Pernah ada sebuah pembicaraan yang menarik tentang dua akhwat caleg ga jadi.
” Assalamu’alaikum, gimana mba, jadi ga ? Alhamdulillah ana ga jadi.”
“Alhamdulillah ana juga ga jadi. Terlalu besar saingan dengan ikhwan.”
Hal menarik yang ana tangkap dari percakapan itu, bukanlah kita kemudian berkesimpulan bahwa peran da’wah adalah sebuah persaingan antara ikhwan dengan akhwat. Namun satu hal yang paling menarik yang bisa ditarik dari fenomena di atas adalah lunturnya paradigma berfikir dari kalangan muharrik da’wah tentang sebuah idealisme da’wah. Maksudnya ?
Sejatinya, seorang muharrik da’wah dalam membangun peradaban besaar ini, dimulai dari peradaban kecil di dalam rumahnya. Saat meniatkan langkah untuk membangun kesatuan visi misi dalam rumah tangga, apakah itu kemudian telah menjadi sebuah kesepakatan bersama bahwa rumah tangga yang dibangun adalah benar-benar di atas manhaj rabbani dan sebagai salah satu visi-misi da’wah. Konsekuensinya, akan ada peran managerial yang seimbang antara kedua belah pihak (suami-istri) dalam menunaikan tugas-tugas da’wah dan tugas di dalam rumahnya. Agaknya idealisme itu semakin tak memiliki ruh. Fenomena yang berkembang kebanyakan saat ini adalah da’wah hanya milik kaum suami. Tugas istri hanya sebatas manager domestik.
Ketika seorang muharrik da’wah (ikhwan ataupun akhwat) memutuskan untuk menikah, satu hal yang menjadi pertimbangan saat itu (idealnya) adalah da’wah. Artinya bagaimana kemudian pernikahan itu mampu menjadi kekuatan dalam bangunan jama’ah da’wah ini, dengan saling berta’awun dalam melaksanakan tugas-tugas, sehingga paradigma “Di Jalan Da’wah Aku Menikah” dapat mudah diterjemahkan.
Imam Syahid Hasan Al Banna mengatakan dalam risalahnya,” Islam meninggikan harkat dan martabat wanita dan mengangkat nilai kemanusiaannya serta menetapkannya sebagai saudara bagi sesamanya dan partner bagi laki-laki dalam kehidupan.” Sebagimana firman Allah swt dalam surat At Taubah : “ Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan Rasul Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
Da’wah adalah kewajiban individu muslim, tak bisa diwakilkan. Laki-laki dan perempuan adalah partner dalam da’wah, sepasang manager yang profesional dalam rumah tangga. Tidak berlepas dari tugas asasi perempuan, namun bukan berarti dia “terpenjara” olehnya. Dan bukan berarti laki-laki pun tidak memiliki andil dalam mengurus rumah tangganya. Sekali lagi, semuanya kembali kepada sejauh mana ta’awun menjadi semangat dalam menunaikan tugas.
Sejenak, sebelum berbicara tentang ta’awun, dia tidak mungkin diwujudkan sebelum adanya tafahum. Ya, tafahum akan tugas dan kewajiban dari masing-masing, sehingga tidak akan hanya muncul dari keduanya penuntutan hak yang harus dipenuhi. Seorang suami, bagaimana dia memahami bahwa istrinya bukan perempuan biasa. Dia yang juga aktivis, memiliki kewajiban terhadap da’wah yang tidak mungkin diwakilkan apalagi diabaikan. Artinya, seorang istri memiliki kompensasi didalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangganya, yang pada hakikatnya adalah tugas paruh waktunya. Pemahaman akan hal inilah yang kemudian akan mampu mewujudkan ta’awun. Seorang istri bukanlah super woman apalagi robot yang mampu melakukan berbagai tugas.
Tidak bisa dipungkiri, di tengah-tengah idealisme yang dibangun di atas da’wah ini, para suami (ikhwan) banyak yang kemudian berfikir untuk menikah dengan akhwat yang biasa-biasa saja. Sehingga ia tidak memiliki kesibukan da’wah diluar yang mampu mengurangi waktu dan perhatiannya untuk keluarga. Idealisme da’wah yang berubah menjadi kekuatan ego sentris. Dan peran akhwat (istri) dalam membangun peradaban yang lebih besar itupun di anggap tidak begitu strategis.
Berbicara tentang sinergisasi peran, seperti pada tulisan saya sebelumnya (Istikrorud da’wah), seorang suami tidak akan terkurangi izzahnya sebagai kepala rumah tangga ketika ia menyetrika, mencuci ataupun memasak untuk keluarganya. Rasulullah pun, dengan segala kemuliaan yang dimiliki, pernah menjahit bajunya yang robek dengan tangannya sendiri yang penuh kelembutan. Imam Al Banna, dengan berbagai agenda da’wahnya yang cukup menyita waktu untuk beliau bercengkrama dengan keluargnya, bukan berarti beliau tak memperhatikan urusan istri dan anak-anaknya. Bahkan beliau memiliki catatan rapih tentang kesehatan, permasalahan sekolah serta prestasi anak-anaknya. Beliau pun tidak segan-segan untuk mengantarkan bekal untuk anak-anaknya di sekolah. Artinya, beliau pun berperan besar dalam mengurusi dan menentukan masa depan anak-anaknya, bukan hanya masa depan Islam.
Berbagai materi telah banyak kita dapatkan, hingga mampu kita tumpuk materi-materi itu dalam buku Liqo’ yang bisa jadi tiga kali ganti dalam setahun. Namun, membangun peradaban ini bukan dengan memperbanyak teori, tapi amal. Amal yang didasari oleh pemahaman yang syumul tentang hakikat dari setiap proses kehidupan ini.
“ Nahnu du’at qobla kulli syai’in.” Sejak awal kita adalah da’i. Saat ini kita da’i. Esok kita da’i. Hingga Islam tegak, kita adalah da’i. Predikat yang tidak tergantikan oleh predikat kedua, ketiga dan seterusnya.
Da’wah ilallah adalah alasan dalam setiap amal kita. “Di Jalan da’wah aku Menikah,” bukanlah sebatas paradigma, tetapi hakikat yang harus ditafsirkan dalam amal nyata. Wallahu’alam.
- Syahidah Lamno -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar