Taman Firdaus, 21 Ramadhan 1431 H / 31 Agustus 2010
Di sepuluh terakhir Ramadhan, ia pun menyisakan elegi yang ingin segera ku akhiri …
Bismillahirrahmanniraahiim
Di pertengahan malam ini, Ramadhan ke dua puluh satu, ia begitu mampu menggerakkan hati ini untuk berbicara tentang sebuah elegi. Ya, ia berkata betapa ia tak ingin berpisah dengan Ramadhan. Sembilan hari lagi, menjadi sebuah hitungan yang terasa cepat. Rasanya baru kemarin aku menikmati ni’matnya sejuknya air menyirami dahaga di waktu berbuka dan nikmatnya menahan kantuk di waktu sahur. Kini, ia pun perlahan tapi pasti, mendekati saat-saat perpisahannya.
Ramadhan ini, kali kedua bagiku untuk mengevaluasi diri tepat pada moment yang mampu menampar kesadaranku bahwa waktuku pun tak akan lama lagi. Dua hari yang lalu, genap sudah dua puluh empat tahun aku di sini, di dunia ini. Usia yang cukup matang untuk disebut sebagai orang dewasa. Ya, aku pun tak ingin orang-orang menempatkanku sebagai anak kecil ingusan yang baru mengenal dunia. Sudah saatnya mereka tahu, bahwa aku bukanlah Fitri si bungsu. Tapi akulah Fitri yang mandiri.
Ya, mereka semua harus tahu. Boleh saja mereka mengatakan aku manja, meski aku tak pernah merasakan bagaimana manja. Ya karena aku mau manja kepada siapa? Di sini aku seorang diri. Keluargaku pun tak pernah mengajarkanku manja. Mereka hanya mengenalkan padaku bagaimana menjadi pribadi yang tegar seperti prajurit-prajurit yang tak lelah bertempur.
Subhanallah, tak kuasa aku menahan haru ketika ku ingat semua perjalanan di dua puluh tiga tahun yang lalu. Setidaknya di fase aku mulai berfikir bagaimana kehidupan ini harus aku sikapi. Begitu banyak hal yang kini aku maknai hikmahnya. Ingat sekali aku di usia delapan belas tahun, persis setelah aku lepaskan seragam abu-abu-putih, aku tekadkan keluar rumah. Aku mengenal dunia baru yang bernama petualangan dan pengorbanan. Di sana aku belajar kemandirian dan kedewasaaan. Aku pun berjumpa dengan orang-orang yang bermental baja. Yang dari mereka aku belajar banyak hal.
Aku sadar, ada hati yang harus aku jaga. Ia adalah hati yang paling lembut. Yang tak pernah rela orang yang dicintainya terluka atau menderita. Hati yang selalu menguraikan do’a dalam setiap langkahnya. Ia adalah hati wanita termulia yang pernah aku kenal di dunia ini. Ibuku. Aku tahu ia menangis ketika melepas ku pergi. Namun ia tak ingin aku mengetahuinya. Ia tersenyum tegar ketika kulambaikan tangan perpisahan. Maafkan aku ibu, pernah membuatmu menangis. Namun terimakasihku atas keridho’anmu melepasku pergi berjuang.
Di usia itu, aku belajar bagaimana menghadapi kegagalan demi kegagalan. Pahit memang, namun tetap saja, ada manis yang bisa kucicipi. Dari sana, sekali lagi, aku dituntun untuk belajar tegar untuk menjaga hati agar tidak goyah. Sampai akhirnya aku benar-benar merasakan manis yang sama sekali tak ada pahitnya. Walaupun aku harus kembali (mungkin) mengurai air mata ibuku. Aku harus pergi dari rumah demi masa depanku.
Kini, tak terasa sudah hampir lima tahun aku di sini. Meninggalkan kehidupan sebelumnya yang jauh berbeda. Aku hidup dalam persaingan, dan aku harus menang. Di sini, aku belajar kemandirian. Ah, tak begitu sulit hidup mandiri. Toh dulu aku pernah merasakannnya, bahkan lebih keras perjuangannya. Lima tahun, benar-benar telah menjadikanku manusia baru. Ehm …sulit sekali memulai cerita lima tahun yang lalu. Tapi harus ! Harus aku ceritakan.
Awal yang indah, ternyata tak selamanya indah. Bahkan banyak sekali duri-duri yang menusuk kakiku ketika aku melewatinya. Tak jarang pula, air mata ini terpaksa aku teteskan agar aku merasa ringan dari beban yang memberatkanku. Berulang kali, hati ini dihadapkan pada peristiwa yang sama dan sungguh ….luar biasa tarbiyah itu. Ia memang menyakitkan, namun ia membuahkan ketegaran dan kekuatan yang begitu besar pada jiwa ini. Ia mengajarkan ku untuk tegar, di saat yang lain lemah. Tersenyum di tengah duka yang ada dan tertawa di saat air mata tak henti-hentinya menemani.
Ia mengajarkan ku bagaimana teguh di atas kekuatan sendiri, meski pun ia lemah. Meski pun aku di sini tak kekurangan cinta, namun aku sadar, tak selamanya cinta itu bersamaku untuk aku miliki. Ada saatnya, nanti, harus aku tinggalkan. Karenanya, aku pun selalu di tegur oleh Nya dengan peristiwa-peristiwa yang membuatku semakin yakin hanya cinta Nya lah tak akan mungkin aku tinggalkan, karena ia adalah cinta yang tulus dan tak mungkin terkotori oleh cemburu yang membabi buta.
Untuk urusan ini, aku bersyukur, kini aku tak secengeng dan melankolis seperti saat di awal. Logikaku begitu kuat mendominasi. Namun, bukan berarti aku perempuan yang tak mempunyai hati. Aku hanya tak mau terlalu lelah dengan hal-hal yang berhubungan dengan hati. Toh, semuanya sudah diatur. Indah atau menyakitkan, ya memang begitulah sunnahtullahnya.
Di dua puluh empat tahunku kini, aku semakin kuat memberontak. Ingin aku berlepas dari belenggu yang selama ini tak terasa begitu kuat menguasaiku. Ia membuatku tak mampu memiliki diri ku seutuhnya. Ingin aku teriakan, aku pun punya kehidupan yang harus aku jalani dan aku rancang. Tak mungkin selamanya aku di sini. Adakalanya, aku pun harus berfikir bagaimana satu, dua, atau tiga tahun ke depanku. Tak jarang, aku berfikir untuk mencari dunia baru, tempat baru yang akan menorehkan sejarah baru untukku. Salahkah aku dengan jalan berfikirku ini? Sebagian orang mengatakan ya. Aku terlalu egois, hanya berfikir kebahagiaan sendiri.
Maaf kawan, aku tak egois. Aku inginkan sebuah dunia baru, karena aku tak ingin selamanya menjadi sosok yang kalian fahami. Sudah saatnya kalian pun harus memahami maksudku, ambisiku dan masa depanku yang sedang aku persiapkan saat ini. Aku mengerti, akan ada hati-hati yang tak rela dengan keputusanku. Namun, sudah saatnya aku berfikir realistis dan juga idealis. Aku tak ingin kehidupanku “didikte” oleh skenario yang tak pernah kurancang. Aku ingin kehidupanku.
Lelah. Sungguh sangat melelahkan ketika logika dan hati tarik menarik. Logikaku ingin sekali berontak, namun hatiku mengatakan, “sabar …jagalah hati-hati itu.” Namun, bagaimana dengan ku, tak berhakah aku bahagia? Aku tak mengerti dengan hati-hati itu. Aku seperti ‘pengkhianat’ yang harus mengendap-endap ketika ingin beraksi. Dan aku pun lelah, ketika selalu ada ‘dakwaan’ yang mengarah padaku. Aku menjadi terdakwa yang tak pernah bosan dengan ‘dosa’ yang selalu ku buat. Selalu ada salah yang harus terpaksa ku akui.
Di dua puluh empat tahunku, aku semakin berambisi pada cita-citaku. Telah kupancangkan tekadku sekuat-kuatnya untuk aku raih semua mimpi-mimpiku. Aku tak ingin lagi menjumpai kegagalan yang bertubi-tubi. Di usiaku ini, aku yakin pada mimpi-mimpiku. Dan aku begitu yakin, esok akan menjadi kenyataan. Semoga.
- Syahidah Lamno -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar