Selasa, 30 November 2010

Ayah, Antarkan Aku Menuju Gerbang Itu ...!

Gerbang pertama
Refleksi Cinta Untuk Peradaban

Deklarasi cinta pertama yang menggetarkan. Tatkala mitsqon gholidzon itu disaksikan oleh seluruh makhluq di langit dan di bumi. Ia pun adalah gerbang pertama memasuki dimensi waktu yang di dalamnya berbagai skenario dijalankan. Awal gerbang itu dibuka, segala keindahan menjadi hiasan mata. Jiwa melambung tinggi dan raga tertunduk khusyu’ mensyukuri setitik nikmat penghuni syurga yang diturunkan ke bumi. Sebuah anugerah fitriah yang membuktikan betapa Penguasa Alam ini begitu Maha Pengasih dengan kehendak Nya yang menghimpun hati-hati yang sebelumnya terserak. Dan darinya ditiupkankanlah cinta Nya yang menjelma sebagai kekuatan yang semakin mengikat kedua hati.
Itulah kekuatan cinta yang menjadi narasi kehidupan menuju gerbang selanjutnya. Seperti apa narasi itu disusun, tergantung pada tema besar yang disepakati di awal. Menjadi fatal, manakala tema besar itu tak terfikirkan, apalagi tak terancang. Atau manakala ia hanya disikapi sama dengan penyikapan kebanyakan manusia. Padahal dari sanalah awal bencana atau kebahagiaan bermula.
Ya, dimensi waktu yang membawa cinta dalam sebuah institusi bernama keluarga, tak sedikit hanya difikirkan sebagai kebutuhan individu yang nyaris kering dari penamaan tema besar. Akhirnya, kita saksikan bersama, institusi itu banyak melahirkan generasi-generasi lemah dan melemahkan. Rusak dan merusak. Sebuah refleksi yang agaknya perlu dihadirkan dalam ruang kontemplasi akan sebuah pesan sakral :
“Hai manusia bertaqwalah kepada Rabb yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Allah menciptakan istrimu. Dari keduanya Allah mengembangbiakan laki-laki dan wanita yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. “( Q.S. An Nisaa’ : 1)
Sangat jelas, pesan yang mengisyaratkan bahwa dasar kehidupan manusia adalah keluarga. Sang Khaliq menghendaki agar “tanaman” di muka bumi ini dimulai dengan sebuah keluarga. Terbentuknya sebuah keluarga yang terdiri dari suami-istri, “dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan wanita yang banyak.” Allah swt berkehendak terhadap sesuatu yang diketahuiNya dan terhadap suatu hikmah yang dimaksudkan Nya, yaitu hendak mengembangkan jalinan kerahiman. Dimulailah hal itu dengan koneksi rubbubiyah yang merupakan pangkal dan awal segala koneksi dan berikutnya adalah koneksi rahim (kekeluargaan). Maka terwujudlah keluarga pertama yang terdiri dari seorang laki-laki dan wanita, yang keduanya dari diri yang satu dengan tabiat dan fitrah yang satu. Dan di atas ini semua, dengan landasan aqidah, berdirilah tatanan masyarakat. Maka, Islam pun mengatur agar ikatan kekeluargaan ini tetap terpelihara, kokoh, mantap dan terlindungi dari segala yang melemahkan.
Selanjutnya, inilah yang menjadi misi bersama yang tidak mungkin termandatkan hanya pada salah satu manager institusi. Peran managerial menjaga dan melindungi aset yang juga adalah amanah, haruslah menjadi pemikiran bersama dalam merancang peta kemana dan bagaimana amanah itu dihantarkan pada hakikat awal pemberiannya. Singkatnya, meskipun dalam aplikasinya ada semacam job division, tetapi peran yang satu ini tetaplah menjadi peran koalisi yang saling mengisi. Sinergisasi peran yang tidak terkotak pada salah satu definitif peran yang ternyata membuka ruang permasalahan yang semakin lebar dikemudian hari. Paradigma berfikir yang berkembang pun perlu diluruskan, guna tidak menjadi racun yang mematikan pelan-pelan karakter yang seharusnya ditanam sejak awal.
Perumusan paradigma inilah yang menjadi kunci pertama yang harus dirancang agar pintu menuju ruang yang bernama kerja sama dapat ditata dengan apik dan rapih. Oleh karenanya dibutuhkan kelapangan hati, kearifan berfikir dan kesamaan cita-cita dalam merumuskannya. Tema besar seperti apa yang akan di “pajang” di atas gerbang institusi itu dan langkah-langkah seperti apa yang akan diwujudkan dalam mengejawantahkannya.
Ya, secara jelasnya, institusi yang bernama keluarga itu, adalah tempat pertama disemainya benih peradaban yang bernama anak. Kenaifan berfikir yang tidak sedikit kemudian membuahkan fatalisme dalam perjalanannya. Sebagai contoh real dalam masyarakat, ketika peran ini didefinitifkan pada satu pihak (ibu, sebagai pemegang peran domestik), tidak sedikit anak-anak yang mengalami disorder in development. Meskipun ibu memiliki berjuta cara untuk memegang kendali pendidikan anaknya, namun tetap saja, ada semacam kekuatan yang harus diberikan dari sentuhan tangan ayah, dari kecupan ayah, dari kebersamaan dengannya yang mampu menumbuhkan kekuatan emosional yang baik pada diri anak.
Banyak kita jumpai dalam kehidupan kini, seorang ayah merasa telah bertanggung jawab terhadap keluarganya dengan pergi pagi pulang petang mencari nafkah. Sesampainya di rumah, apa yang terjadi di rumah terkait dengan urusan PR anak, bercanda bersama mereka atau moment desperate istrinya, termaklumkan karena lelah yang tersisa. Seakan ada pemaafan yang tersirat manakala ayah “mengundurkan” diri dari tugas parenting dan keberadaannya sebagai qowam. Walhasil, hubungan yang terwujud di antara keduanya, persis hubungan antara seorang majikan dan bawahannya. Atau, ayah adalah sebagai ayah yang harus dihormati, tak boleh diganggu yang akhirnya ada keseganan bagi anak untuk sekedar menyapa ayahnya. Yang paling fatal adalah anak yang tak merasa memiliki ayah, meskipun secara fisik ia ada.
Secara psikologi, anak membutuhkan peran ayah. Baik fisiknya, pemikirannya, perhatiannya dan juga nasihatnya. Karena ada sesuatu pada diri ayah yang tidak dimiliki oleh ibu. Ada sebuah nasihat dari sahabat Ali bin Abi Thalib terkait dengan pendidikan anak, beliau berkata,” Pada usia tujuh tahun pertama posisikan anakmu selayaknya seorang raja. Pada tujuh tahun kedua, posisikan anakmu dengan mendidiknya sebagaimana seorang tentara, dan pada tujuh tahun ketiga didiklah anakmu dengan menjadikanmu sebagai teman baginya.”
Pada fase perkembangannya, anak membutuhkan peran pendukung sekaligus pembentuk dirinya dari luar, yakni ayah dan ibunya. Ketika hal itu tidak didapatkan anak dari keduanya, maka secara psikologi untuk memenuhi kebutuhan itu, anak akan mencarinya di dunia luar. Inilah yang kemudian menjadi awal bencana atau bisa jadi kebaikan bagi anak sendiri dan juga bagi keluarga. Banyak anak yang perkembangannya dipenuhi dengan nilai-nilai negatif, karena mereka mencari kebutuhan itu pada tempat dan orang yang tidak tepat. Namun tak sedikit pula mereka yang mendapatkan kebaikan dalam pencarian jati dirinya, karena mereka mendapatkan pada tempat dan dari orang yang benar pula.
Kondisi ini mungkin bagi sebagian orang adalah biasa. Disorder in children development hanya disikapi sebagai akibat negatif lingkungan dan media. Tanpa ada usaha dari para orang tua, setidaknya, instrospeksi akan tanggung jawabnya mendampingi mereka. Terjadi kemudian dalam keluarga, sikap saling menyalahkan antara ibu dan ayah. Ayah menyalahkan ibu yang dianggap tidak telaten ngurusi anak, atau ibu yang menggugat ayah yang terlalu sibuk dengan dunia kerja.
Sejatinya, kedua manager institusi keluarga mesti menyadari dan merasakan bahwa mereka memikul amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya keduanya senantiasa memerlukan keseimbangan yang sehat dalam kepemimpinan ini. Keseimbangan yang sehat ini akan mampu terwujud manakala pengaturan tentang hal ihwal kerumah tanggaan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan anak, dijalankan dalam suasana penuh kerja sama, tanggung jawab dan syuro, dalam pengertian sesuai dengan ketentuan Islam.
Kembali penulis disini mengajak untuk merefleksi tujuan awal institusi itu dibangun. Bijaknya, tidak sekedar bermodal semangat, atau kesiapan materi, namun jauh lebih penting dari itu adalah konsep penyiapan benih peradaban itu sendiri, yang tidak bisa dipungkiri adalah salah satu tujuan dari pembangunan institusi yang bernama keluarga. Satu hal lagi yang perlu menjadi perenungan adalah hakikat amanah besar dalam membangun dan menyiapkan peradaban itu. Begitu Maha Agungnya Allah dengan segala ketentuan-ketentuan yang telah disampaikan-Nya melalui ayat-ayat penggugah yang selalu kita baca sebagai petunjuk jalan keselamatan, kebahagiaan dan petunjuk jalan menuju kegemilangan generasi Islam sesudah kita. []

to be continued ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar