Selasa, 17 Agustus 2010

Kamuflase Kemerdekaan

Begitu banyak cerita kepahlawanan yang sering kita dengar. Namun sebanyak apa kita menghargai hasil perjuangan mereka ? Jika kita sering mendengar cerita perjuangan para pahlawan kemerdekaan, seperti apa saat ini mereka dihargai ?
Di tengah semangat orang-orang mengibarkan bendera merah putih, di tengah meriahnya lagu kebangsaan dinyanyikan, lantas dimana semangat perjuangan mereka kini? Apakah terwariskan? Kemerdekaan yang kini kita nikmati sebagai warisan perjuangan mereka-mereka yang berkorban dengan sebaik-baik pengorbanan, ternyata tak lain hanya nilai simbolik yang hanya kita kenang dan kita hargai setiap satu tahun sekali, hanya sehari dan hanya beberapa jam.
Dan kemerdekaan itu sendiri, apakah ma’nanya benar-benar terejawantah dalam sistem kehidupan bangsa ini ? Jawaban itu, tergantung perspektif masing-masing. Secerdas apa akal menganalisis, maka disitulah kemerdekaan diartikan. Tentunya kita bukan-bukan orang-orang yang latah meneriakkan MERDEKA, tetapi perilaku yang terlihat sangat jauh dari arti merdeka. Tak jarang kita justru memproklamasikan bahwa kita adalah “budak” yang bangga melakonkan setiap perintah tuannya.
Kemerdekaan saat ini hanya dinikmati oleh orang-orang yang terbiasa berjalan di atas karpet merah. Sedangkan mereka yang berjalan tanpa alas kaki, tak jauh berbeda dengan orang-orang yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada yang memaksa mereka “kerja rodi”, bahkan mereka begitu agresive mencari sumber penghidupan mereka. Namun, mereka tak punya ruang lain untuk lepas dari jerat “kerja rodi” itu. Sehari saja mereka rehat, tak ada nasi dan lauk sederhana di atas piring.
Apa itu merdeka ? Dan milik siapa merdeka itu? Jika masih ada orang tua yang tega membakar diri dan kedua anaknya karena mereka tak merdeka dari urusan ekonomi? Atau anak-anak jalanan, orang tua renta di lampu merah, penjual di warung remang-remang, jual beli manusia, dan seabreg kebiadaban manusia lainnya masih menjadi warna hitam dominan yang mewarnai wajah bangsa ini? Apakah seperti ini arti kemerdekaan?
Bendera kita adalah merah putih. Merah, sebagai bukti keberanian pejuang kita mengenyahkan segala bentuk penjajahan, kini telah terkotori oleh perilaku pecundang dan penjilat orang-orang yang “terwariskan” menggerakkan roda negeri ini. Keberanian itupun menguap berganti keserakahan, penjarahan, anarkisme, tawuran, pembunuhan, perampokan, perkosaan dan perilaku sok berani lainnya yang semakin mengkarakter. Keberanian itu pun berubah menjadi sikap apatis ketika karakter bangsa ini ditukar bahkan dimatikan.
Keberanian untuk berkata TIDAK atas segala bentuk perbudakan, kini terbungkam rapat oleh dolar berlembar-lembar. Ya …sangat lucu, menjadi budak di negeri yang katanya telah merdeka selama 65 tahun. Miskin di negeri yang begitu melimpah sumber kekayaan alamnya. Kelaparan di tengah hamparan ladang padi berhektar-hektar.
Putih, bukti kesucian tekad untuk membebaskan bangsa dari perbudakan atas nama Tuhan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil, ah …orang-orang kecil tidak mengenal kata itu. Itu kata yang sangat mahal. Untuk mendapatkannya, tidak cukup dengan memajang wajah pucat, mata celong dan tubuh kurus kering. Jika belum ada yang namanya SKTM, orang-orang miskin yang sakit, hanya pasrah menunggu ajal. Jika raskin tidak diberikan, mana mungkin orang-orang yang berpenghasilan 10 rb-15rb per hari bisa makan bersama istri dan 5 orang anaknya? Negeri yang kaya dengan hasil padi, masih harus menyediakan beras “spesial” untuk rakyat miskin. IRONIS.
Beradab, adab yang mana harus diterapkan? Anak muda yang tidak punya adab kepada orang tua, pun orang tua yang tidak beradab kepada anak muda. Kebajikan yang sudah terbalik-balik. Kesucian tekad saat ini, sekali lagi telah menghilang. Mungkin karena usia yang sudah tua, 65 tahun, bangsa ini semakin pikun dengan “pelajaran-pelajaran” tempo dulu. Akalnya semakin melemah untuk mengingat bagaimana “pelajaran” itu harus difahami. Terlalu berat jika harus memikirkan bagaimana bangsa ini dipertahankan kedaulatannya. Itu kan urusan hidup masing-masing. Maka urus sendiri saja urusan dapur kalian masing-masing. Kaya atau miskin, kenyang atau lapar, rumah istana atau gubuk reot, itu selera masing-masing.
Merdeka, ia hanya kamuflase. Simbolis saja. Substansinya, bangsa ini masih menangis terjajah. Teriakan MERDEKA tempo dulu, terkumandangkan dari ujung Sumatra sampai pedamalan Irian. Dan saat ini, air mata dan keringat bangsa ini masih semangat menetes untuk merebut kembali kemerdekaan yang sudah 65 tahun lalu mensejarah. Agar ia tak kamuflase, agar ia bukanlah simbol belaka, tetapi rahmat untuk negeri ini, saat ini, esok dan selamanya.

MERDEKA Indonesiaku !!!!
- Syahidah Lamno -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar