Senja, 8 Agustus 2010
Di penghujung senja, terurailah air mata pengiring lelah, yang tiada bosan mendera….
Akankah lelah ini terobati … ?
Senja, senangnya aku bisa menjumpaimu saat ini. Meski sebentar lagi kau akan pergi, dan malam akan mengganti waktumu. Huuh, kawan, hari ini aku lelah sekali. Sangat lelah. Entah, aku tak tahu kenapa. Sesaat tadi, baru saja air mataku tumpah. Lega, meski masih masih ingin kutumpahkan lebih banyak lagi.
Kawan, jalan cerita hidup ini memang kadang tak bisa dimengerti. Dan karena ketidakmengertian itu, tak jarang menjenuhkan alam fikir dan menyesakkan lelah yang tak terperi. Jalannya cerita yang penuh dengan teka-teki, sungguh, ingin segera ku akhiri.
Kembali, nurani ku “tertampar.” Dan sungguh, tak sanggup aku menahan sakitnya. Peristiwa demi peristiwa yang mengisi, begitu ku rasa berat dan selalu kekuatanku hampir tumbang. Ya, hampir saja, aku kehilangan kekuatanku. Ia terguncang hebat oleh kuatnya hantaman peristiwa.
Oh … jiwaku. Ia tak akan mungkin bertahan sampai saat ini kalau bukan karena cinta Nya. Ya, cinta Nya, begitu dahsyat ia membuaiku. Membuatku kadang tersenyum di tengah dukaku. Membuatku tertawa di tengah derasnya air mataku menemani. Dan, kau tahu kawan, semua yang mengguncang jiwaku ketika ku pahami, ternyata tak lebih, bahwa setiap guncangan itu ternyata semakin mengokohkan akar kekuatanku. Sehingga, aku pun tak kan roboh ketika ia kembali menerjangku dengan kisah yang lebih getir untuk aku terima.
Ketika ku rasa aku memang kuat, sekali lagi tak bisa ku pungkiri, aku lelah…sangat lelah dengan alur cerita yang seperti ini. Bukan … bukan maksud ku untuk menggugat Nya. Namun salahkah aku jika ku adukan lelah ini ? Berdosakah jika aku kemudian bertanya, akankah lelah ini terobati ? Kapankah lelah ini akan segera ku semai dengan janji Nya, busyro kumul yauma jannaatin tajrii min tahtihal anhaar ? Atau, adakah busyro itu pun aku dapati di sini, di dunia ini? Di tempat aku menanam semua “benih” untuk aku panen kelak, setidaknya ia akan semakin mampu menguatkanku, meski fana. Aaah… tidakkah cukup kau pinta yang lebih tinggi dari itu wahai jiwa?
Kawan, benarlah ketika Dia pun selalu mengingatkan, “ Qul hasbiyallah ! “ Satu panggilan yang mencukupkan kita hanya kepada Nya. Tak bersandar pada selain Nya, karena itulah sebaik-baik kekuatan, itu yang ku fahami dari ma’na panggilan itu. Dan aku pun menguatkan kelemahan yang ku miliki, dengan mengeluh di hadapan Nya. Ooh…ringkihnya diri ini. Tak ku fikirkan bertandang ke “ruang” yang lain untuk menyampaikan desah keluhku.
Namun, taukah kawan, apa yang kemudian harus aku coba mengerti lagi? Entah, apakah mungkin karena kekuatan yang tak pernah aku sangka melingkupiku, atau karena aku yang terlalu egois dengan keakuanku? Entahlah….. Yang pasti, ada kecewa yang tergores di hati orang-orang yang pernah menyatakan cintanya padaku. Orang-orang yang rela menyebutnya sahabat untuk menemaniku. Mereka bilang,” Kau terlalu sombong dengan kekuatanmu. Tidak lebih baikkah, kau bagi ceritamu padaku?”
Maaf kawan ! Bukan aku tak menghargai kesetiakawananmu. Namun, aku telah sepenuhnya nyaman berbagi cerita hanya pada Nya. Karena tak ada hijab yang membatasi, entah itu waktu atau tempat . Kapanpun, dimanapun…aku tak jeda mengetuk ijin Nya untuk aku sampaikan desah keluhku, saat memang aku membutuhkan “ruang” yang lebih luas untuk menumpahkannya. Dan “ruang” itu adalah cinta Nya, yang terwujud oleh sifat Penyantun Nya yang semakin membuat hatiku bergetar.
Kawan, di senja ini telah ku bagi satu cerita lagi dengan mu. Ringan rasanya jiwa ini, terang kiranya fikiran ini, lapang rasanya hati ini…seolah telah kuenyahkan segala yang menyesakkan. Meski tak semua.
Akhirnya waktumu pun digulir oleh malam. Dan saatnya aku pun pamit. Terimakasih untuk senja yang indah ini. Moga esok, keindahan senja ini pun akan ku jumpai lagi. Amiiin. Amsaina wa amsal mulku lillah walhamdulillahi laa syariikalahu.
- Pemburu Syahid -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar