Mimpi, itulah yang menggerakkan kaki untuk melangkah, tangan untuk menggenggam, mata untuk terjaga, dan bibir untuk terus berharap. Tak ada salahnya seseorang bermimpi. Bukan sekedar mimpi tentunya. Mimpi yang tak sekedar bunga tidur di malam hari, tetapi menggelayut di alam fikir tatkala fajar menjelang hingga kembali ke peraduan.
Dalam perjalanan hidup manusia, amatlah hampa jika tak punya mimpi. Tak ada warna yang berpadu menghiasi wajah perjalanan. Dan ternyata banyak manusia yang takut bermimpi. Mereka takut jika itu benar-benar mimpi yang tak beroleh. Pun aku. Aku pernah takut bermimpi. Tak berani menginginkan sesuatu yang bagiku mustahil. Meski aku sadar, ini adalah pemikiran bodoh.
Semakin mendaki ke puncak, maka akan semakin berat dan lelah pula kaki melangkah. Semakin besar tantangan yang siap menyapa. Dan mungkin, mustahil mimpi-mimpi itu digapai. Dibutuhkan keyakinan yang tak kecil agar ia tetap berpijak pada jalannya, agar mimpi-mimpi tak terkubur bersama hadirnya lelah dan bosan. Dan sekali lagi, tak sedikit dari mereka yang menghentikan langkah ketika bosan dan putus asa menghadang.
Di episode yang tak seperti dulu lagi, saat usia tak bisa diartikan sama dengan aktivitas dimasa lalu, hajat diri untuk semakin bermimpi pun rasanya semakin menguat. Namun sayangnya, tak sekuat itu pula energi yang tersisa. Ada keterbatasan dan kelemahan yang menyeka langkah. Mengobrak-abrik tatanan idealisme yang selama ini terancang di dalam fikirku. Akankah mimpi-mimpiku terwujud? Pertanyaan itu tak jarang meracuni keyakinanku.
Langkahku pun kemudian tak seharmoni dulu. Lunglai dan mengikuti arus. Aku tahu aku salah. Idealismeku sekejap runtuh. Realita yang selalu tak sejalan dengan mimpi-mimpi yang dirangkai. Mensinergiskan langkah dengan realita yang tak seimbang sungguh sangat berat. Sesaat, terlintas untuk mengakhiri semuanya. Menjadi manusia minimalis yang tak punya mimpi, memaknai hidup apa adanya, tanpa ada cerita rumit yang harus difikirkan, atau kekhawatiran akan kegagalan yang siap hadir. Hidup datar seperti kebanyakan manusia.
Namun ternyata tak semudah itu mengkubur mimpi. Kesulitan yang menjadikan diri ini mustahil meraih tiap hajatnya, pelan-pelan mulai tak berarti apa-apa. Sunnatullah berbicara. Tak selalu kesulitan itu menjadi cerita. Ada kabar gembira yang begitu luar biasa menyentak dinding jiwa. Mengharu biru, menitik bening bahagia dan mengurai syukur yang panjang. Kepasrahan di tengah usaha telah menjadi Firdaus di ujung sahara. Itulah yang mungkin terfikir mustahil bagi akal manusia lemah.
Kebosanan akan kesulitan dan kemustahilan pada sebuah mimpi, ia pun kian rapuh membelenggu. Ia tak lagi menjadi hantu di siang hari atau mimpi buruk di malam hari. Benarlah ketika Tuhan mengatakan, “faidzaa ‘azzamta fa tawakkal’alallah”. Itulah kekuatan yang perlu kembali digenggam. Agar mimpi itu pun menjadi takdir yang niscaya. Yakin, tak ada yang mustahil bagi Nya.
Lebih dari itu, untaian kata penuh harap dan memelas yang tak terputus oleh optimisme, semakin mudah bagi Nya membuat takdir yang indah untuk manusia. Yakin, tak ada yang mustahil bagi Nya untuk menumpahkan rahmat bagi manusia yang tak jemu mendekat dengan kedekatan yang semakin.
Bismillah, dengannya kaki ini melangkah menata hidup, menggambarnya di atas kanvas putih kehidupan. Bercorak indah oleh gradasi warna yang semakin terang, menawan, semoga seperti itu pun keniscayaan dari Tuhan untuk manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar