Minggu, 08 Agustus 2010

Ketika Perempuan Mengambil Peran


Ada sebuah statement yang menggelikan dalam sebuah diskusi sebuah kelompok pergerakan. Seorang laki-laki (menikah) berkata seperti ini“ Silahkan para akhwat itu mengambil peran, tetapi jangan istri saya,” LHO ???? What does it mean ?
Ya, saya yakin kita semua sudah bisa menebak jalan berfikir si bapak tadi. Tidak semua orang (terutama laki-laki) setuju ketika perempuan mengambil peran di luar peran domestiknya. Seorang perempuan (menikah, dengan tiga anak) menyampaikan, “Sebenarnya itu adalah permasalahan klasik yang kemudian mementahkan potensi akhwat.” Ehm, permasalahan klasik yang dilumrahkan.

Dilumrahkan, karena ketika perempuan mengambil peran lebih, maka hal itu seolah menjadi ancaman akan peran domestiknya. Para lelaki itu mengkhawatirkan mereka akan sulit membagi waktu atau kewalahan memanage urusan rumahnya. Satu hal yang menggelitik di sini, “kewalahan memanage urusan rumahnya.” Seakan ada sebuah doktrin bahwa tugas memanage rumah adalah absolutely tugas perempuan. Tugas rumah yang tidak ada masa cutinya, ternyata sebagian masyarakatpun sepakat itu adalah wilayah kerja perempuan.

Bahkan, bagi sekelompok orang yang menyatakan dirinya adalah kelompok pergerakan da’wah, menjadikan sebagian perempuan (akhwat) di dalamnya hanya sebatas “penggembira” saja. Tidak semua ikhwan, ternyata dalam aplikasi amalnya, memposisikan perempuan (istrinya) sebagai partner yang bisa di ajak berbagi, bertukar ide, dan saling menguatkan akan amanah umat yang menguras kerja otak. Cukup di rumah, itu kata sebagian mereka. Dan tak sedikit pula yang “mengancam” istrinya yang aktif di luar dengan statement yang membuat para istri itu “scakemat”, POLIGAMI. Jadilah poligami itu menjadi monster yang menyeramkan bagi para istri.
Seorang akhwat lajang dengan terheran-heran bertanya, “ Ko’ bisa seperti itu, bukankah mereka orang-orang yang tertarbiyah ? Harusnya mereka mengerti dengan peran da’wah istrinya dan mendukungnya. “ Sayang, tarbiyah saja ternyata tidak cukup. Karena tarbiyah tidak selalu berhasil mereduksi karakter negatif seseorang. Tak salah kemudian jika, kita perlu melihat latar belakang pendidikan seseorang di dalam keluarganya. Bagaimana orangtuanya memperlalukan anak laki-lakinya. Itulah yang akan membentuk karakternya, yang akan berefek bagaimana ia memperlakukan orang lain, serta anak dan istrinya. Apakah dia termasuk ke dalam orang-orang yang terbawa pada sebuah “doktrin” bahwa tugas kerumah tanggaan adalah tugas perempuan? Apakah jalan fikirnya mampu menggerakkan tangannya membersihkan panci dan piring-piring kotor di dapur? Atau tanggap ketika anak-anak rewel, dari tingkat merengek, nangis sampai di antara mereka ada yang gulet. Tak semua, dengan artian masih ada di antara mereka.
Untuk hal ikhwal tentang peran managerial dalam rumah tangga, pernah diadakan semacam kajian khusus, namun lagi-lagi under estimate statement itu kembali mencuat, “ Ngapain ngomongin masalah itu? Ga penting. Lagian itu kan wilayah kajian kaum istri.” IRONIS. Bukankah ketika dua orang berkomitmen untuk membentuk sebuah keluarga kecil, artinya ada sebuah kesepakatan kerjasama satu sama lain? Pernah suatu ketika mendengar cerita tentang “proses” orang-orang yang akan menikah. Ketika di adakan dialog diantara keduanya, dijelaskan tentang aktivitas calon istrinya, dan ditanyakan bagaimana jika setelah menikah nanti, istrinya tidak hanya berkutat pada peran domestik saja? Jawaban mayoritas adalah “itu bisa dikomunikasikan.” Namun banyak juga jawaban yang masih menggantung.

Dan kemudian ? Jawaban di awal tadi, banyak yang amat jauh dari harapan. Lalu apa artinya? Ternyata tidak ada kesiapan. Kesiapan mental, karena terlalu banyak terkaget-kaget. Tidak siap ketika istri berbagi waktu di luar. Dan sekali lagi, karena most of them do not comprehence or do not want to comprehence tentang hal ikhwal kerumah tanggaan, kemudian keluarlah dalih, “ Sudahlah di rumah saja. Biar saya yang di luar. “

Kesiapan di awal, yang dengan cepat tergilas seiring dengan berjalannya usia mereka dalam kebersamaan. Dan inilah yang kemudian masuk dalam daftar evaluasi, apa yang dimaksud dengan kesiapan itu? Dan sejauh mana kesiapan itu disiapkan? Jangan-jangan hanya semangat nikahnya aja yang gede, sehingga membutakan diri, bahwa sesungguhnya dirinya belum siap. Terutama kesiapan menghadapi segala sesuatu yang jauh dari harapan. Tentang hal-hal yang pahit yang mungkin akan cepat menghiasi di awal perjalanan.
Kawan, sahabat dan saudaraku semuanya, kita di sini, di komunitas yang menamakan diri sebagai komunitas pembaharu, kita fahami tentunya perlu kerja jama’i yang seimbang. Laki-laki dan perempuan, semuanya memiliki tuntutan yang sama. Keduanya adalah manager. Ketika da’wah ini dikembangkan, mayoritas pendukungnya adalah perempuan. Tidaklah bijak, jika kemudian peran potensial perempuan dalam memperbaiki umat ini terkikis, karena doktrin yang “mematikan.” Bagaimanapun perempuan tetap memiliki andil dalam melakukan perbaikan. Minimalnya, mereka bergerak untuk perbaikan perempuan. Karena permasalahan perempuan, hanya perempuan yang bisa menyelesaikan. Semakin meningkatnya grafik wanita rawan sosial ekonomi, yang kemudian berimbas pada perdagangan manusia, tidak cukup diselesaikan oleh tangan laki-laki.

Bagi perempuan lajang, mengambil sebanyak mungkin peran di masyarakat, mungkin adalah sebuah hal yang mudah dan tidak memberatkan siapapun. Namun bagi perempuan menikah, ini tentu perkara yang harus kembali dipertimbangkan. Kembali kepada komitmen, pemahaman dan juga yang paling penting adalah pengertian untuk saling bahu-membahu. Persiapan dan pematangan bukan hanya harus dilakukan oleh perempuan, tetapi juga laki-laki.Karena pada hakikatnya keduanya actor yang akan memainkan “drama” rumah tangganya. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar