Selasa, 19 Oktober 2010

Senja Temaram

Bismillah. Amsaina wa amsal mulku lillah walhamdulillahi laa syariikalahu. Senja ini, ruang kontemplasi kembali menyeruak dalam aliran waktu yang tersisa. Ia hadirkan wajah temaram yang menyuguhkan suasana haru, hening, dan sepi. Persis seperti kesendirian jiwa yang tiada pernah ku faham maknanya. Ia begitu agresif merangsek mengobrak-abrik tatanan jiwa yang tadinya begitu nyaman menemaniku. Tapi mungkin itulah tabiat aslinya, kadang memberi nyaman, kadang syahdu, kadang membosankan.
Senja ini, ingin kucoba merangkai kata menuangkan kegundahan yang tak pernah aku harapkan hadir di saat-saat seperti ini. Kekuatan itu kembali meruntuhkan pertahananku. Kali ini kekuatannya lebih besar. Ia membuka kesadaranku akan sebuah hakikat. Namun, tak mudah bagiku ternyata menerimanya sebagai sebuah keniscayaan yang mungkin ya atau juga tidak. Entahlah, ternyata masih sangat berat untukku jika memang itu menjadi mungkin.
Senja ini, tak ada cela kiranya jika hati ini menghaturkan sebuah harap akan hadirnya kekuatan yang selalu berkelebat di pelupuk mataku. Aku tak tahu apa itu. Dan aku pun tak yakin ia mampu menguatkan pertahananku. Sungguh tak ingin aku mengulang yang kedua kalinya, membangun pertahanan di atas pondasi yang ternyata lemah pula. Tapi sebentar, aku tak bermaksud mengatakan aku butuh pondasi yang kuat untuk pertahananku. Aku hanya membutuhkan batu-bata yang kokoh dan kompak menyusun satu pertahanan yang mampu menguatkan diri saat ini, esok dan selamanya.
Senja ini, aku benar-benar rapuh di atas kekuatanku. Inilah hakikat yang telah menampar kesadaranku agar aku tak lagi terlalu banyak mimpi dan mungkin agar aku tak terlalu bangga dengan keakuanku. Karena saat ini aku benar-benar membutuhkan pertemanan. Tak bisa ku ingkari temaramnya jiwa saat ini. Namun bagaimanapun aku harus tetap seperti aku. Tak mungkin aku obral akan menyebalkannya sebuah kesendirian dan kesepian yang tak mengetuk ijin untuk singgah. Jika saja aku punya kuasa mengusirnya ketika ia baru akan melangkah menujuku. Namun aku terlambat.
Senja ini, di atas kerapuhan yang baru kusadari, aku pun ingin bertekad. Aku tak ingin mewariskan temaram jiwa ini untuk waktuku esok. Cukup hari ini, saat ini. Esok adalah hariku yang harus aku semai mimpi dan citaku di sana. Tak boleh dan tak akan aku ijinkan segala yang akan merobohkan menghampiri dan mengusik. Pertahananku akan aku kuatkan dan akan semakin aku jaga agar ia tak akan lagi cacat dan kembali melemahkan. Akan aku fahami dan akan kucoba terima jika hakikat itu menjadi keniscayaan dikemudian hari yang aku yakin mungkin akan membuatku roboh. Tetapi aku pun masih punya sepucuk do’a yang akan terus aku semai sampai keniscayaan itu ku saksikan dengan senyum simpulku atau bening lara yang merembes di sela kedua mataku.
Senja ini, aku kembalikan temaram hati ini kepada yang Maha Memiliki Cahaya. Aku kembalikan kekuatannya kepada yang Maha Memiliki Kekuatan. Aku haturkan do’a senja sebagai penutup segala kegundahan, sebagai pembuka segala kebahagiaan dan kekuatan yang selalu aku jaga dan aku syukuri disetiap makna dan episodenya.
Senja temaram ini, semoga adalah senja yang tak akan lagi menemaramkan hati.
Dan esok adalah mentari kehidupan baru yang harus aku sambut dengan semangat menumbuhkan cita-cita yang tak akan pernah aku biarkan ia kembali luruh dalam ketemaraman. Bismillah.

Kota Udang, 17 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar