmu. Tidak lebih baikkah, kau bagi ceritamu padaku?”
Maaf kawan ! Bukan aku tak menghargai kesetiakawananmu. Namun, aku telah sepenuhnya nyaman berbagi cerita hanya pada Nya. Karena tak ada hijab yang membatasi, entah itu waktu atau tempat . Kapanpun, dimanapun…aku tak jeda mengetuk ijin Nya untuk aku sampaikan desah keluhku, saat memang aku membutuhkan “ruang” yang lebih luas untuk menumpahkannya. Dan “ruang” itu adalah cinta Nya, yang terwujud oleh sifat Penyantun Nya yang semakin membuat hatiku bergetar.
Kawan, di senja ini telah ku bagi satu cerita lagi dengan mu. Ringan rasanya jiwa ini, terang kiranya fikiran ini, lapang rasanya hati ini…seolah telah kuenyahkan segala yang menyesakkan. Meski tak semua.
Akhirnya waktumu pun digulir oleh malam. Dan saatnya aku pun pamit. Terimakasih untuk senja yang indah ini. Moga esok, keindahan senja ini pun akan ku jumpai lagi. Amiiin. Amsaina wa amsal mulku lillah walhamdulillahi laa syariikalahu.
- Pemburu Syahid -
Di penghujung senja, terurailah air mata pengiring lelah, yang tiada bosan mendera….
Akankah lelah ini terobati … ?
Senja, senangnya aku bisa menjumpaimu saat ini. Meski sebentar lagi kau akan pergi, dan malam akan mengganti waktumu. Huuh, kawan, hari ini aku lelah sekali. Sangat lelah. Entah, aku tak tahu kenapa. Sesaat tadi, baru saja air mataku tumpah. Lega, meski masih masih ingin kutumpahkan lebih banyak lagi.
Kawan, jalan cerita hidup ini memang kadang tak bisa dimengerti. Dan karena ketidakmengertian itu, tak jarang menjenuhkan alam fikir dan menyesakkan lelah yang tak terperi. Jalannya cerita yang penuh dengan teka-teki, sungguh, ingin segera ku akhiri.
Kembali, nurani ku “tertampar.” Dan sungguh, tak sanggup aku menahan sakitnya. Peristiwa demi peristiwa yang mengisi, begitu ku rasa berat dan selalu kekuatanku hampir tumbang. Ya, hampir saja, aku kehilangan kekuatanku. Ia terguncang hebat oleh kuatnya hantaman peristiwa.
Oh … jiwaku. Ia tak akan mungkin bertahan sampai saat ini kalau bukan karena cinta Nya. Ya, cinta Nya, begitu dahsyat ia membuaiku. Membuatku kadang tersenyum di tengah dukaku. Membuatku tertawa di tengah derasnya air mataku menemani. Dan, kau tahu kawan, semua yang mengguncang jiwaku ketika ku pahami, ternyata tak lebih, bahwa setiap guncangan itu ternyata semakin mengokohkan akar kekuatanku. Sehingga, aku pun tak kan roboh ketika ia kembali menerjangku dengan kisah yang lebih getir untuk aku terima.
Ketika ku rasa aku memang kuat, sekali lagi tak bisa ku pungkiri, aku lelah…sangat lelah dengan alur cerita yang seperti ini. Bukan … bukan maksud ku untuk menggugat Nya. Namun salahkah aku jika ku adukan lelah ini ? Berdosakah jika aku kemudian bertanya, akankah lelah ini terobati ? Kapankah lelah ini akan segera ku semai dengan janji Nya, busyro kumul yauma jannaatin tajrii min tahtihal anhaar ? Atau, adakah busyro itu pun aku dapati di sini, di dunia ini? Di tempat aku menanam semua “benih” untuk aku panen kelak, setidaknya ia akan semakin mampu menguatkanku, meski fana. Aaah… tidakkah cukup kau pinta yang lebih tinggi dari itu wahai jiwa?
Kawan, benarlah ketika Dia pun selalu mengingatkan, “ Qul hasbiyallah ! “ Satu panggilan yang mencukupkan kita hanya kepada Nya. Tak bersandar pada selain Nya, karena itulah sebaik-baik kekuatan, itu yang ku fahami dari ma’na panggilan itu. Dan aku pun menguatkan kelemahan yang ku miliki, dengan mengeluh di hadapan Nya. Ooh…ringkihnya diri ini. Tak ku fikirkan bertandang ke “ruang” yang lain untuk menyampaikan desah keluhku.
Namun, taukah kawan, apa yang kemudian harus aku coba mengerti lagi? Entah, apakah mungkin karena kekuatan yang tak pernah aku sangka melingkupiku, atau karena aku yang terlalu egois dengan keakuanku? Entahlah….. Yang pasti, ada kecewa yang tergores di hati orang-orang yang pernah menyatakan cintanya padaku. Orang-orang yang rela menyebutnya sahabat untuk menemaniku. Mereka bilang,” Kau terlalu sombong dengan kekuatanmu. Tidak lebih baikkah, kau bagi ceritamu padaku?”
Maaf kawan ! Bukan aku tak menghargai kesetiakawananmu. Namun, aku telah sepenuhnya nyaman berbagi cerita hanya pada Nya. Karena tak ada hijab yang membatasi, entah itu waktu atau tempat . Kapanpun, dimanapun…aku tak jeda mengetuk ijin Nya untuk aku sampaikan desah keluhku, saat memang aku membutuhkan “ruang” yang lebih luas untuk menumpahkannya. Dan “ruang” itu adalah cinta Nya, yang terwujud oleh sifat Penyantun Nya yang semakin membuat hatiku bergetar.
Kawan, di senja ini telah ku bagi satu cerita lagi dengan mu. Ringan rasanya jiwa ini, terang kiranya fikiran ini, lapang rasanya hati ini…seolah telah kuenyahkan segala yang menyesakkan. Meski tak semua.
Akhirnya waktumu pun digulir oleh malam. Dan saatnya aku pun pamit. Terimakasih untuk senja yang indah ini. Moga esok, keindahan senja ini pun akan ku jumpai lagi. Amiiin. Amsaina wa amsal mulku lillah walhamdulillahi laa syariikalahu.
- Pemburu Syahid -
Ketika Perempuan Mengambil Peran
Ada sebuah statement yang menggelikan dalam sebuah diskusi sebuah kelompok pergerakan. Seorang laki-laki (menikah) berkata seperti ini“ Silahkan para akhwat itu mengambil peran, tetapi jangan istri saya,” LHO ???? What does it mean ?
Ya, saya yakin kita semua sudah bisa menebak jalan berfikir si bapak tadi. Tidak semua orang (terutama laki-laki) setuju ketika perempuan mengambil peran di luar peran domestiknya. Seorang perempuan (menikah, dengan tiga anak) menyampaikan, “Sebenarnya itu adalah permasalahan klasik yang kemudian mementahkan potensi akhwat.” Ehm, permasalahan klasik yang dilumrahkan.
Dilumrahkan, karena ketika perempuan mengambil peran lebih, maka hal itu seolah menjadi ancaman akan peran domestiknya. Para lelaki itu mengkhawatirkan mereka akan sulit membagi waktu atau kewalahan memanage urusan rumahnya. Satu hal yang menggelitik di sini, “kewalahan memanage urusan rumahnya.” Seakan ada sebuah doktrin bahwa tugas memanage rumah adalah absolutely tugas perempuan. Tugas rumah yang tidak ada masa cutinya, ternyata sebagian masyarakatpun sepakat itu adalah wilayah kerja perempuan.
Bahkan, bagi sekelompok orang yang menyatakan dirinya adalah kelompok pergerakan da’wah, menjadikan sebagian perempuan (akhwat) di dalamnya hanya sebatas “penggembira” saja. Tidak semua ikhwan, ternyata dalam aplikasi amalnya, memposisikan perempuan (istrinya) sebagai partner yang bisa di ajak berbagi, bertukar ide, dan saling menguatkan akan amanah umat yang menguras kerja otak. Cukup di rumah, itu kata sebagian mereka. Dan tak sedikit pula yang “mengancam” istrinya yang aktif di luar dengan statement yang membuat para istri itu “scakemat”, POLIGAMI. Jadilah poligami itu menjadi monster yang menyeramkan bagi para istri.
Seorang akhwat lajang dengan terheran-heran bertanya, “ Ko’ bisa seperti itu, bukankah mereka orang-orang yang tertarbiyah ? Harusnya mereka mengerti dengan peran da’wah istrinya dan mendukungnya. “ Sayang, tarbiyah saja ternyata tidak cukup. Karena tarbiyah tidak selalu berhasil mereduksi karakter negatif seseorang. Tak salah kemudian jika, kita perlu melihat latar belakang pendidikan seseorang di dalam keluarganya. Bagaimana orangtuanya memperlalukan anak laki-lakinya. Itulah yang akan membentuk karakternya, yang akan berefek bagaimana ia memperlakukan orang lain, serta anak dan istrinya. Apakah dia termasuk ke dalam orang-orang yang terbawa pada sebuah “doktrin” bahwa tugas kerumah tanggaan adalah tugas perempuan? Apakah jalan fikirnya mampu menggerakkan tangannya membersihkan panci dan piring-piring kotor di dapur? Atau tanggap ketika anak-anak rewel, dari tingkat merengek, nangis sampai di antara mereka ada yang gulet. Tak semua, dengan artian masih ada di antara mereka.
Untuk hal ikhwal tentang peran managerial dalam rumah tangga, pernah diadakan semacam kajian khusus, namun lagi-lagi under estimate statement itu kembali mencuat, “ Ngapain ngomongin masalah itu? Ga penting. Lagian itu kan wilayah kajian kaum istri.” IRONIS. Bukankah ketika dua orang berkomitmen untuk membentuk sebuah keluarga kecil, artinya ada sebuah kesepakatan kerjasama satu sama lain? Pernah suatu ketika mendengar cerita tentang “proses” orang-orang yang akan menikah. Ketika di adakan dialog diantara keduanya, dijelaskan tentang aktivitas calon istrinya, dan ditanyakan bagaimana jika setelah menikah nanti, istrinya tidak hanya berkutat pada peran domestik saja? Jawaban mayoritas adalah “itu bisa dikomunikasikan.” Namun banyak juga jawaban yang masih menggantung.
Dan kemudian ? Jawaban di awal tadi, banyak yang amat jauh dari harapan. Lalu apa artinya? Ternyata tidak ada kesiapan. Kesiapan mental, karena terlalu banyak terkaget-kaget. Tidak siap ketika istri berbagi waktu di luar. Dan sekali lagi, karena most of them do not comprehence or do not want to comprehence tentang hal ikhwal kerumah tanggaan, kemudian keluarlah dalih, “ Sudahlah di rumah saja. Biar saya yang di luar. “
Kesiapan di awal, yang dengan cepat tergilas seiring dengan berjalannya usia mereka dalam kebersamaan. Dan inilah yang kemudian masuk dalam daftar evaluasi, apa yang dimaksud dengan kesiapan itu? Dan sejauh mana kesiapan itu disiapkan? Jangan-jangan hanya semangat nikahnya aja yang gede, sehingga membutakan diri, bahwa sesungguhnya dirinya belum siap. Terutama kesiapan menghadapi segala sesuatu yang jauh dari harapan. Tentang hal-hal yang pahit yang mungkin akan cepat menghiasi di awal perjalanan.
Kawan, sahabat dan saudaraku semuanya, kita di sini, di komunitas yang menamakan diri sebagai komunitas pembaharu, kita fahami tentunya perlu kerja jama’i yang seimbang. Laki-laki dan perempuan, semuanya memiliki tuntutan yang sama. Keduanya adalah manager. Ketika da’wah ini dikembangkan, mayoritas pendukungnya adalah perempuan. Tidaklah bijak, jika kemudian peran potensial perempuan dalam memperbaiki umat ini terkikis, karena doktrin yang “mematikan.” Bagaimanapun perempuan tetap memiliki andil dalam melakukan perbaikan. Minimalnya, mereka bergerak untuk perbaikan perempuan. Karena permasalahan perempuan, hanya perempuan yang bisa menyelesaikan. Semakin meningkatnya grafik wanita rawan sosial ekonomi, yang kemudian berimbas pada perdagangan manusia, tidak cukup diselesaikan oleh tangan laki-laki.
Bagi perempuan lajang, mengambil sebanyak mungkin peran di masyarakat, mungkin adalah sebuah hal yang mudah dan tidak memberatkan siapapun. Namun bagi perempuan menikah, ini tentu perkara yang harus kembali dipertimbangkan. Kembali kepada komitmen, pemahaman dan juga yang paling penting adalah pengertian untuk saling bahu-membahu. Persiapan dan pematangan bukan hanya harus dilakukan oleh perempuan, tetapi juga laki-laki.Karena pada hakikatnya keduanya actor yang akan memainkan “drama” rumah tangganya. Wallahu’alam.
Minggu, 01 Agustus 2010
Berkorban Karena Cinta
oleh Syahidah Lamno
“ Katakan bahwa engkau mencintaiku,” ungkap seorang sahabat suatu hari. “Maaf, aku bukan tipe orang yang mudah mengucapkan cinta atau sayang, bagiku keduanya tak musti diungkapkan, yang penting adalah perbuatannya.”
Dua persepsi yang berbeda, dari dua orang yang memaknai cinta. Satu, dia berpendapat cinta adalah kata yang selayaknya diungkapkan sebagai pembuktian, sedangkan orang kedua, cinta tidak musti di ungkapkan, yang penting adalah perbuatan. Cinta baginya adalah kata kerja yang memang hanya bisa diterjemahkan dengan perbuatan. Tak perlu mengumbar kata-kata manis, cukup dengan perbuatan yang mewakilinya.
Memang, teladan kita, Rasulullah saw, pernah mengatakan kepada kita, kurang lebih seperti ini, “ Jika engkau mencintai saudaramu, maka sampaikanlah, itu akan mengukuhkan hubungan diantara kalian.” Satu anjuran yang indah, dan rasional. Ungkapan cinta, akan sangat berdampak positif pada psikologi seseorang. Memberikan asupan “energi” yang luar biasa. Membuat bibir manyun menjadi senyum, membuat hati yang mendung menjadi bersinar seperti mentari. Segalanya menjadi indah, itu intinya.
Namun, ternyata tidak semua orang mampu mengungkapkan kata itu. Hal ini pula yang kadang menjadi permasalahan di antara orang-orang yang saling mencintai. Seperti kisah di atas. Dan, alangkah bijaknya, bila setiap kita tidak terlalu banyak menuntut orang yang kita cintai untuk berbuat seperti keinginan kita. Perbanyaklah berbuat, itu pun akan lebih mampu mengukuhkan.
Apalah artinya kata jika tanpa pembuktian ?
Ketika kita bertekad untuk mencintai, bertekadlah untuk memberi. Memberikan pengorbanan. Pengorbanan waktu, tenaga, fikiran, harta dan apa saja yang kita miliki. Alaminya, semangat berkorban itu, bahkan lebih kuat mendorong untuk segera dilakukan, dari pada lisan yang mendorong untuk mengatakan. Perbuatan secara tidak langsung adalah terjemahan hati, tetapi kata, tidak selamanya adalah bukti isi hati.
Kekuatan cinta yang hadir di dalam sebuah hati, sejatinya membuat segumpal hati itu berbuat untuk hati yang di tautkan. Tak mustahil ketika hati kemudian mengalah untuk kebahagiaan hati tertaut atau menangis demi senyum hati yang tertaut. Ia kuat karena cinta yang ikhlas. Tak menuntut ketika cinta tak berbalas, atau mencaci ketika cinta dikhianati.
Teringat kesetiaan cinta Abu Bakar Ash Shiddiq kepada sahabat tercinta, Rasulullah saw. Nyawa menjadi taruhan dalam setiap peristiwa. Hati lembut Abu Bakar yang tersentak ketika kekasihnya itu mengisyaratkan perpisahan pasca haji wada’. Tangispun tak sanggup dibendung. Pecah seketika. Pun Rasulullah, yang tak ragu menyatakan cintanya kepada Abu Bakar di hadapan sahabat yang lain. Namun, tetap indah, tak ada dengki apalagi sikap cemburu yang membabi buta. Keikhlasan cinta yang tumbuh, tak mengeruhkan sikap. Justru menghadirkan perlombaan cinta yang begitu kompak di antara mereka.
Cintailah saudara kita dengan kecintaan yang ikhlas dan adil. Cinta yang tak hanya kita semai di dunia ini namun juga di hamparan hijaunya taman Firdaus. Semoga.
“ Katakan bahwa engkau mencintaiku,” ungkap seorang sahabat suatu hari. “Maaf, aku bukan tipe orang yang mudah mengucapkan cinta atau sayang, bagiku keduanya tak musti diungkapkan, yang penting adalah perbuatannya.”
Dua persepsi yang berbeda, dari dua orang yang memaknai cinta. Satu, dia berpendapat cinta adalah kata yang selayaknya diungkapkan sebagai pembuktian, sedangkan orang kedua, cinta tidak musti di ungkapkan, yang penting adalah perbuatan. Cinta baginya adalah kata kerja yang memang hanya bisa diterjemahkan dengan perbuatan. Tak perlu mengumbar kata-kata manis, cukup dengan perbuatan yang mewakilinya.
Memang, teladan kita, Rasulullah saw, pernah mengatakan kepada kita, kurang lebih seperti ini, “ Jika engkau mencintai saudaramu, maka sampaikanlah, itu akan mengukuhkan hubungan diantara kalian.” Satu anjuran yang indah, dan rasional. Ungkapan cinta, akan sangat berdampak positif pada psikologi seseorang. Memberikan asupan “energi” yang luar biasa. Membuat bibir manyun menjadi senyum, membuat hati yang mendung menjadi bersinar seperti mentari. Segalanya menjadi indah, itu intinya.
Namun, ternyata tidak semua orang mampu mengungkapkan kata itu. Hal ini pula yang kadang menjadi permasalahan di antara orang-orang yang saling mencintai. Seperti kisah di atas. Dan, alangkah bijaknya, bila setiap kita tidak terlalu banyak menuntut orang yang kita cintai untuk berbuat seperti keinginan kita. Perbanyaklah berbuat, itu pun akan lebih mampu mengukuhkan.
Apalah artinya kata jika tanpa pembuktian ?
Ketika kita bertekad untuk mencintai, bertekadlah untuk memberi. Memberikan pengorbanan. Pengorbanan waktu, tenaga, fikiran, harta dan apa saja yang kita miliki. Alaminya, semangat berkorban itu, bahkan lebih kuat mendorong untuk segera dilakukan, dari pada lisan yang mendorong untuk mengatakan. Perbuatan secara tidak langsung adalah terjemahan hati, tetapi kata, tidak selamanya adalah bukti isi hati.
Kekuatan cinta yang hadir di dalam sebuah hati, sejatinya membuat segumpal hati itu berbuat untuk hati yang di tautkan. Tak mustahil ketika hati kemudian mengalah untuk kebahagiaan hati tertaut atau menangis demi senyum hati yang tertaut. Ia kuat karena cinta yang ikhlas. Tak menuntut ketika cinta tak berbalas, atau mencaci ketika cinta dikhianati.
Teringat kesetiaan cinta Abu Bakar Ash Shiddiq kepada sahabat tercinta, Rasulullah saw. Nyawa menjadi taruhan dalam setiap peristiwa. Hati lembut Abu Bakar yang tersentak ketika kekasihnya itu mengisyaratkan perpisahan pasca haji wada’. Tangispun tak sanggup dibendung. Pecah seketika. Pun Rasulullah, yang tak ragu menyatakan cintanya kepada Abu Bakar di hadapan sahabat yang lain. Namun, tetap indah, tak ada dengki apalagi sikap cemburu yang membabi buta. Keikhlasan cinta yang tumbuh, tak mengeruhkan sikap. Justru menghadirkan perlombaan cinta yang begitu kompak di antara mereka.
Cintailah saudara kita dengan kecintaan yang ikhlas dan adil. Cinta yang tak hanya kita semai di dunia ini namun juga di hamparan hijaunya taman Firdaus. Semoga.
Jumat, 30 Juli 2010
Jangan Pandang Mereka Sebelah Mata
Mendung siang itu, hari ke enam bulan Juni. Saya, dan dua teman saya beranikan diri untuk bersilaturahim dengan para penghuni BPSW (maaf lupa kepanjangannya, yang pasti itu adalah panti rehabilitasi PSK) di daerah Cirebon Utara. Itu adalah kali kedua kami mengunjungi tempat itu. Namun karena mungkin rentang waktu yang cukup jauh, rasanya sangat segan kaki ini memasuki gerbang tempat itu.
Di pintu masuk, ada beberapa laki-laki berbadan kekar yang bertugas sebagai BANPOL. Uuuh…syereeeeem. Suasana aneh mulai menyeruak saat satu demi satu ruangan di tempat itu saya masuki. Tepat, setelah itu, tempat terbuka berupa lapangan kecil yang dikelilingi kamar-kamar yang telah dipenuhi sekitar 130 PSK terekrut. Entah kenapa, jantung ini tiba-tiba berdegup sangat kencang, nyali ini tiba-tiba menciut saat saya melihat beberapa di antara mereka yang sedang duduk-duduk di teras kamar mereka, dengan pakaian dan dandanan yang ….yaaa....gitu deh.
Alhamdulillah, akhirnya kami bisa menemui ‘umi’ yang mengelola tempat itu, namanya teh Ineu. Kebetulan beliau adalah kakak dari salah satu temanku yang ikut ke tempat itu. Kami pun ngobrol panjang lebar. Penghuni BPSW adalah seluruh PSK yang berhasil dijaring se-Jabar. Ada dari Bekasi, Karawang, Bandung, Tasik, Garut dan juga tentunya Cirebon. Namun untuk Cirebon hanya ada sekitar 30% dari 130 yang terekrut.
Mereka akan dibina di tempat itu selama kurang lebih 4 (empat) bulan, dengan pembekalan berupa latihan karya seperti masak, jahit dan …ah, maaf lupa satunya lagi. Setelah pembinaan selesai, mereka pun akan dibekali modal awal sesuai dengan karya yang mereka tekuni selama 4 bulan itu. Misalnya, jika mereka di bidang menjahit, mereka akan dibekali mesin jahit dan kain sebagai modal awal mereka berusaha.
Cukup menolong, tapi ternyata tidak cukup efektif merubah mereka. Tidak sedikit dari mereka yang kembali ke pekerjaan awal mereka, ‘jualan.’ Bukan permasalahan yang mudah untuk diselesaikan, apalagi dengan memandang bahwa dengan ‘mensejahterakan’ mereka, semua akan beres. Ini memang kekurangan yang tidak difikirkan oleh BPSW. Tidak ada pembaharuan ruhiyah di tempat itu. Ketika coba saya tanyakan, jawabannya sangat menggantung. Ya, apa boleh buat. Kepalanya saja tidak memikirkan tentang itu. Dan memang ketika saya mengamati orang-orang yang bertanggung mengelola tempat itu, ehm… sangat jauh dari teladan.
Kecuali teh Ineu dan suaminya. Keberadaan teh Ineu di situ, hanya menjadi imam shalat dan memberikan ceramah keagamaan seminggu sekali. Mana cukup? Namun setidaknya dengan kedekatan emosional yang bagus dengan mereka, bisa membuat mereka berkaca.
Bukan hal mudah mendekati dan membuka komunikasi dengan mereka. Butuh kekuatan mental dan kecakapan yang baik, yang bisa menggaet hati mereka. Membuat mereka berfikir panjang dan dalam tentang makna kehidupan. Banyak di antara mereka yang masih sangat muda, di bawah 15 tahun. Masa muda yang suram. Pun mereka yang berusia 40 tahun ke atas. Ehm…apa sebenarnya yang mereka fikirkan dan mereka cari di usia yang hampir senja itu.
Ada sedih, marah dan entah perasaan macam apa yang saya rasakan ketika mendengar cerita tentang mereka. Tentang latar belakang mereka menjadi tukang ‘jualan.’ Ada yang disuruh suaminya, orang tuanya, karena memang tidak ada pekerjaan lain, sampai ada yang hanya karena hobi. WHAT ???? hobi ???? Innalillahi …..
Satu hal yang menjadi pesan teh Ineu, jangan pandang mereka sebelah mata. Apa yang mereka lakukan memang sesuatu yang sangat hina dan dilaknat. Apalagi dengan ancaman penyakit yang belum ada penyembuhnya. Namun, mereka adalah wanita-wanita ‘special need.’ Siapa yang akan merubah mereka kalau bukan kita? Mengharapkan pemerintah tanggap? sangat mustahil.
Itu adalah kasus yang menjadi kewajiban kita sebagai muslimah. Dan selayaknya kita segera mengambil peran. Bukan dengan cercaan kita mengomentari mereka, namun dengan gagasan dan program solutive yang mampu mengeluarkan mereka dari jerat setan yang menguasai mereka.
Dan semoga kita tak pernah memikirkan mereka. Tak cukup memikirkan tentunya, namun juga berbuat untuk mereka. Ambillah peran itu, karena itu adalah kewajiban kita. MARI BEKERJA !!!
Jumat, 23 Juli 2010
Jangan Panggil Aku Arab bag.3
“ Maaf mi, di kampus lagi banyak kerjaan. Lagian saya sudah ngajar, masa bolos lagi.” Muthi menjelaskan pelan.
“Yo wis lah terserah kamu aja …tapi pesan umi tadi, kamu pikirkan matang-matang ya …Jangan terburu-buru ngambil keputusan.” Umi pun berlalu meninggalkan Muthi’
Di teras rumah, Muthi’ tertegun. Pikirannya tak karuan, batinnya berkecamuk hebat. Siapa yang bisa memahami perasaannya ? Tidak ada. Semua tentang dirinya, dia simpan sendiri. Ingin sekali dia berlari dan berteriak sekeras mungkin, agar dia bisa memuntahkan semua yang ada dalam dadanya. Tapi …semua tak akan berarti apa-apa.
****
Selepas shubuh, Muthi sudah siap dengan tas ranselnya.Dia berpamitan dengan uminya dan kakak-kakaknya. Tak ada yang istimewa di pagi itu. Harapan Muthi’ yang mau tidak mau harus dia akui adalah ingin sekali dia sesekali di manja oleh uminya. Tapi, tidak mungkin. Dan Muthi’ pun sadar, dari mana dan di mana dia dibesarkan. Sepanjang perjalanan, di bus ekonomi yang jauh lebih tenang dari pada ketika ia pulang, Muthi’ termenung menatap jalan yang dilewati. Air matanya kembali menetes. Dia tak bisa membohongi dirinya. Rasa iri pada teman-temannya yang senantiasa bercerita tentang kedekatan mereka dengan ayah dan ibu mereka. Hubungan yang lebih indah ketika digambarkan selayaknya hubungan antara teman yang saling menguatkan. Tidak kaku, lepas, penuh canda dan kehangatan yang luar biasa. Ingin sekali dia merasakan itu semua. Namun…. sangat tidak mungkin baginya. Hal itulah yang membuatnya merasa sendiri. Dia membutuhkan teman yang mampu membuat jiwanya terbang bebas, tertawa lepas dan menangis bahagia. Oh …tidak. Lebih tepatnya dia membutuhkan seseorang yang akan selalu menemani hari-harinya. Menguatkan langkahnya dan membawanya pada kebahagiaan yang kekal sampai ke syurga Nya. Tangisnya pun semakin menjadi, ketika ia kembali memikirkan masa depannya. Harapan-harapannya yang sekali lagi tak sejalan dengan keinginan uminya. Ia membatin …
“ yaa Allah …inikah jawaban kebingunganku selama ini…? Apakah harapanku selalu tak seindah takdir yang Kau buat untukku? Yaa Rabb… katakanlah apa yang harus aku lakukan?”…. air matanya semakin deras mengalir. Dia coba menenangkan diri, setelah ditegur oleh kondektur bus yang mengecek karcis penumpang.
Kini ia semakin memahami apa yang dirasakannya selama ini. Perasaan yang sebenarnya tidak boleh dimilikinya. Namun dia hanya manusia. Tidak mungkin dia mengingkari fitrahnya, toh selama ini tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setibanya di Surakarta, semangatnya kembali memuncak ketika melihat teman-temannya yang sedang bermain dengan adik-adik jalanan di rumah singgah. Sesaat, seolah air mata yang sedari tadi banjir, terseka oleh senyuman yang mendadak sumringah. Dan duka pun seolah menguap ke angkasa. Halah…lebay. Ya, seperti itulah yang dirasakan Muthi’.
“ Hore …mba Muthi’ pulang…!!!! Ozan berjingkrak melihat Muthi’ pulang.
“ Mba bawa oleh-oleh dari Semarang nda …? “ Ozan langsung menagih.
“ Waduh, maaf Zan, mba nda sempet. Soale tadi buru-buru habis shubuh mba langsung terbang …” Muthi’ merunduk di depan Ozan.
“ Ozan, mba Muthi’ nya kan baru datang, ko’ udah di todong. “ Mba Indi menghampiri Ozan dan Muthi’ yang bertatap seperti melepas rindu satu bulan tak berjumpa.
“Muth, kamu istirahat dulu sana, tuh ..mata kamu kelihatan sayu. Pasti masih ngantuk.”
“ Ya mba, saya emang pingin istirahat. Tadi di bus pusing banget.”
“ Ozan, mba Muthi’ istirahat dulu ya… entar sore kita cerita lagi. Oce …???? Muthi’ mengacungkan dua jempolnya.
“Ocelah kalo begitu ….” Ozan membalas dengan dua jempol mungilnya.
Di kamar atas, Muthi’ menarik nafas panjang. Setidaknya fikirannya tidak lagi disibukkan oleh masalah beberapa jam yang lalu. Sejenak, ia pun berfikir. Apa yang harus dia lakukan? Ini harus segera diselesaikan. Apa ia perlu ceritakan hal ini pada mba’nya? Tapi apakah solutif? Yang ada malah nanti disuruh memutuskan sendiri. Huuuh … what should I do ? Muthi’ pun terpejam.
Selepas dhuhur, di ruang tamu, terlihat Ozan dan teman-temannya ramai membaca iqro’. Sementara itu, Muthi’ pun hanyut dalam lantunan surat Al Ahzab. “ Anak-anak … ayo waktunya makan siang !!!” Makanan sudah siap, ayo …!!! siang itu giliran mba Fani menjadi korlap untuk makan siang. Muthi’ hanya tersenyum melihat anak-anak langsung menyerbu ruang makan.
“ Muth’ baca qur’an opo ngelamun ? Mba Fani menegur.” Ayo makan. dari tadi juga belum kedengeran suaranya.”
“eh .. mba Fani. Ya, nanti aja mba. Belum laper.”
“ Yah nunggu laper, makanan juga udah habis.”
“ Nda apa-apa mba …. Mba makan aja dulu. “
“ Ya udah …mba masuk dulu ya …”. Muthi’ hanya membalas senyum.
Pikiran Muthi’ kembali berputar-putar, ia harus melakukan sesuatu agar hatinya benar-benar tenang. Tangannya merogoh saku gamis hitamnya. Setelah dapat, ia segera pencet-pencet tombol hpnya. Sejenak ia mikir, mencoba merangkai kata-kata yang pas dan tepat sasaran. Dan, terkirimlah smsnya …
“ Ayo dong mba Hesti, balas. Ojo suwe-suwe ….”. Muthi’ gelisah.
Lalu …
“ Muthi’ besok ada agenda jam 13? Kalo nda ada, mba tunggu di rumah ya …kita bicarakan dengan hati dan fikiran yang tenang, gimana? “ akhirnya mba Hesti menjawab.
“ Insya Allah mba …” . Sms terkirim ….
Muthi’ sedikit lebih tenang setelah mendapat jawaban dari mba Hesti. Orang yang dituakan dan sudah dianggap seperti kakaknya sendiri, bahkan lebih dekat dari saudara kandung. Ia pun kembali larut dalam lantunan Al Ahzab. Surakarta saat itu pun terasa lebih adem ….
“ Muth, nda makan ?” Mba Indi tiba-tiba sudah berdiri di belakang Muthi’.
“ Eeh …mba, nda laper mba.”
“ Kamu lagi ada masalah ya …”
“ Nda ko, oh ya… persiapan OMB gimana? Akh Ridho’ udah kasih penjelasan?”
Mba Indi tersenyum, “ Kamu tuh memang pinter mengalihkan pembicaraan. Bagaimanapun mba nda bisa kamu bohongi Muth. Yah…besok jam 9 kita syuro di sekre. Kamu penanggungjawab buat program tutorial. Besok kalo bisa udah ada konsepnya. “
“ Insya Allah mba.” Muthi’ menanggapi dengan senyum semangatnya.
“ Muth, mba pingin ngobrol sesuatu sama kamu. Tapi kaya’nya enakan di luar aja ngobrolnya. “
“ Boleh.”
Di bawah pohon mangga, Muthi dan mba Indi duduk berdua di atas kursi kayu sederhana.
“ Gini Muth, mba ingin menyampaikan sesuatu yang cukup rahasia. “
“Rahasia ???? tentang apa?
“Tentang mba. Kenapa mba mau cerita rahasia mba ke Muthi’, karena mba rasa kita sudah seperti kakak-adik. Suka dan duka sering kita bagi bersama. Jadi tidak ada salahnya mba pun ingin berbagi dengan Muthi’ . Dan juga mba yakin, Muthi’ bisa jaga rahasia ini. “
“Insya Allah mba.”
“ Tapi Muthi’ jangan kaget denger cerita mba ya …”
“ emang apaan sich …” Muthi’ tidak sabar ingin denger cerita mba Indi
“ Ehm … tiga hari yang lalu …. mba “ditembak”.
“ WHATTTT !!!!”
“ tenang Muth ….Mba “ditembak” tapi tidak langsung. Mba Tri yang bilang ke mba, bahwa…ada ikhwan yang minta mba untuk menikah dengannya.”
“ Boleh Muthi’ tahu siapa ikhwannya ?”
“ Ya, Muthi kenal ko’ orangnya ….Faturrahman Ridho’.
Betapa shocknya Muthi’ mendengar nama itu disebut. Nama yang selama ini dia harapkan akan menjadi pengukuh namannya saat berita besar itu dikabarkan ke seantero kota. Dan kini …Yah ….dia memang pantas mendapatkan yang terbaik. Dan mba Indi adalah aktivis yang cukup loyal dan terbaik di mata teman-teman di LDK dan juga di kampus. Cocok.
“ Muth, kamu nda apa-apa kan ?”
“ nda, saya nda apa-apa. Ko’ bisa akh Ridho ?” ah …dia membatin, kenapa harus bertanya seperti itu.
“ Entahlah Muth …mba juga kaget. Jujur mba nda menyangka beliau bakal berani meminta mba. “
” Maksudnya ….? “
Mba Indi menatap Muthi’ lama dan penuh cemas ….
“ Muth …. jujur selama ini mba pun pernah mengharapkan beliau. Yah …mungkin mba terlalu GR dengan sikapnya yang mba rasa sedikit berbeda kepada mba.”
Muthi’ semakin shock dengan pernyataan mba Indi. Namun ia mencoba tenang.
“ Mba pernah sampaikan ini ke …”
“ Ya ..udah. Mba Tri meminta mba untuk menetralkan semuanya. Dan … ya, agak susah Muth. Sampai akhirnya beliau ternyata datang. Tapi Muthi’ percaya sama mba ya, mba dan beliau tak pernah terjadi apapun ….”
“ Ya ..Muthi’ percaya. Terus … kapan ?
“ Insya Allah pekan depan mba di khitbah. Dan rencana akadnya maksimal akhir bulan depan.”
“ Subhanallah, cepat sekali. Mudah-mudahan dimudahkan segalanya. Terus rencana ke depan, mba mau kemana ? “
“ Itu belum dibicarakan Muth, kemungkinan masih di sini, tapi afwan, nda di rumah singgah lagi.”
“ ya iyalah…masa pengantin baru tinggal di rumah singgah. Kasihan amat sich …”
“ Haaa …haaa..haaaa.,” keduanya tertawa lepas, memecah kesunyian yang sedari tadi menemani.
“ Alhamdulillah, udah ashar mba, hayu masuk. Mba jadi korlap ya … kan untuk yang terakhir sebelum pergi …”
“ Muthi’ … mba nda ingin pergi dari sini. Mba ingin selalu di sini, bersama Muthi’ dan anak-anak itu …”
“ Udah …jangan bikin saya nangis. Barokallah ya …” Muthi merangkul mba Indi dan menggandengnya masuk.
Seperti biasa anak-anak mulai heboh mempersiapkan diri untuk shalat. Mba Indi giliran jadi korlap, kelihatan kerepotan menghadapi anak-anak yang ramenya luar biasa. Terpaksa deh peluit dibunyikan. Dan …. shalat Ashar pun berjalan dengan tenang.
Selepas shalat Muthi’ langsung menuju kamarnya. “ Mba Muthi’ katanya mau cerita lagi….? Ozan mencegah.
“ Oh ya … ehm, ceritanya sama mba Indi dulu ya…Insya Allah, besok sore dech ..mba cerita yang seru-sere, oce …” .
“ Yah, ya udah deh. Ozan berbalik dengan kecewa. “ Muthi’ terlihat menyesal menunda ceritanya sore itu. Tapi apa boleh buat. Ia harus mengejar deadline konsep tutorial.
“ Maafkan mba ya de ….”. Muthi’ pun berbalik ke kamarnya.
Tiga halaman mushafnya selesai dibaca. Sejenak, dia memikirkan pembicaraannya dengan mba Indi tadi siang. Huuh …. “ Yaa Rabb, kenapa selalu ada kebuntuan di saat aku membutuhkan pemecahan…? Ia membatin. Ia termenung menatap awan yang indah berarak di langit sore, dan air matanya pun menetes.
” TIDAK !!!! aku tidak boleh seperti ini. Dia bukan segala-galanya, dan dia bukan yang terbaik untukku. Hanya Allah yang terbaik untukku dan aku yakin akan iradah Nya yang tak pernah salah. “ Muthi’ mengepalkan tangannya, menyemangati diri.
Segera ia buka notebooknya, menyusun program untuk tutorial. Besok harus dipresentasikan. Jari-jarinya yang kurus lincah memainkan tombol keyboard menterjemahkan semua isi kepalanya. Sesekali ia terdiam, setiap kata yang disampaikan mba Indi tadi siang, masih berputar-putar di kepalanya. Kembali ia mencoba mengembalikan konsentrasinya menyelesaikan program yang sedang disusunnya. Sore itu, rintik hujan mulai meramaikan genteng-genteng rumah. Bibirnya tersenyum simpul.
“ Ahhh …aku sangat senang mendengar suara rintik itu. Damai …. nulis dulu ah !“ Muthi’ bergumam dan ia mencoba menguraikan kata-kata demi kata yang saat itu menguasai ruang hatinya yang melankolis.
…….
Tahukah engkau bahwa aku begitu menyukai langit ?
Aku menyukai birunya yang semangat …
Aku menyukai putih awannya yang bijak bergerak
Aku menyukai hamparan luasnya yang lapang terbentang …
Tahukah engkau ….betapa aku mengagumi bulan?
Aku mengagumi kemantapan tahtanya yang menyanding benda-benda angkasa yang anggun bercahaya …
Aku mengagumi sabitnya yang redup menyusup
Aku mengagumi purnamanya yang hangat memikat
Tahukah engkau betapa aku mencintai hujan?
Aku mencintai suara merdunya yang mengguyur rumah-rumah dan perkampungan
Aku mencintai sejuk tubuhnya yang menyelimuti dunia
Aku mencintai ramah wajahnya yang menyentak keresahan
Tahukah engkau …betapa aku terpukau pada hutan ?
Aku terpukau hijaunya yang permai
Aku terpukau pada teduhnya yang senantiasa …
Aku terpukau pada penghuninya yang beraneka ….
“ Subhanallah, indah sekali suasana seperti ini. Yaa Rabb … jangan biarkan damai ini pergi. Jangan biarkan semuanya berlalu. Hanya pada Mu, tempatku berteduh dari semua kepalsuan dunia …” Amin.
Sore itu, Muthi’ kembali mengumpulkan semangatnya. Ia tidak mungkin terus terpuruk oleh kesedihan. Hujan menemani dengan riuhnya yang semangat bertasbih. Jari-jarinya semakin semangat memuntahkan isi otaknya dengan memainkan tombol-tombol keyboardnya. Hujanpun berhenti seiring dengan kembalinya sang surya ke peraduannya. Dan lirih adzan maghrib mulai bersautan. Muthi’ pun segera mengakhiri pekerjaannya.
“ Ayo anak-anak … siap-siap !!!! mba Urwah mulai mengomandoi shalat Maghrib.
“ Ayo Muthi’ giliran kamu jadi imam …”
“ Yuuukkk …”
Rapih …indah… khusyu’… Surakarta baru saja diguyur hujan. Keheningan yang menyergap di waktu maghrib itu menyeruak ke dalam jiwa-jiwa yang tenang dan menenangkan. Serak suara sang imam maghrib itu semakin menambah kesyahduan. Satu per satu isak tangis kekhusyu’an pun menghanyutkan jiwa-jiwa itu pada penghambaan yang tulus. Dan ….
“ Alhamdulillah…” mba Urwah berbalik ke arah anak-anak membimbing mereka berdo’a. Dan bersiap untuk makan malam.
“ Ayo anak-anak .... waktunya makan malam. nanti habis itu langsung siap-siap lagi buat baca Asma’ul husna dan shalat Isya’. Oke …!!!!
“ OOOOKEEEEE !!!!!” paduan suara yang sangat nyaring bunyinya.
“ Ayo Muth’ makan, perasaan nda lihat kamu ikut makan siang? Kenapa ? Diet ?”
“ Diet? mau jadi kaya’ apa kalo aku diet mba? ntar dikira tiang listrik berjalan. Hayu makan …”
Lucunya melihat anak-anak itu makan. Apalagi si ustadz kecil Ozan … Ah…anak itu memang jadi hiburan tersendiri di rumah singgah itu.
“ Mba Muthi’ ntar habis shalat Isya’ belajarin bahasa Inggris ya …”
“ yaa pak ustadz …PR yang waktu kemarin dah di kerjain belum ? “
“ Udah donk mba …kan Ozan anak yang rajin, betul ..betul…betul …? “
“ Huuuh …. “ Wahyu menimpali.
“ udah, yang rajin sama yang nda rajin, yang jujur sama yang bohong nanti juga ketahuan sendiri. Dan juga akan ditanggung sendiri akibatnya. jadi kalo kita pingin rajin, nda usah bandingin dengan teman-teman yang nda rajin, yang enak-enakan main. Allah sangat suka dengan anak-anak yang rajin menuntut ilmu. Mau nda disukai Allah? “
“ Mauuuuuu ….. !!!” kompak.
“ Mba Muthi ….mba Muthi …Luthfi besok naik ke Iqro’ enam lho …”
“ Oh yaaa… alhamdulillah. Yang makin yaa nak. “ Muthi’ mengelus kepala bocah kecil itu.
“ Yap ….ayo makan jangan sambil bersuara. Yang udah selesai siap-siap ke tempat shalat lagi.” mba Urwah memang korlap yang disiplin.
Mba Fani dan Muthi’ membereskan ruang makan, sementara itu anak-anak bersiap ke tempat shalat di komandoi mba Urwah dan mba Indi.
“ Yaa Allah ..yaa Rahman, yaa rakhiim yaa Malik …yaaa Kudus …yaa Salaam…yaa Mu’min…yaa Muhaimin ….” lantunan asma’ul husna mulai terdengar. Suara polos anak-anak itu cukup membuat merinding dan menyentak ke hati.
to be continued ...
“Yo wis lah terserah kamu aja …tapi pesan umi tadi, kamu pikirkan matang-matang ya …Jangan terburu-buru ngambil keputusan.” Umi pun berlalu meninggalkan Muthi’
Di teras rumah, Muthi’ tertegun. Pikirannya tak karuan, batinnya berkecamuk hebat. Siapa yang bisa memahami perasaannya ? Tidak ada. Semua tentang dirinya, dia simpan sendiri. Ingin sekali dia berlari dan berteriak sekeras mungkin, agar dia bisa memuntahkan semua yang ada dalam dadanya. Tapi …semua tak akan berarti apa-apa.
****
Selepas shubuh, Muthi sudah siap dengan tas ranselnya.Dia berpamitan dengan uminya dan kakak-kakaknya. Tak ada yang istimewa di pagi itu. Harapan Muthi’ yang mau tidak mau harus dia akui adalah ingin sekali dia sesekali di manja oleh uminya. Tapi, tidak mungkin. Dan Muthi’ pun sadar, dari mana dan di mana dia dibesarkan. Sepanjang perjalanan, di bus ekonomi yang jauh lebih tenang dari pada ketika ia pulang, Muthi’ termenung menatap jalan yang dilewati. Air matanya kembali menetes. Dia tak bisa membohongi dirinya. Rasa iri pada teman-temannya yang senantiasa bercerita tentang kedekatan mereka dengan ayah dan ibu mereka. Hubungan yang lebih indah ketika digambarkan selayaknya hubungan antara teman yang saling menguatkan. Tidak kaku, lepas, penuh canda dan kehangatan yang luar biasa. Ingin sekali dia merasakan itu semua. Namun…. sangat tidak mungkin baginya. Hal itulah yang membuatnya merasa sendiri. Dia membutuhkan teman yang mampu membuat jiwanya terbang bebas, tertawa lepas dan menangis bahagia. Oh …tidak. Lebih tepatnya dia membutuhkan seseorang yang akan selalu menemani hari-harinya. Menguatkan langkahnya dan membawanya pada kebahagiaan yang kekal sampai ke syurga Nya. Tangisnya pun semakin menjadi, ketika ia kembali memikirkan masa depannya. Harapan-harapannya yang sekali lagi tak sejalan dengan keinginan uminya. Ia membatin …
“ yaa Allah …inikah jawaban kebingunganku selama ini…? Apakah harapanku selalu tak seindah takdir yang Kau buat untukku? Yaa Rabb… katakanlah apa yang harus aku lakukan?”…. air matanya semakin deras mengalir. Dia coba menenangkan diri, setelah ditegur oleh kondektur bus yang mengecek karcis penumpang.
Kini ia semakin memahami apa yang dirasakannya selama ini. Perasaan yang sebenarnya tidak boleh dimilikinya. Namun dia hanya manusia. Tidak mungkin dia mengingkari fitrahnya, toh selama ini tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setibanya di Surakarta, semangatnya kembali memuncak ketika melihat teman-temannya yang sedang bermain dengan adik-adik jalanan di rumah singgah. Sesaat, seolah air mata yang sedari tadi banjir, terseka oleh senyuman yang mendadak sumringah. Dan duka pun seolah menguap ke angkasa. Halah…lebay. Ya, seperti itulah yang dirasakan Muthi’.
“ Hore …mba Muthi’ pulang…!!!! Ozan berjingkrak melihat Muthi’ pulang.
“ Mba bawa oleh-oleh dari Semarang nda …? “ Ozan langsung menagih.
“ Waduh, maaf Zan, mba nda sempet. Soale tadi buru-buru habis shubuh mba langsung terbang …” Muthi’ merunduk di depan Ozan.
“ Ozan, mba Muthi’ nya kan baru datang, ko’ udah di todong. “ Mba Indi menghampiri Ozan dan Muthi’ yang bertatap seperti melepas rindu satu bulan tak berjumpa.
“Muth, kamu istirahat dulu sana, tuh ..mata kamu kelihatan sayu. Pasti masih ngantuk.”
“ Ya mba, saya emang pingin istirahat. Tadi di bus pusing banget.”
“ Ozan, mba Muthi’ istirahat dulu ya… entar sore kita cerita lagi. Oce …???? Muthi’ mengacungkan dua jempolnya.
“Ocelah kalo begitu ….” Ozan membalas dengan dua jempol mungilnya.
Di kamar atas, Muthi’ menarik nafas panjang. Setidaknya fikirannya tidak lagi disibukkan oleh masalah beberapa jam yang lalu. Sejenak, ia pun berfikir. Apa yang harus dia lakukan? Ini harus segera diselesaikan. Apa ia perlu ceritakan hal ini pada mba’nya? Tapi apakah solutif? Yang ada malah nanti disuruh memutuskan sendiri. Huuuh … what should I do ? Muthi’ pun terpejam.
Selepas dhuhur, di ruang tamu, terlihat Ozan dan teman-temannya ramai membaca iqro’. Sementara itu, Muthi’ pun hanyut dalam lantunan surat Al Ahzab. “ Anak-anak … ayo waktunya makan siang !!!” Makanan sudah siap, ayo …!!! siang itu giliran mba Fani menjadi korlap untuk makan siang. Muthi’ hanya tersenyum melihat anak-anak langsung menyerbu ruang makan.
“ Muth’ baca qur’an opo ngelamun ? Mba Fani menegur.” Ayo makan. dari tadi juga belum kedengeran suaranya.”
“eh .. mba Fani. Ya, nanti aja mba. Belum laper.”
“ Yah nunggu laper, makanan juga udah habis.”
“ Nda apa-apa mba …. Mba makan aja dulu. “
“ Ya udah …mba masuk dulu ya …”. Muthi’ hanya membalas senyum.
Pikiran Muthi’ kembali berputar-putar, ia harus melakukan sesuatu agar hatinya benar-benar tenang. Tangannya merogoh saku gamis hitamnya. Setelah dapat, ia segera pencet-pencet tombol hpnya. Sejenak ia mikir, mencoba merangkai kata-kata yang pas dan tepat sasaran. Dan, terkirimlah smsnya …
“ Ayo dong mba Hesti, balas. Ojo suwe-suwe ….”. Muthi’ gelisah.
Lalu …
“ Muthi’ besok ada agenda jam 13? Kalo nda ada, mba tunggu di rumah ya …kita bicarakan dengan hati dan fikiran yang tenang, gimana? “ akhirnya mba Hesti menjawab.
“ Insya Allah mba …” . Sms terkirim ….
Muthi’ sedikit lebih tenang setelah mendapat jawaban dari mba Hesti. Orang yang dituakan dan sudah dianggap seperti kakaknya sendiri, bahkan lebih dekat dari saudara kandung. Ia pun kembali larut dalam lantunan Al Ahzab. Surakarta saat itu pun terasa lebih adem ….
“ Muth, nda makan ?” Mba Indi tiba-tiba sudah berdiri di belakang Muthi’.
“ Eeh …mba, nda laper mba.”
“ Kamu lagi ada masalah ya …”
“ Nda ko, oh ya… persiapan OMB gimana? Akh Ridho’ udah kasih penjelasan?”
Mba Indi tersenyum, “ Kamu tuh memang pinter mengalihkan pembicaraan. Bagaimanapun mba nda bisa kamu bohongi Muth. Yah…besok jam 9 kita syuro di sekre. Kamu penanggungjawab buat program tutorial. Besok kalo bisa udah ada konsepnya. “
“ Insya Allah mba.” Muthi’ menanggapi dengan senyum semangatnya.
“ Muth, mba pingin ngobrol sesuatu sama kamu. Tapi kaya’nya enakan di luar aja ngobrolnya. “
“ Boleh.”
Di bawah pohon mangga, Muthi dan mba Indi duduk berdua di atas kursi kayu sederhana.
“ Gini Muth, mba ingin menyampaikan sesuatu yang cukup rahasia. “
“Rahasia ???? tentang apa?
“Tentang mba. Kenapa mba mau cerita rahasia mba ke Muthi’, karena mba rasa kita sudah seperti kakak-adik. Suka dan duka sering kita bagi bersama. Jadi tidak ada salahnya mba pun ingin berbagi dengan Muthi’ . Dan juga mba yakin, Muthi’ bisa jaga rahasia ini. “
“Insya Allah mba.”
“ Tapi Muthi’ jangan kaget denger cerita mba ya …”
“ emang apaan sich …” Muthi’ tidak sabar ingin denger cerita mba Indi
“ Ehm … tiga hari yang lalu …. mba “ditembak”.
“ WHATTTT !!!!”
“ tenang Muth ….Mba “ditembak” tapi tidak langsung. Mba Tri yang bilang ke mba, bahwa…ada ikhwan yang minta mba untuk menikah dengannya.”
“ Boleh Muthi’ tahu siapa ikhwannya ?”
“ Ya, Muthi kenal ko’ orangnya ….Faturrahman Ridho’.
Betapa shocknya Muthi’ mendengar nama itu disebut. Nama yang selama ini dia harapkan akan menjadi pengukuh namannya saat berita besar itu dikabarkan ke seantero kota. Dan kini …Yah ….dia memang pantas mendapatkan yang terbaik. Dan mba Indi adalah aktivis yang cukup loyal dan terbaik di mata teman-teman di LDK dan juga di kampus. Cocok.
“ Muth, kamu nda apa-apa kan ?”
“ nda, saya nda apa-apa. Ko’ bisa akh Ridho ?” ah …dia membatin, kenapa harus bertanya seperti itu.
“ Entahlah Muth …mba juga kaget. Jujur mba nda menyangka beliau bakal berani meminta mba. “
” Maksudnya ….? “
Mba Indi menatap Muthi’ lama dan penuh cemas ….
“ Muth …. jujur selama ini mba pun pernah mengharapkan beliau. Yah …mungkin mba terlalu GR dengan sikapnya yang mba rasa sedikit berbeda kepada mba.”
Muthi’ semakin shock dengan pernyataan mba Indi. Namun ia mencoba tenang.
“ Mba pernah sampaikan ini ke …”
“ Ya ..udah. Mba Tri meminta mba untuk menetralkan semuanya. Dan … ya, agak susah Muth. Sampai akhirnya beliau ternyata datang. Tapi Muthi’ percaya sama mba ya, mba dan beliau tak pernah terjadi apapun ….”
“ Ya ..Muthi’ percaya. Terus … kapan ?
“ Insya Allah pekan depan mba di khitbah. Dan rencana akadnya maksimal akhir bulan depan.”
“ Subhanallah, cepat sekali. Mudah-mudahan dimudahkan segalanya. Terus rencana ke depan, mba mau kemana ? “
“ Itu belum dibicarakan Muth, kemungkinan masih di sini, tapi afwan, nda di rumah singgah lagi.”
“ ya iyalah…masa pengantin baru tinggal di rumah singgah. Kasihan amat sich …”
“ Haaa …haaa..haaaa.,” keduanya tertawa lepas, memecah kesunyian yang sedari tadi menemani.
“ Alhamdulillah, udah ashar mba, hayu masuk. Mba jadi korlap ya … kan untuk yang terakhir sebelum pergi …”
“ Muthi’ … mba nda ingin pergi dari sini. Mba ingin selalu di sini, bersama Muthi’ dan anak-anak itu …”
“ Udah …jangan bikin saya nangis. Barokallah ya …” Muthi merangkul mba Indi dan menggandengnya masuk.
Seperti biasa anak-anak mulai heboh mempersiapkan diri untuk shalat. Mba Indi giliran jadi korlap, kelihatan kerepotan menghadapi anak-anak yang ramenya luar biasa. Terpaksa deh peluit dibunyikan. Dan …. shalat Ashar pun berjalan dengan tenang.
Selepas shalat Muthi’ langsung menuju kamarnya. “ Mba Muthi’ katanya mau cerita lagi….? Ozan mencegah.
“ Oh ya … ehm, ceritanya sama mba Indi dulu ya…Insya Allah, besok sore dech ..mba cerita yang seru-sere, oce …” .
“ Yah, ya udah deh. Ozan berbalik dengan kecewa. “ Muthi’ terlihat menyesal menunda ceritanya sore itu. Tapi apa boleh buat. Ia harus mengejar deadline konsep tutorial.
“ Maafkan mba ya de ….”. Muthi’ pun berbalik ke kamarnya.
Tiga halaman mushafnya selesai dibaca. Sejenak, dia memikirkan pembicaraannya dengan mba Indi tadi siang. Huuh …. “ Yaa Rabb, kenapa selalu ada kebuntuan di saat aku membutuhkan pemecahan…? Ia membatin. Ia termenung menatap awan yang indah berarak di langit sore, dan air matanya pun menetes.
” TIDAK !!!! aku tidak boleh seperti ini. Dia bukan segala-galanya, dan dia bukan yang terbaik untukku. Hanya Allah yang terbaik untukku dan aku yakin akan iradah Nya yang tak pernah salah. “ Muthi’ mengepalkan tangannya, menyemangati diri.
Segera ia buka notebooknya, menyusun program untuk tutorial. Besok harus dipresentasikan. Jari-jarinya yang kurus lincah memainkan tombol keyboard menterjemahkan semua isi kepalanya. Sesekali ia terdiam, setiap kata yang disampaikan mba Indi tadi siang, masih berputar-putar di kepalanya. Kembali ia mencoba mengembalikan konsentrasinya menyelesaikan program yang sedang disusunnya. Sore itu, rintik hujan mulai meramaikan genteng-genteng rumah. Bibirnya tersenyum simpul.
“ Ahhh …aku sangat senang mendengar suara rintik itu. Damai …. nulis dulu ah !“ Muthi’ bergumam dan ia mencoba menguraikan kata-kata demi kata yang saat itu menguasai ruang hatinya yang melankolis.
…….
Tahukah engkau bahwa aku begitu menyukai langit ?
Aku menyukai birunya yang semangat …
Aku menyukai putih awannya yang bijak bergerak
Aku menyukai hamparan luasnya yang lapang terbentang …
Tahukah engkau ….betapa aku mengagumi bulan?
Aku mengagumi kemantapan tahtanya yang menyanding benda-benda angkasa yang anggun bercahaya …
Aku mengagumi sabitnya yang redup menyusup
Aku mengagumi purnamanya yang hangat memikat
Tahukah engkau betapa aku mencintai hujan?
Aku mencintai suara merdunya yang mengguyur rumah-rumah dan perkampungan
Aku mencintai sejuk tubuhnya yang menyelimuti dunia
Aku mencintai ramah wajahnya yang menyentak keresahan
Tahukah engkau …betapa aku terpukau pada hutan ?
Aku terpukau hijaunya yang permai
Aku terpukau pada teduhnya yang senantiasa …
Aku terpukau pada penghuninya yang beraneka ….
“ Subhanallah, indah sekali suasana seperti ini. Yaa Rabb … jangan biarkan damai ini pergi. Jangan biarkan semuanya berlalu. Hanya pada Mu, tempatku berteduh dari semua kepalsuan dunia …” Amin.
Sore itu, Muthi’ kembali mengumpulkan semangatnya. Ia tidak mungkin terus terpuruk oleh kesedihan. Hujan menemani dengan riuhnya yang semangat bertasbih. Jari-jarinya semakin semangat memuntahkan isi otaknya dengan memainkan tombol-tombol keyboardnya. Hujanpun berhenti seiring dengan kembalinya sang surya ke peraduannya. Dan lirih adzan maghrib mulai bersautan. Muthi’ pun segera mengakhiri pekerjaannya.
“ Ayo anak-anak … siap-siap !!!! mba Urwah mulai mengomandoi shalat Maghrib.
“ Ayo Muthi’ giliran kamu jadi imam …”
“ Yuuukkk …”
Rapih …indah… khusyu’… Surakarta baru saja diguyur hujan. Keheningan yang menyergap di waktu maghrib itu menyeruak ke dalam jiwa-jiwa yang tenang dan menenangkan. Serak suara sang imam maghrib itu semakin menambah kesyahduan. Satu per satu isak tangis kekhusyu’an pun menghanyutkan jiwa-jiwa itu pada penghambaan yang tulus. Dan ….
“ Alhamdulillah…” mba Urwah berbalik ke arah anak-anak membimbing mereka berdo’a. Dan bersiap untuk makan malam.
“ Ayo anak-anak .... waktunya makan malam. nanti habis itu langsung siap-siap lagi buat baca Asma’ul husna dan shalat Isya’. Oke …!!!!
“ OOOOKEEEEE !!!!!” paduan suara yang sangat nyaring bunyinya.
“ Ayo Muth’ makan, perasaan nda lihat kamu ikut makan siang? Kenapa ? Diet ?”
“ Diet? mau jadi kaya’ apa kalo aku diet mba? ntar dikira tiang listrik berjalan. Hayu makan …”
Lucunya melihat anak-anak itu makan. Apalagi si ustadz kecil Ozan … Ah…anak itu memang jadi hiburan tersendiri di rumah singgah itu.
“ Mba Muthi’ ntar habis shalat Isya’ belajarin bahasa Inggris ya …”
“ yaa pak ustadz …PR yang waktu kemarin dah di kerjain belum ? “
“ Udah donk mba …kan Ozan anak yang rajin, betul ..betul…betul …? “
“ Huuuh …. “ Wahyu menimpali.
“ udah, yang rajin sama yang nda rajin, yang jujur sama yang bohong nanti juga ketahuan sendiri. Dan juga akan ditanggung sendiri akibatnya. jadi kalo kita pingin rajin, nda usah bandingin dengan teman-teman yang nda rajin, yang enak-enakan main. Allah sangat suka dengan anak-anak yang rajin menuntut ilmu. Mau nda disukai Allah? “
“ Mauuuuuu ….. !!!” kompak.
“ Mba Muthi ….mba Muthi …Luthfi besok naik ke Iqro’ enam lho …”
“ Oh yaaa… alhamdulillah. Yang makin yaa nak. “ Muthi’ mengelus kepala bocah kecil itu.
“ Yap ….ayo makan jangan sambil bersuara. Yang udah selesai siap-siap ke tempat shalat lagi.” mba Urwah memang korlap yang disiplin.
Mba Fani dan Muthi’ membereskan ruang makan, sementara itu anak-anak bersiap ke tempat shalat di komandoi mba Urwah dan mba Indi.
“ Yaa Allah ..yaa Rahman, yaa rakhiim yaa Malik …yaaa Kudus …yaa Salaam…yaa Mu’min…yaa Muhaimin ….” lantunan asma’ul husna mulai terdengar. Suara polos anak-anak itu cukup membuat merinding dan menyentak ke hati.
to be continued ...
Dulu dan Sekarang
DULU DAN SEKARANG
“Kontemplasi Gerakan”
“Sejarah adalah catatan statistik tentang denyut hari, gerak tangan, langkah kaki dan ketajaman akal.” ( Malik bin Nabi )
Dua belas tahun reformasi. Dua belas tahun yang lalu, bangsa ini telah memuntahkan darah segar pemudanya. Ibu pertiwi seperti menepati janjinya. Janji untuk melahirkan anak-anak yang setia pada cita-cita luhurnya, anak-anak yang membawa keberanian di tengah ketakutan, mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan, anak-anak yang memberikan darah dengan tulus sebagai mahar untuk kebebasan dan keadilan, anak-anak yang meninggalkan masa mudanya dengan panuh cinta untuk hidup dalam debu dan deru jalanan, bahkan menyerahkan hidupnya untuk bangsa ini bisa hidup dengan cara yang lebih baik. (Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara).
Semangat itu, rasanya ingin sekali hadir di tengah zaman saat ini. Tidak bermaksud untuk beromantisme sejarah, namun sadarkah diri kita dengan degradasi semangat pemuda Islam ? Zaman besar telah dilahirkan abad, tetapi zaman besar itu hanya menemukan manusia kerdil (Friedrich von Schiller). Kita pun ingat dengan sejarah tarbiyah, bagaimana ia diperjuangkan. Sungguh luar biasa. Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar cerita para generasi pertama pejuang tarbiyah di negeri ini. Jarak yang harus mereka tempuh untuk menikmati tarbiyah, bukan lagi antar desa, namun antar kota. Belum lagi intimidasi dari rezim diktator. Tarbiyah yang dilakukan dengan sembuyi-sembunyi, kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, itulah yang membuat meraka memiliki jiwa-jiwa yang tak mudah menyerah, tsabat, tak mudah menyerah, kekuatan militansi yang tinggi sehingga, sampai kepada kita saat ini sebagai generasi penerus.
Memang iman tak dapat diwariskan. Pun dengan militansi. Kondisi dulu dan sekarang yang sangat jauh berbeda, ternyata pun sangat mempengaruhinya. Ketika da’wah memasuki tataran siyasi, tarbiyah yang seharusnya menjadi penguat, seolah ia kini hanya menjadi rutinitas pekanan yang tiada ruh di dalamnya. Dan hasilnya, banyak dihasilkan kader-kader prematur yang pasif dan nyaris selalu memerlukan instruksi untuk menjalankan sebuah amal. Fitnah yang Allah hadirkan di tengah-tengah da’wah ini berupa kemudahan, kuantitas yang semakin bertambah, ternyata tidak kita sadari telah melemahkan salah satu sendi kekuatan da’wah ini. Nashr minallah, idealnya menjadi peluang da’wah yang lebih masif. Namun, tidak semua petarung da’wah ini memahaminya.
Tarbiyah, sebagai tuntutan dalam mempertahankan eksistensi, merupakan sisi yang paling fundamental dalam da’wah. Ketika da’wah mengalami kemunduran karena semangat para petarungnya yang melemah, maka indikasi pertama adalah karena melemahnya tarbiyah di dalamnya. Teringat kisah perjuangan tentara Muslim melawan tentara Romawi. Dengan kondisi persenjataan yang sangat minim dan sedehana, serta kuantitas yang tidak sebanding, seorang di antara tentara Muslim, berkata kepada Umar bin Khattab. Wahai Umar, “ Bagaimana kita akan memenangkan pertarungan ini? sedangkan persenjataan kita sangat sederhana dan jumlah teramat sedikit?” Maka Umar pun menjawab, “ Sesungguhnya yang aku takutkan dari pertarungan ini, bukan karena kekalahan yang disebabkan oleh kekurangan senjata dan tentara yang sedikit, namun aku takut jika kekalahan kita adalah karena ma’shiat yang dilakukan oleh kita. “
Satu kunci, bahwa kuantitas yang banyak dan penguasaan teknologi, bukanlah sebuah sisi yang paling penting dari da’wah ini (meski hal itu pun diperlukan dalam era d’wah kontemporer). Namun yang paling penting adalah kualitas para petarungnya. Sebagaimana Allah mengingatkan kita dalam surat Ali Imron ayat 146 – 148 :
“ Dan berapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikutnya yang bertaqwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.”
“ Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah do’a : ‘Ya Rabbana, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yan berlebihan dalam urusan ini dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir’.”
“Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala di akhirat. Dan Allah mencintai orang –orang yang berbuat kebaikan. “
Nau’iyyah jayyidah dan kammiyah kaafiyah (kualitas yang bagus dan kuantitas yang cukup), dua hal yang perlu diperhatikan. Terkadang kita terjebak dalam cara berfikir yang lebih mengedepankan kuantitas tanpa mempertimbangkan kualitas. Kuantitas yang cukup, bukan berarti jumlah besar, namun jumlah yang cukup untuk mampu menggerakkan da’wah. Apa artinya jumlah yang banyak tanpa kualitas yang bagus, maka tak jauh beda dengan buih di lautan yang tak berarti apa-apa. Sebagaimana Allah sampaikan juga dalam surat At Taubah ayat 25 : “ Sungguh Allah telah banyak menolong kamu (mukminin) di banyak perang, dan ( ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang.”
Kunci kedua setelah dua hal di atas adalah, mitsaliyyah tsabitah dan waqi’iyyah mahsubah (idealisme yang tetap dan pemahaman akan realitas). Idealisme (fikroh) adalah salah satu hal yang tsawabit dalam sebuah jama’ah da’wah. Dan sebagai bagian dari sebuah jama’ah, maka menjadi keharusan bagi setiap petarung da’wah memahami, menguasai, berpegang teguh padanya dan mampu mengejawantahkan fikrohnya. Rasulullah saw pernah berwasiat kepada Hudzaifah bin Yaman (dan tentunya ini pun berlaku untuk setiap muslimin) : “ Berpegang teguhlah engkau pada jama’atul muslimin dna imamnya (idealisme) sekalipun engkau harus memakan akar pepohonan”. ( HR. Bukhari). Fikroh sebagai landasan pergerakan mestilah terinternalisasi dalam diri setiap petarung. Karena fikroh pulalah yang akan menentukan kualitas sebuah amal. Seorang yang tidak memahami fikroh dimana dia beramal, maka akan cenderung asal-asalan, tidak memiliki semangat dan akan mudah futur (berbalik ke belakang).
Pemahaman dan penguasaan fikroh yang baik kemudian di imbangi dengan pemahaman realitas yang matang, akan menghasilkan sebuah harmoni harokah yang indah., yang di dalamnya selalu ada evaluasi, introspeksi dan reorientasi amal. Fikroh sebagai sebuah idealisme pergerakan tak akan mampu di ejawantahkan manakala penguasaan akan kondisi lapangannya jelek. Karena realitaslah yang akan menyempurnakan idealisme, manakala (sekali lagi) idealisme itu dapat di selaraskan dengan realitas, sehingga fikroh (idealisme) itu benar-benar mampu dibuktikan dan (ke depan) akan menjadi fikroh bersama. Namun pemahaman realitas inipun tak akan mampu di miliki manakala tidak ada hassasiyah (kepekaan) dalam diri setiap petarung untuk membaca, mengamati dan melakukan ekperimen terhadap realitas yang ada. Inilah permasalahanya. Kader prematur yang ingin selalu instan dalam beramal. Tidak mengharapkan adanya kesusahan atau mekanisme amal yang terlalu ribet.
Kader prematur yang berfikir minimalis. Padahal, peradaban yang besar ini, tak mungkin di bentuk oleh jiwa dan pemikiran yang kerdil (minimalis). Fitnah kemudahan itu telah mematikan militansi yang seharusnya dilahirkan dari rahim tarbiyah. Saatnya masing-masing kita berbenah dalam perjalanan tarbiyah. Berfikirlah, bahwa tarbiyah yang kita jalani, adalah salah satu penentu kegemilangan peradaban Islam di masa yang akan datang. Pahamilah ia dan berpegang teguhlah dengannya, semoga janji Nya akan berupa kemenangan da’wah memang akan diberikan melalui tangan-tangan kita. Wallahu’alam.
- Pemburu Syahid -
Mohon maaf bila ada statement yang tidak berkenan di hati para pembaca. Al faqir ilallah.
“Kontemplasi Gerakan”
“Sejarah adalah catatan statistik tentang denyut hari, gerak tangan, langkah kaki dan ketajaman akal.” ( Malik bin Nabi )
Dua belas tahun reformasi. Dua belas tahun yang lalu, bangsa ini telah memuntahkan darah segar pemudanya. Ibu pertiwi seperti menepati janjinya. Janji untuk melahirkan anak-anak yang setia pada cita-cita luhurnya, anak-anak yang membawa keberanian di tengah ketakutan, mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan, anak-anak yang memberikan darah dengan tulus sebagai mahar untuk kebebasan dan keadilan, anak-anak yang meninggalkan masa mudanya dengan panuh cinta untuk hidup dalam debu dan deru jalanan, bahkan menyerahkan hidupnya untuk bangsa ini bisa hidup dengan cara yang lebih baik. (Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara).
Semangat itu, rasanya ingin sekali hadir di tengah zaman saat ini. Tidak bermaksud untuk beromantisme sejarah, namun sadarkah diri kita dengan degradasi semangat pemuda Islam ? Zaman besar telah dilahirkan abad, tetapi zaman besar itu hanya menemukan manusia kerdil (Friedrich von Schiller). Kita pun ingat dengan sejarah tarbiyah, bagaimana ia diperjuangkan. Sungguh luar biasa. Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar cerita para generasi pertama pejuang tarbiyah di negeri ini. Jarak yang harus mereka tempuh untuk menikmati tarbiyah, bukan lagi antar desa, namun antar kota. Belum lagi intimidasi dari rezim diktator. Tarbiyah yang dilakukan dengan sembuyi-sembunyi, kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, itulah yang membuat meraka memiliki jiwa-jiwa yang tak mudah menyerah, tsabat, tak mudah menyerah, kekuatan militansi yang tinggi sehingga, sampai kepada kita saat ini sebagai generasi penerus.
Memang iman tak dapat diwariskan. Pun dengan militansi. Kondisi dulu dan sekarang yang sangat jauh berbeda, ternyata pun sangat mempengaruhinya. Ketika da’wah memasuki tataran siyasi, tarbiyah yang seharusnya menjadi penguat, seolah ia kini hanya menjadi rutinitas pekanan yang tiada ruh di dalamnya. Dan hasilnya, banyak dihasilkan kader-kader prematur yang pasif dan nyaris selalu memerlukan instruksi untuk menjalankan sebuah amal. Fitnah yang Allah hadirkan di tengah-tengah da’wah ini berupa kemudahan, kuantitas yang semakin bertambah, ternyata tidak kita sadari telah melemahkan salah satu sendi kekuatan da’wah ini. Nashr minallah, idealnya menjadi peluang da’wah yang lebih masif. Namun, tidak semua petarung da’wah ini memahaminya.
Tarbiyah, sebagai tuntutan dalam mempertahankan eksistensi, merupakan sisi yang paling fundamental dalam da’wah. Ketika da’wah mengalami kemunduran karena semangat para petarungnya yang melemah, maka indikasi pertama adalah karena melemahnya tarbiyah di dalamnya. Teringat kisah perjuangan tentara Muslim melawan tentara Romawi. Dengan kondisi persenjataan yang sangat minim dan sedehana, serta kuantitas yang tidak sebanding, seorang di antara tentara Muslim, berkata kepada Umar bin Khattab. Wahai Umar, “ Bagaimana kita akan memenangkan pertarungan ini? sedangkan persenjataan kita sangat sederhana dan jumlah teramat sedikit?” Maka Umar pun menjawab, “ Sesungguhnya yang aku takutkan dari pertarungan ini, bukan karena kekalahan yang disebabkan oleh kekurangan senjata dan tentara yang sedikit, namun aku takut jika kekalahan kita adalah karena ma’shiat yang dilakukan oleh kita. “
Satu kunci, bahwa kuantitas yang banyak dan penguasaan teknologi, bukanlah sebuah sisi yang paling penting dari da’wah ini (meski hal itu pun diperlukan dalam era d’wah kontemporer). Namun yang paling penting adalah kualitas para petarungnya. Sebagaimana Allah mengingatkan kita dalam surat Ali Imron ayat 146 – 148 :
“ Dan berapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikutnya yang bertaqwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.”
“ Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah do’a : ‘Ya Rabbana, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yan berlebihan dalam urusan ini dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir’.”
“Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala di akhirat. Dan Allah mencintai orang –orang yang berbuat kebaikan. “
Nau’iyyah jayyidah dan kammiyah kaafiyah (kualitas yang bagus dan kuantitas yang cukup), dua hal yang perlu diperhatikan. Terkadang kita terjebak dalam cara berfikir yang lebih mengedepankan kuantitas tanpa mempertimbangkan kualitas. Kuantitas yang cukup, bukan berarti jumlah besar, namun jumlah yang cukup untuk mampu menggerakkan da’wah. Apa artinya jumlah yang banyak tanpa kualitas yang bagus, maka tak jauh beda dengan buih di lautan yang tak berarti apa-apa. Sebagaimana Allah sampaikan juga dalam surat At Taubah ayat 25 : “ Sungguh Allah telah banyak menolong kamu (mukminin) di banyak perang, dan ( ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang.”
Kunci kedua setelah dua hal di atas adalah, mitsaliyyah tsabitah dan waqi’iyyah mahsubah (idealisme yang tetap dan pemahaman akan realitas). Idealisme (fikroh) adalah salah satu hal yang tsawabit dalam sebuah jama’ah da’wah. Dan sebagai bagian dari sebuah jama’ah, maka menjadi keharusan bagi setiap petarung da’wah memahami, menguasai, berpegang teguh padanya dan mampu mengejawantahkan fikrohnya. Rasulullah saw pernah berwasiat kepada Hudzaifah bin Yaman (dan tentunya ini pun berlaku untuk setiap muslimin) : “ Berpegang teguhlah engkau pada jama’atul muslimin dna imamnya (idealisme) sekalipun engkau harus memakan akar pepohonan”. ( HR. Bukhari). Fikroh sebagai landasan pergerakan mestilah terinternalisasi dalam diri setiap petarung. Karena fikroh pulalah yang akan menentukan kualitas sebuah amal. Seorang yang tidak memahami fikroh dimana dia beramal, maka akan cenderung asal-asalan, tidak memiliki semangat dan akan mudah futur (berbalik ke belakang).
Pemahaman dan penguasaan fikroh yang baik kemudian di imbangi dengan pemahaman realitas yang matang, akan menghasilkan sebuah harmoni harokah yang indah., yang di dalamnya selalu ada evaluasi, introspeksi dan reorientasi amal. Fikroh sebagai sebuah idealisme pergerakan tak akan mampu di ejawantahkan manakala penguasaan akan kondisi lapangannya jelek. Karena realitaslah yang akan menyempurnakan idealisme, manakala (sekali lagi) idealisme itu dapat di selaraskan dengan realitas, sehingga fikroh (idealisme) itu benar-benar mampu dibuktikan dan (ke depan) akan menjadi fikroh bersama. Namun pemahaman realitas inipun tak akan mampu di miliki manakala tidak ada hassasiyah (kepekaan) dalam diri setiap petarung untuk membaca, mengamati dan melakukan ekperimen terhadap realitas yang ada. Inilah permasalahanya. Kader prematur yang ingin selalu instan dalam beramal. Tidak mengharapkan adanya kesusahan atau mekanisme amal yang terlalu ribet.
Kader prematur yang berfikir minimalis. Padahal, peradaban yang besar ini, tak mungkin di bentuk oleh jiwa dan pemikiran yang kerdil (minimalis). Fitnah kemudahan itu telah mematikan militansi yang seharusnya dilahirkan dari rahim tarbiyah. Saatnya masing-masing kita berbenah dalam perjalanan tarbiyah. Berfikirlah, bahwa tarbiyah yang kita jalani, adalah salah satu penentu kegemilangan peradaban Islam di masa yang akan datang. Pahamilah ia dan berpegang teguhlah dengannya, semoga janji Nya akan berupa kemenangan da’wah memang akan diberikan melalui tangan-tangan kita. Wallahu’alam.
- Pemburu Syahid -
Mohon maaf bila ada statement yang tidak berkenan di hati para pembaca. Al faqir ilallah.
Langganan:
Postingan (Atom)