Senja yang cukup cerah. Meski begitu melelahkan dengan hiruk pikuk orang-orang yang selalu memadati jalan untuk mencari santapan berbuka puasa. Ya, semenjak awal Ramadhan, kota kecil ini mendadak selalu macet jika waktu telah memasuki waktu Ashar. Waktu yang seharusnya menjadi ajang mencari kedamaian dalam munajat, ternyata bagi sebagian manusia-manusia itu adalah waktu yang paling tepat untuk ngabu-burit menghabiskan tenaga yang tersisa untuk memburu makanan yang sudah diimpikan sejak siang.
Setiap senja menjelang, kota kecil itu mulai terpolusi oleh suara klakson yang efektif bikin telinga mendadak budeg, kepala menjadi pening, dan emosi harus setengah mati ditahan agar tidak meledak. Melihat kemacetan di jalan utama kota kecil itu, yang di dominasi oleh mobil-mobil mewah, cukup mengisyaratkan ternyata masyarakat kota itu tidak tertinggal seperti kebanyakan orang berbicara. Walau memang kota itu termasuk kota yang tertinggal dari segi pembangunan, baik manusianya maupun infrastrukturnya.
Begitu banyak mobil-mobil mewah di parkir di pelataran mall, rumah makan mewah dan juga masjid terbesar di kota itu, yang saya fikir telah berubah menjadi wahana wisata, bukan untuk ibadah. Kota kecil yang cukup padat penduduk. Cukup padat oleh para tukang becak yang menunggu penumpang sambil tiduran atau menyedot es teh tanpa ada rasa beban sedikitpun. Cukup padat pula oleh orang-orang yang berlomba-lomba memasang tampang memelas, menadahkan tangan untuk keperluan makan dan minum mereka. Sedangkan kemampuan fisik mereka, masih bisa lah jika mereka mau bekerja meski ala kadarnya. Namun, setidaknya mereka menjadi bukti, bahwa kota itu pun dipadati oleh orang-orang malas.
Senja kemarin, aku pun tak berniat menghabiskan waktu itu dengan menelusuri kota itu dari dalam angkot. Malas sekali ke luar pada waktu-waktu seperti itu, macet, bising dan ah….terlalu banyak pemandangan yang tak pantas dipertontonkan di bulan suci seperti ini. Namun, senja kemarin telah membuat ku berfikir tentang sebuah rasa syukur dan sebuah aksi yang harus segera aku lakukan.
Mataku tertuju pada sosok gadis 15 tahunan. Di perempatan lampu merah, dia bersama teman laki-lakinya, dengan tampang layu menadah dengan modal suara sumbang yang dipadu dengan gitar yang dipetik sekenanya. Yang membuatku tertegun adalah perutnya yang membucit. Tentu bukan karena dia korban busung lapar. She is pregnant. Ya, itu yang membuat ku tercengang. Dan mungkin, laki-laki yang bersamanya adalah bapak dari calon bayi yang tengah dikandungnya. Sebuah pemandangan yang telah menamparku, menagih simpati dan amalku. Ia menuntutku untuk berbuat. Bukan lagi berdiskusi dan berjibaku dengan konsep-konsep yang tak lebih hanyalah bualan. Tak kuasa aku menahan sesak yang sekonyong-konyong menyerbuku. Tak mungkin aku menjadi sok cengeng di depan para penumpang.
Pemandangan tadi, masih menjadi menghiasi Ramadhanku kali ini. Di sepuluh hari terakhir, disaat orang-orang harusnya berlomba di atas mihrabnya. Tak mungkin, jika ternyata masih ada mereka-mereka diperempatan lampu merah itu. Ingin sekali aku turun dan ku ajak dia pulang bersamaku. Ingin sekali aku tanyakan mimpi-mimpinya.
Mungkinkah mereka akan setia menghiasi wajah bangsa ini setiap harinya? Gadis itu, anak-anak jalanan itu, nenek-nenek itu….yang wajahnya menyiratkan duka yang dimake-up oleh senyum getir.
Ah … sudah saatnya berbuat. Mereka pun berhak menikmati Ramadhan di dalam masjid, menikmati indahnya tarawih dan I’tikaf di sepuluh malam terakhir ini. Jika tidak pada Ramadhan kali ini, semoga Ramadhan tahun nanti, mereka menjadi orang-orang yang paling bersemangat menyambutnya dan menyemarakkannya dengan ibadah-ibadah mereka. Semoga.
- Syahidah Lamno -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar