Selasa, 19 Oktober 2010

Epilog Seorang Ibu dan Dua Orang Anaknya

Semburat mega menyingsing mengusir sinar senja di permulaan malam. Sinar keemasannya perlahan pamit ke peraduan. Tersisa kini lampu-lampu sorot dari kendaraan yang berlalu lalang, mengencangkan gas menuju tempat orang-orang tercinta menanti. Membawa kebungkus martabak atau setumpuk rupiah untuk bekal belanja anak dan istri. Senyum bahagia bercampur lelah menjadi tenaga sisa di akhir senja itu.
Rentetan suara klakson bersautan mengalahkan suara adzan maghrib yang memanggil. Berdesak, meminta paksa setiap kendaraan untuk menyingkir dari hadapannya. Di perempatan lampu merah, tak pelak lagi pemandangan lama yang masih menghiasi wajah senja. Wajah-wajah yang berseri tatkala banyak dijumpai mobil mewah ngantri dibawah lampu merah. Mengharap lemparan receh dari kaca mobil atau setidaknya sebatang rokok untuk membungkam demonstrasi di perut sedari pagi.
Seorang wanita muda, dengan buntelan kecil di pundaknya, tersenyum layu, berlari mengejar harapan di bawah lampu merah. Matanya mengernyit, menahan silau lampu kendaraan. Tangannya tak lelah menadah dari mobil ke mobil, dari motor ke motor. Untunglah ia tak menghampiriku. Terlalu perih menyuguhkan receh yang tak seberapa. Dan terlalu bodoh jika selalu memberikan harapan itu padanya. Itu sama sekali tak akan pernah menolongnya.
Sejenak, kuperhatikan hitungan detik yang menandakan lampu hijau sebentar lagi mempersilahkanku tancap gas. Dengan cepat dua bocah kecil berlalu di hadapanku. Mereka berjalan dengan penuh canda. Bibir mereka menyanyikan pelan lagu-lagu yang biasa mereka dengar di pinggir jalan atau dari supir angkot yang biasa mangkal menemani mereka melepas lelah di pinggiran terminal kota itu. Nampaknya mereka kakak dan adik. Buntelan kecil pun nemplok di pundak kecil si kakak. Sedangkan si adik, berjingkrak, menenteng kresek hitam.
Mereka berdiam di trotoar. Memandangi kami yang juga memandangi mereka. Dua bocah itu menunggu wanita yang tengah berada di tengah-tengah arus mobil dan motor. Wajah mereka begitu polos. Berkas-berkas debu menghiasi wajah-wajah tirus yang dimake-up senyum getir. Sesak dada ini menatap mereka tanpa harapan. Sebuah cerita lalu yang kembali terulang, mengumandang bersama syahdunya panggilan Tuhan.
Wanita itu, ibu dari dua bocah malang itu. Mereka mencari harapan di bawah panasnya matahari, derasnya hujan mengguyur, dan di tengah dinginnya malam. Jalanan menjadi rumah mereka, trotoar menjadi alas tidur yang paling murah dan mudah disinggahi. Entah, apa yang ada dalam benak mereka tentang kehidupan. Sesuap nasi yang mendarat dimulut mereka adalah yang terutama. Mereka bertiga, menepi di trotoar, bercengkrama layaknya keluarga bahagia. Bersama-sama membongkar buntelan, menyantap sisa makanan yang ada. Buntelan plastik kecil tak luput untuk dibuka. Ya, kepingan rupiah menyegarkan wajah mereka yang kusam. Satu per satu rupiah dihitung. Beberapa tumpukan receh yang menjulang menjadi semangat tersendiri bagi dua bocah dan wanita itu. Pada tumpukan receh itulah harapan di sandarkan. Tragis.
Perlahan wanita itu memandangi lekat-lekat dua wajah anaknya. Ia elus kepala di adik dengan penuh haru. Tak ada kata yang meluncur dari bibir keringnya. Hanya senyum dan setitik bening lara yang menyapa. Anak itu pun dengan polos berkata, “ Mak, kalo setiap hari kita dapat uang sebanyak ini, nanti kita bisa sekolah nda ?” Sambil menelan ludah, wanita itu pun berkata,” Kamu masih ingin sekolah ? Jika saja uang receh ini bisa untuk membayar biaya sekolah, tentu akan emak sekolahkan kalian. Tapi siapa yang mau menerima receh-receh lusuh dari kita? Masa depanmu bukan emak yang menentukan, tapi receh ini. Emak tidak bisa berbuat banyak di tengah jaman yang galak seperti ini. “
Bocah itu pun menatap kosong wajah emaknya. Tak ada kata-kata yang terucap untuk membalas kata-kata emaknya, layaknya seorang bocah yang selalu bertanya ingin tahu. Si kakak pun hanya diam, sibuk oleh receh yang terus disusunnya. Lalu si kakak pun bersorak,” Horeee, kita dapat 50rb. Emak, jangan dihabiskan semua ya uangnya, kita tabung. Nanti besok-besok kita nyari lebih banyak lagi ya….”. Emaknya hanya menatap sayu anak sulungnya itu.
Malam semakin bergulir. Saatnya mereka kembali ke rumah yang entah ada dimana. Sekali-kali, mereka mampir membeli nasi bungkus di pinggir jalan untuk membungkam si pendemo yang belum letih juga berteriak. Bertiga mereka susuri jalanan yang semakin ramai oleh bis-bis malam, sorot lampu kendaraan yang semakin menyilaukan, dan calo-calo yang kembali lantang berteriak-teriak memanggil calon penumpang. Si Emak berjalan di depan, dan dua bocah itu mengikutinya dari belakang. “ Mak, malam ini kita mau tidur dimana?” lagi-lagi si adik bertanya. “ Dimana aja asal nda kehujanan.” Si Emak hanya menjawab datar. Malam itu pun menjadi malam pelepas lelah untuk mereka bertiga. Tak peduli besok apa yang akan mereka temui untuk kembali mengganjal perut kelaparan mereka. Malam ini adalah malam ini. Esok adalah cerita tersendiri yang akan bergulir seiring dengan kaki melangkah dan tangan yang menengadah.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar