Selasa, 31 Agustus 2010

Suara Sumbang di Terakhir Ramadhan

Senja yang cukup cerah. Meski begitu melelahkan dengan hiruk pikuk orang-orang yang selalu memadati jalan untuk mencari santapan berbuka puasa. Ya, semenjak awal Ramadhan, kota kecil ini mendadak selalu macet jika waktu telah memasuki waktu Ashar. Waktu yang seharusnya menjadi ajang mencari kedamaian dalam munajat, ternyata bagi sebagian manusia-manusia itu adalah waktu yang paling tepat untuk ngabu-burit menghabiskan tenaga yang tersisa untuk memburu makanan yang sudah diimpikan sejak siang.
Setiap senja menjelang, kota kecil itu mulai terpolusi oleh suara klakson yang efektif bikin telinga mendadak budeg, kepala menjadi pening, dan emosi harus setengah mati ditahan agar tidak meledak. Melihat kemacetan di jalan utama kota kecil itu, yang di dominasi oleh mobil-mobil mewah, cukup mengisyaratkan ternyata masyarakat kota itu tidak tertinggal seperti kebanyakan orang berbicara. Walau memang kota itu termasuk kota yang tertinggal dari segi pembangunan, baik manusianya maupun infrastrukturnya.
Begitu banyak mobil-mobil mewah di parkir di pelataran mall, rumah makan mewah dan juga masjid terbesar di kota itu, yang saya fikir telah berubah menjadi wahana wisata, bukan untuk ibadah. Kota kecil yang cukup padat penduduk. Cukup padat oleh para tukang becak yang menunggu penumpang sambil tiduran atau menyedot es teh tanpa ada rasa beban sedikitpun. Cukup padat pula oleh orang-orang yang berlomba-lomba memasang tampang memelas, menadahkan tangan untuk keperluan makan dan minum mereka. Sedangkan kemampuan fisik mereka, masih bisa lah jika mereka mau bekerja meski ala kadarnya. Namun, setidaknya mereka menjadi bukti, bahwa kota itu pun dipadati oleh orang-orang malas.
Senja kemarin, aku pun tak berniat menghabiskan waktu itu dengan menelusuri kota itu dari dalam angkot. Malas sekali ke luar pada waktu-waktu seperti itu, macet, bising dan ah….terlalu banyak pemandangan yang tak pantas dipertontonkan di bulan suci seperti ini. Namun, senja kemarin telah membuat ku berfikir tentang sebuah rasa syukur dan sebuah aksi yang harus segera aku lakukan.
Mataku tertuju pada sosok gadis 15 tahunan. Di perempatan lampu merah, dia bersama teman laki-lakinya, dengan tampang layu menadah dengan modal suara sumbang yang dipadu dengan gitar yang dipetik sekenanya. Yang membuatku tertegun adalah perutnya yang membucit. Tentu bukan karena dia korban busung lapar. She is pregnant. Ya, itu yang membuat ku tercengang. Dan mungkin, laki-laki yang bersamanya adalah bapak dari calon bayi yang tengah dikandungnya. Sebuah pemandangan yang telah menamparku, menagih simpati dan amalku. Ia menuntutku untuk berbuat. Bukan lagi berdiskusi dan berjibaku dengan konsep-konsep yang tak lebih hanyalah bualan. Tak kuasa aku menahan sesak yang sekonyong-konyong menyerbuku. Tak mungkin aku menjadi sok cengeng di depan para penumpang.
Pemandangan tadi, masih menjadi menghiasi Ramadhanku kali ini. Di sepuluh hari terakhir, disaat orang-orang harusnya berlomba di atas mihrabnya. Tak mungkin, jika ternyata masih ada mereka-mereka diperempatan lampu merah itu. Ingin sekali aku turun dan ku ajak dia pulang bersamaku. Ingin sekali aku tanyakan mimpi-mimpinya.
Mungkinkah mereka akan setia menghiasi wajah bangsa ini setiap harinya? Gadis itu, anak-anak jalanan itu, nenek-nenek itu….yang wajahnya menyiratkan duka yang dimake-up oleh senyum getir.
Ah … sudah saatnya berbuat. Mereka pun berhak menikmati Ramadhan di dalam masjid, menikmati indahnya tarawih dan I’tikaf di sepuluh malam terakhir ini. Jika tidak pada Ramadhan kali ini, semoga Ramadhan tahun nanti, mereka menjadi orang-orang yang paling bersemangat menyambutnya dan menyemarakkannya dengan ibadah-ibadah mereka. Semoga.


- Syahidah Lamno -

Aku Di 24 tahunku

Taman Firdaus, 21 Ramadhan 1431 H / 31 Agustus 2010
Di sepuluh terakhir Ramadhan, ia pun menyisakan elegi yang ingin segera ku akhiri …

Bismillahirrahmanniraahiim
Di pertengahan malam ini, Ramadhan ke dua puluh satu, ia begitu mampu menggerakkan hati ini untuk berbicara tentang sebuah elegi. Ya, ia berkata betapa ia tak ingin berpisah dengan Ramadhan. Sembilan hari lagi, menjadi sebuah hitungan yang terasa cepat. Rasanya baru kemarin aku menikmati ni’matnya sejuknya air menyirami dahaga di waktu berbuka dan nikmatnya menahan kantuk di waktu sahur. Kini, ia pun perlahan tapi pasti, mendekati saat-saat perpisahannya.
Ramadhan ini, kali kedua bagiku untuk mengevaluasi diri tepat pada moment yang mampu menampar kesadaranku bahwa waktuku pun tak akan lama lagi. Dua hari yang lalu, genap sudah dua puluh empat tahun aku di sini, di dunia ini. Usia yang cukup matang untuk disebut sebagai orang dewasa. Ya, aku pun tak ingin orang-orang menempatkanku sebagai anak kecil ingusan yang baru mengenal dunia. Sudah saatnya mereka tahu, bahwa aku bukanlah Fitri si bungsu. Tapi akulah Fitri yang mandiri.
Ya, mereka semua harus tahu. Boleh saja mereka mengatakan aku manja, meski aku tak pernah merasakan bagaimana manja. Ya karena aku mau manja kepada siapa? Di sini aku seorang diri. Keluargaku pun tak pernah mengajarkanku manja. Mereka hanya mengenalkan padaku bagaimana menjadi pribadi yang tegar seperti prajurit-prajurit yang tak lelah bertempur.
Subhanallah, tak kuasa aku menahan haru ketika ku ingat semua perjalanan di dua puluh tiga tahun yang lalu. Setidaknya di fase aku mulai berfikir bagaimana kehidupan ini harus aku sikapi. Begitu banyak hal yang kini aku maknai hikmahnya. Ingat sekali aku di usia delapan belas tahun, persis setelah aku lepaskan seragam abu-abu-putih, aku tekadkan keluar rumah. Aku mengenal dunia baru yang bernama petualangan dan pengorbanan. Di sana aku belajar kemandirian dan kedewasaaan. Aku pun berjumpa dengan orang-orang yang bermental baja. Yang dari mereka aku belajar banyak hal.
Aku sadar, ada hati yang harus aku jaga. Ia adalah hati yang paling lembut. Yang tak pernah rela orang yang dicintainya terluka atau menderita. Hati yang selalu menguraikan do’a dalam setiap langkahnya. Ia adalah hati wanita termulia yang pernah aku kenal di dunia ini. Ibuku. Aku tahu ia menangis ketika melepas ku pergi. Namun ia tak ingin aku mengetahuinya. Ia tersenyum tegar ketika kulambaikan tangan perpisahan. Maafkan aku ibu, pernah membuatmu menangis. Namun terimakasihku atas keridho’anmu melepasku pergi berjuang.
Di usia itu, aku belajar bagaimana menghadapi kegagalan demi kegagalan. Pahit memang, namun tetap saja, ada manis yang bisa kucicipi. Dari sana, sekali lagi, aku dituntun untuk belajar tegar untuk menjaga hati agar tidak goyah. Sampai akhirnya aku benar-benar merasakan manis yang sama sekali tak ada pahitnya. Walaupun aku harus kembali (mungkin) mengurai air mata ibuku. Aku harus pergi dari rumah demi masa depanku.
Kini, tak terasa sudah hampir lima tahun aku di sini. Meninggalkan kehidupan sebelumnya yang jauh berbeda. Aku hidup dalam persaingan, dan aku harus menang. Di sini, aku belajar kemandirian. Ah, tak begitu sulit hidup mandiri. Toh dulu aku pernah merasakannnya, bahkan lebih keras perjuangannya. Lima tahun, benar-benar telah menjadikanku manusia baru. Ehm …sulit sekali memulai cerita lima tahun yang lalu. Tapi harus ! Harus aku ceritakan.
Awal yang indah, ternyata tak selamanya indah. Bahkan banyak sekali duri-duri yang menusuk kakiku ketika aku melewatinya. Tak jarang pula, air mata ini terpaksa aku teteskan agar aku merasa ringan dari beban yang memberatkanku. Berulang kali, hati ini dihadapkan pada peristiwa yang sama dan sungguh ….luar biasa tarbiyah itu. Ia memang menyakitkan, namun ia membuahkan ketegaran dan kekuatan yang begitu besar pada jiwa ini. Ia mengajarkan ku untuk tegar, di saat yang lain lemah. Tersenyum di tengah duka yang ada dan tertawa di saat air mata tak henti-hentinya menemani.
Ia mengajarkan ku bagaimana teguh di atas kekuatan sendiri, meski pun ia lemah. Meski pun aku di sini tak kekurangan cinta, namun aku sadar, tak selamanya cinta itu bersamaku untuk aku miliki. Ada saatnya, nanti, harus aku tinggalkan. Karenanya, aku pun selalu di tegur oleh Nya dengan peristiwa-peristiwa yang membuatku semakin yakin hanya cinta Nya lah tak akan mungkin aku tinggalkan, karena ia adalah cinta yang tulus dan tak mungkin terkotori oleh cemburu yang membabi buta.
Untuk urusan ini, aku bersyukur, kini aku tak secengeng dan melankolis seperti saat di awal. Logikaku begitu kuat mendominasi. Namun, bukan berarti aku perempuan yang tak mempunyai hati. Aku hanya tak mau terlalu lelah dengan hal-hal yang berhubungan dengan hati. Toh, semuanya sudah diatur. Indah atau menyakitkan, ya memang begitulah sunnahtullahnya.
Di dua puluh empat tahunku kini, aku semakin kuat memberontak. Ingin aku berlepas dari belenggu yang selama ini tak terasa begitu kuat menguasaiku. Ia membuatku tak mampu memiliki diri ku seutuhnya. Ingin aku teriakan, aku pun punya kehidupan yang harus aku jalani dan aku rancang. Tak mungkin selamanya aku di sini. Adakalanya, aku pun harus berfikir bagaimana satu, dua, atau tiga tahun ke depanku. Tak jarang, aku berfikir untuk mencari dunia baru, tempat baru yang akan menorehkan sejarah baru untukku. Salahkah aku dengan jalan berfikirku ini? Sebagian orang mengatakan ya. Aku terlalu egois, hanya berfikir kebahagiaan sendiri.
Maaf kawan, aku tak egois. Aku inginkan sebuah dunia baru, karena aku tak ingin selamanya menjadi sosok yang kalian fahami. Sudah saatnya kalian pun harus memahami maksudku, ambisiku dan masa depanku yang sedang aku persiapkan saat ini. Aku mengerti, akan ada hati-hati yang tak rela dengan keputusanku. Namun, sudah saatnya aku berfikir realistis dan juga idealis. Aku tak ingin kehidupanku “didikte” oleh skenario yang tak pernah kurancang. Aku ingin kehidupanku.
Lelah. Sungguh sangat melelahkan ketika logika dan hati tarik menarik. Logikaku ingin sekali berontak, namun hatiku mengatakan, “sabar …jagalah hati-hati itu.” Namun, bagaimana dengan ku, tak berhakah aku bahagia? Aku tak mengerti dengan hati-hati itu. Aku seperti ‘pengkhianat’ yang harus mengendap-endap ketika ingin beraksi. Dan aku pun lelah, ketika selalu ada ‘dakwaan’ yang mengarah padaku. Aku menjadi terdakwa yang tak pernah bosan dengan ‘dosa’ yang selalu ku buat. Selalu ada salah yang harus terpaksa ku akui.
Di dua puluh empat tahunku, aku semakin berambisi pada cita-citaku. Telah kupancangkan tekadku sekuat-kuatnya untuk aku raih semua mimpi-mimpiku. Aku tak ingin lagi menjumpai kegagalan yang bertubi-tubi. Di usiaku ini, aku yakin pada mimpi-mimpiku. Dan aku begitu yakin, esok akan menjadi kenyataan. Semoga.



- Syahidah Lamno -

Selasa, 17 Agustus 2010

Kamuflase Kemerdekaan

Begitu banyak cerita kepahlawanan yang sering kita dengar. Namun sebanyak apa kita menghargai hasil perjuangan mereka ? Jika kita sering mendengar cerita perjuangan para pahlawan kemerdekaan, seperti apa saat ini mereka dihargai ?
Di tengah semangat orang-orang mengibarkan bendera merah putih, di tengah meriahnya lagu kebangsaan dinyanyikan, lantas dimana semangat perjuangan mereka kini? Apakah terwariskan? Kemerdekaan yang kini kita nikmati sebagai warisan perjuangan mereka-mereka yang berkorban dengan sebaik-baik pengorbanan, ternyata tak lain hanya nilai simbolik yang hanya kita kenang dan kita hargai setiap satu tahun sekali, hanya sehari dan hanya beberapa jam.
Dan kemerdekaan itu sendiri, apakah ma’nanya benar-benar terejawantah dalam sistem kehidupan bangsa ini ? Jawaban itu, tergantung perspektif masing-masing. Secerdas apa akal menganalisis, maka disitulah kemerdekaan diartikan. Tentunya kita bukan-bukan orang-orang yang latah meneriakkan MERDEKA, tetapi perilaku yang terlihat sangat jauh dari arti merdeka. Tak jarang kita justru memproklamasikan bahwa kita adalah “budak” yang bangga melakonkan setiap perintah tuannya.
Kemerdekaan saat ini hanya dinikmati oleh orang-orang yang terbiasa berjalan di atas karpet merah. Sedangkan mereka yang berjalan tanpa alas kaki, tak jauh berbeda dengan orang-orang yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada yang memaksa mereka “kerja rodi”, bahkan mereka begitu agresive mencari sumber penghidupan mereka. Namun, mereka tak punya ruang lain untuk lepas dari jerat “kerja rodi” itu. Sehari saja mereka rehat, tak ada nasi dan lauk sederhana di atas piring.
Apa itu merdeka ? Dan milik siapa merdeka itu? Jika masih ada orang tua yang tega membakar diri dan kedua anaknya karena mereka tak merdeka dari urusan ekonomi? Atau anak-anak jalanan, orang tua renta di lampu merah, penjual di warung remang-remang, jual beli manusia, dan seabreg kebiadaban manusia lainnya masih menjadi warna hitam dominan yang mewarnai wajah bangsa ini? Apakah seperti ini arti kemerdekaan?
Bendera kita adalah merah putih. Merah, sebagai bukti keberanian pejuang kita mengenyahkan segala bentuk penjajahan, kini telah terkotori oleh perilaku pecundang dan penjilat orang-orang yang “terwariskan” menggerakkan roda negeri ini. Keberanian itupun menguap berganti keserakahan, penjarahan, anarkisme, tawuran, pembunuhan, perampokan, perkosaan dan perilaku sok berani lainnya yang semakin mengkarakter. Keberanian itu pun berubah menjadi sikap apatis ketika karakter bangsa ini ditukar bahkan dimatikan.
Keberanian untuk berkata TIDAK atas segala bentuk perbudakan, kini terbungkam rapat oleh dolar berlembar-lembar. Ya …sangat lucu, menjadi budak di negeri yang katanya telah merdeka selama 65 tahun. Miskin di negeri yang begitu melimpah sumber kekayaan alamnya. Kelaparan di tengah hamparan ladang padi berhektar-hektar.
Putih, bukti kesucian tekad untuk membebaskan bangsa dari perbudakan atas nama Tuhan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil, ah …orang-orang kecil tidak mengenal kata itu. Itu kata yang sangat mahal. Untuk mendapatkannya, tidak cukup dengan memajang wajah pucat, mata celong dan tubuh kurus kering. Jika belum ada yang namanya SKTM, orang-orang miskin yang sakit, hanya pasrah menunggu ajal. Jika raskin tidak diberikan, mana mungkin orang-orang yang berpenghasilan 10 rb-15rb per hari bisa makan bersama istri dan 5 orang anaknya? Negeri yang kaya dengan hasil padi, masih harus menyediakan beras “spesial” untuk rakyat miskin. IRONIS.
Beradab, adab yang mana harus diterapkan? Anak muda yang tidak punya adab kepada orang tua, pun orang tua yang tidak beradab kepada anak muda. Kebajikan yang sudah terbalik-balik. Kesucian tekad saat ini, sekali lagi telah menghilang. Mungkin karena usia yang sudah tua, 65 tahun, bangsa ini semakin pikun dengan “pelajaran-pelajaran” tempo dulu. Akalnya semakin melemah untuk mengingat bagaimana “pelajaran” itu harus difahami. Terlalu berat jika harus memikirkan bagaimana bangsa ini dipertahankan kedaulatannya. Itu kan urusan hidup masing-masing. Maka urus sendiri saja urusan dapur kalian masing-masing. Kaya atau miskin, kenyang atau lapar, rumah istana atau gubuk reot, itu selera masing-masing.
Merdeka, ia hanya kamuflase. Simbolis saja. Substansinya, bangsa ini masih menangis terjajah. Teriakan MERDEKA tempo dulu, terkumandangkan dari ujung Sumatra sampai pedamalan Irian. Dan saat ini, air mata dan keringat bangsa ini masih semangat menetes untuk merebut kembali kemerdekaan yang sudah 65 tahun lalu mensejarah. Agar ia tak kamuflase, agar ia bukanlah simbol belaka, tetapi rahmat untuk negeri ini, saat ini, esok dan selamanya.

MERDEKA Indonesiaku !!!!
- Syahidah Lamno -

Minggu, 08 Agustus 2010

Akankah Lelah ini Terobati....?

Senja, 8 Agustus 2010
Di penghujung senja, terurailah air mata pengiring lelah, yang tiada bosan mendera….

Akankah lelah ini terobati … ?
Senja, senangnya aku bisa menjumpaimu saat ini. Meski sebentar lagi kau akan pergi, dan malam akan mengganti waktumu. Huuh, kawan, hari ini aku lelah sekali. Sangat lelah. Entah, aku tak tahu kenapa. Sesaat tadi, baru saja air mataku tumpah. Lega, meski masih masih ingin kutumpahkan lebih banyak lagi.
Kawan, jalan cerita hidup ini memang kadang tak bisa dimengerti. Dan karena ketidakmengertian itu, tak jarang menjenuhkan alam fikir dan menyesakkan lelah yang tak terperi. Jalannya cerita yang penuh dengan teka-teki, sungguh, ingin segera ku akhiri.

Kembali, nurani ku “tertampar.” Dan sungguh, tak sanggup aku menahan sakitnya. Peristiwa demi peristiwa yang mengisi, begitu ku rasa berat dan selalu kekuatanku hampir tumbang. Ya, hampir saja, aku kehilangan kekuatanku. Ia terguncang hebat oleh kuatnya hantaman peristiwa.
Oh … jiwaku. Ia tak akan mungkin bertahan sampai saat ini kalau bukan karena cinta Nya. Ya, cinta Nya, begitu dahsyat ia membuaiku. Membuatku kadang tersenyum di tengah dukaku. Membuatku tertawa di tengah derasnya air mataku menemani. Dan, kau tahu kawan, semua yang mengguncang jiwaku ketika ku pahami, ternyata tak lebih, bahwa setiap guncangan itu ternyata semakin mengokohkan akar kekuatanku. Sehingga, aku pun tak kan roboh ketika ia kembali menerjangku dengan kisah yang lebih getir untuk aku terima.

Ketika ku rasa aku memang kuat, sekali lagi tak bisa ku pungkiri, aku lelah…sangat lelah dengan alur cerita yang seperti ini. Bukan … bukan maksud ku untuk menggugat Nya. Namun salahkah aku jika ku adukan lelah ini ? Berdosakah jika aku kemudian bertanya, akankah lelah ini terobati ? Kapankah lelah ini akan segera ku semai dengan janji Nya, busyro kumul yauma jannaatin tajrii min tahtihal anhaar ? Atau, adakah busyro itu pun aku dapati di sini, di dunia ini? Di tempat aku menanam semua “benih” untuk aku panen kelak, setidaknya ia akan semakin mampu menguatkanku, meski fana. Aaah… tidakkah cukup kau pinta yang lebih tinggi dari itu wahai jiwa?
Kawan, benarlah ketika Dia pun selalu mengingatkan, “ Qul hasbiyallah ! “ Satu panggilan yang mencukupkan kita hanya kepada Nya. Tak bersandar pada selain Nya, karena itulah sebaik-baik kekuatan, itu yang ku fahami dari ma’na panggilan itu. Dan aku pun menguatkan kelemahan yang ku miliki, dengan mengeluh di hadapan Nya. Ooh…ringkihnya diri ini. Tak ku fikirkan bertandang ke “ruang” yang lain untuk menyampaikan desah keluhku.

Namun, taukah kawan, apa yang kemudian harus aku coba mengerti lagi? Entah, apakah mungkin karena kekuatan yang tak pernah aku sangka melingkupiku, atau karena aku yang terlalu egois dengan keakuanku? Entahlah….. Yang pasti, ada kecewa yang tergores di hati orang-orang yang pernah menyatakan cintanya padaku. Orang-orang yang rela menyebutnya sahabat untuk menemaniku. Mereka bilang,” Kau terlalu sombong dengan kekuatanmu. Tidak lebih baikkah, kau bagi ceritamu padaku?”

Maaf kawan ! Bukan aku tak menghargai kesetiakawananmu. Namun, aku telah sepenuhnya nyaman berbagi cerita hanya pada Nya. Karena tak ada hijab yang membatasi, entah itu waktu atau tempat . Kapanpun, dimanapun…aku tak jeda mengetuk ijin Nya untuk aku sampaikan desah keluhku, saat memang aku membutuhkan “ruang” yang lebih luas untuk menumpahkannya. Dan “ruang” itu adalah cinta Nya, yang terwujud oleh sifat Penyantun Nya yang semakin membuat hatiku bergetar.
Kawan, di senja ini telah ku bagi satu cerita lagi dengan mu. Ringan rasanya jiwa ini, terang kiranya fikiran ini, lapang rasanya hati ini…seolah telah kuenyahkan segala yang menyesakkan. Meski tak semua.

Akhirnya waktumu pun digulir oleh malam. Dan saatnya aku pun pamit. Terimakasih untuk senja yang indah ini. Moga esok, keindahan senja ini pun akan ku jumpai lagi. Amiiin. Amsaina wa amsal mulku lillah walhamdulillahi laa syariikalahu.
- Pemburu Syahid -

Ketika Perempuan Mengambil Peran


Ada sebuah statement yang menggelikan dalam sebuah diskusi sebuah kelompok pergerakan. Seorang laki-laki (menikah) berkata seperti ini“ Silahkan para akhwat itu mengambil peran, tetapi jangan istri saya,” LHO ???? What does it mean ?
Ya, saya yakin kita semua sudah bisa menebak jalan berfikir si bapak tadi. Tidak semua orang (terutama laki-laki) setuju ketika perempuan mengambil peran di luar peran domestiknya. Seorang perempuan (menikah, dengan tiga anak) menyampaikan, “Sebenarnya itu adalah permasalahan klasik yang kemudian mementahkan potensi akhwat.” Ehm, permasalahan klasik yang dilumrahkan.

Dilumrahkan, karena ketika perempuan mengambil peran lebih, maka hal itu seolah menjadi ancaman akan peran domestiknya. Para lelaki itu mengkhawatirkan mereka akan sulit membagi waktu atau kewalahan memanage urusan rumahnya. Satu hal yang menggelitik di sini, “kewalahan memanage urusan rumahnya.” Seakan ada sebuah doktrin bahwa tugas memanage rumah adalah absolutely tugas perempuan. Tugas rumah yang tidak ada masa cutinya, ternyata sebagian masyarakatpun sepakat itu adalah wilayah kerja perempuan.

Bahkan, bagi sekelompok orang yang menyatakan dirinya adalah kelompok pergerakan da’wah, menjadikan sebagian perempuan (akhwat) di dalamnya hanya sebatas “penggembira” saja. Tidak semua ikhwan, ternyata dalam aplikasi amalnya, memposisikan perempuan (istrinya) sebagai partner yang bisa di ajak berbagi, bertukar ide, dan saling menguatkan akan amanah umat yang menguras kerja otak. Cukup di rumah, itu kata sebagian mereka. Dan tak sedikit pula yang “mengancam” istrinya yang aktif di luar dengan statement yang membuat para istri itu “scakemat”, POLIGAMI. Jadilah poligami itu menjadi monster yang menyeramkan bagi para istri.
Seorang akhwat lajang dengan terheran-heran bertanya, “ Ko’ bisa seperti itu, bukankah mereka orang-orang yang tertarbiyah ? Harusnya mereka mengerti dengan peran da’wah istrinya dan mendukungnya. “ Sayang, tarbiyah saja ternyata tidak cukup. Karena tarbiyah tidak selalu berhasil mereduksi karakter negatif seseorang. Tak salah kemudian jika, kita perlu melihat latar belakang pendidikan seseorang di dalam keluarganya. Bagaimana orangtuanya memperlalukan anak laki-lakinya. Itulah yang akan membentuk karakternya, yang akan berefek bagaimana ia memperlakukan orang lain, serta anak dan istrinya. Apakah dia termasuk ke dalam orang-orang yang terbawa pada sebuah “doktrin” bahwa tugas kerumah tanggaan adalah tugas perempuan? Apakah jalan fikirnya mampu menggerakkan tangannya membersihkan panci dan piring-piring kotor di dapur? Atau tanggap ketika anak-anak rewel, dari tingkat merengek, nangis sampai di antara mereka ada yang gulet. Tak semua, dengan artian masih ada di antara mereka.
Untuk hal ikhwal tentang peran managerial dalam rumah tangga, pernah diadakan semacam kajian khusus, namun lagi-lagi under estimate statement itu kembali mencuat, “ Ngapain ngomongin masalah itu? Ga penting. Lagian itu kan wilayah kajian kaum istri.” IRONIS. Bukankah ketika dua orang berkomitmen untuk membentuk sebuah keluarga kecil, artinya ada sebuah kesepakatan kerjasama satu sama lain? Pernah suatu ketika mendengar cerita tentang “proses” orang-orang yang akan menikah. Ketika di adakan dialog diantara keduanya, dijelaskan tentang aktivitas calon istrinya, dan ditanyakan bagaimana jika setelah menikah nanti, istrinya tidak hanya berkutat pada peran domestik saja? Jawaban mayoritas adalah “itu bisa dikomunikasikan.” Namun banyak juga jawaban yang masih menggantung.

Dan kemudian ? Jawaban di awal tadi, banyak yang amat jauh dari harapan. Lalu apa artinya? Ternyata tidak ada kesiapan. Kesiapan mental, karena terlalu banyak terkaget-kaget. Tidak siap ketika istri berbagi waktu di luar. Dan sekali lagi, karena most of them do not comprehence or do not want to comprehence tentang hal ikhwal kerumah tanggaan, kemudian keluarlah dalih, “ Sudahlah di rumah saja. Biar saya yang di luar. “

Kesiapan di awal, yang dengan cepat tergilas seiring dengan berjalannya usia mereka dalam kebersamaan. Dan inilah yang kemudian masuk dalam daftar evaluasi, apa yang dimaksud dengan kesiapan itu? Dan sejauh mana kesiapan itu disiapkan? Jangan-jangan hanya semangat nikahnya aja yang gede, sehingga membutakan diri, bahwa sesungguhnya dirinya belum siap. Terutama kesiapan menghadapi segala sesuatu yang jauh dari harapan. Tentang hal-hal yang pahit yang mungkin akan cepat menghiasi di awal perjalanan.
Kawan, sahabat dan saudaraku semuanya, kita di sini, di komunitas yang menamakan diri sebagai komunitas pembaharu, kita fahami tentunya perlu kerja jama’i yang seimbang. Laki-laki dan perempuan, semuanya memiliki tuntutan yang sama. Keduanya adalah manager. Ketika da’wah ini dikembangkan, mayoritas pendukungnya adalah perempuan. Tidaklah bijak, jika kemudian peran potensial perempuan dalam memperbaiki umat ini terkikis, karena doktrin yang “mematikan.” Bagaimanapun perempuan tetap memiliki andil dalam melakukan perbaikan. Minimalnya, mereka bergerak untuk perbaikan perempuan. Karena permasalahan perempuan, hanya perempuan yang bisa menyelesaikan. Semakin meningkatnya grafik wanita rawan sosial ekonomi, yang kemudian berimbas pada perdagangan manusia, tidak cukup diselesaikan oleh tangan laki-laki.

Bagi perempuan lajang, mengambil sebanyak mungkin peran di masyarakat, mungkin adalah sebuah hal yang mudah dan tidak memberatkan siapapun. Namun bagi perempuan menikah, ini tentu perkara yang harus kembali dipertimbangkan. Kembali kepada komitmen, pemahaman dan juga yang paling penting adalah pengertian untuk saling bahu-membahu. Persiapan dan pematangan bukan hanya harus dilakukan oleh perempuan, tetapi juga laki-laki.Karena pada hakikatnya keduanya actor yang akan memainkan “drama” rumah tangganya. Wallahu’alam.

Minggu, 01 Agustus 2010

Berkorban Karena Cinta

oleh Syahidah Lamno

“ Katakan bahwa engkau mencintaiku,” ungkap seorang sahabat suatu hari. “Maaf, aku bukan tipe orang yang mudah mengucapkan cinta atau sayang, bagiku keduanya tak musti diungkapkan, yang penting adalah perbuatannya.”
Dua persepsi yang berbeda, dari dua orang yang memaknai cinta. Satu, dia berpendapat cinta adalah kata yang selayaknya diungkapkan sebagai pembuktian, sedangkan orang kedua, cinta tidak musti di ungkapkan, yang penting adalah perbuatan. Cinta baginya adalah kata kerja yang memang hanya bisa diterjemahkan dengan perbuatan. Tak perlu mengumbar kata-kata manis, cukup dengan perbuatan yang mewakilinya.
Memang, teladan kita, Rasulullah saw, pernah mengatakan kepada kita, kurang lebih seperti ini, “ Jika engkau mencintai saudaramu, maka sampaikanlah, itu akan mengukuhkan hubungan diantara kalian.” Satu anjuran yang indah, dan rasional. Ungkapan cinta, akan sangat berdampak positif pada psikologi seseorang. Memberikan asupan “energi” yang luar biasa. Membuat bibir manyun menjadi senyum, membuat hati yang mendung menjadi bersinar seperti mentari. Segalanya menjadi indah, itu intinya.
Namun, ternyata tidak semua orang mampu mengungkapkan kata itu. Hal ini pula yang kadang menjadi permasalahan di antara orang-orang yang saling mencintai. Seperti kisah di atas. Dan, alangkah bijaknya, bila setiap kita tidak terlalu banyak menuntut orang yang kita cintai untuk berbuat seperti keinginan kita. Perbanyaklah berbuat, itu pun akan lebih mampu mengukuhkan.
Apalah artinya kata jika tanpa pembuktian ?
Ketika kita bertekad untuk mencintai, bertekadlah untuk memberi. Memberikan pengorbanan. Pengorbanan waktu, tenaga, fikiran, harta dan apa saja yang kita miliki. Alaminya, semangat berkorban itu, bahkan lebih kuat mendorong untuk segera dilakukan, dari pada lisan yang mendorong untuk mengatakan. Perbuatan secara tidak langsung adalah terjemahan hati, tetapi kata, tidak selamanya adalah bukti isi hati.
Kekuatan cinta yang hadir di dalam sebuah hati, sejatinya membuat segumpal hati itu berbuat untuk hati yang di tautkan. Tak mustahil ketika hati kemudian mengalah untuk kebahagiaan hati tertaut atau menangis demi senyum hati yang tertaut. Ia kuat karena cinta yang ikhlas. Tak menuntut ketika cinta tak berbalas, atau mencaci ketika cinta dikhianati.
Teringat kesetiaan cinta Abu Bakar Ash Shiddiq kepada sahabat tercinta, Rasulullah saw. Nyawa menjadi taruhan dalam setiap peristiwa. Hati lembut Abu Bakar yang tersentak ketika kekasihnya itu mengisyaratkan perpisahan pasca haji wada’. Tangispun tak sanggup dibendung. Pecah seketika. Pun Rasulullah, yang tak ragu menyatakan cintanya kepada Abu Bakar di hadapan sahabat yang lain. Namun, tetap indah, tak ada dengki apalagi sikap cemburu yang membabi buta. Keikhlasan cinta yang tumbuh, tak mengeruhkan sikap. Justru menghadirkan perlombaan cinta yang begitu kompak di antara mereka.
Cintailah saudara kita dengan kecintaan yang ikhlas dan adil. Cinta yang tak hanya kita semai di dunia ini namun juga di hamparan hijaunya taman Firdaus. Semoga.