Di pertengahan malam yang dingin menusuk tulang, mata bulat itu terjaga. Ia mengusap-usap kedua mata yang di atapi oleh dua alis tebal dengan sambil menahan kantuk yang sangat, ia mencari sandal tupainya dan melangkah keluar kamarnya yang hanya berukuran 3 x 4 meter. Ia menelusuri lorong rumah tua yang berukuran dua lantai dengan jumlah kamar dua belas, tujuh kamar di bawah dan lima di kamar di atas. Semua kamar yang ada sudah diisi oleh anak-anak kecil yang tidak memiliki orang tua, atau yang tidak diketahui siapa orang tuanya. Yang pasti latar belakang mereka terlalu perih untuk diceritakan.
Di lantai bawah tiba-tiba …
“ IBU ….!!!!!” suara itu ! suara Luthfi. Dengan secepat kereta, Muthi’ segera berlari berhambur ke kamar yang ada di dekat ruang tamu. “ De Luthfi kenapa ? Mimpi ibu lagi ya ? Muthi’ memeluk tubuh anak kecil yang baru berusia tujuh tahun itu. Tubuh Luthfi gemetar, keringat dingin keluar membasahi baju tidurnya. Muthi’ mencoba menenangkan Luthfi dengan segelas air putih. “ Kak, temani Luthfi tidur ya …Luthfi takut mimpi Ibu lagi.” Ya, sayang, malam ini kakak akan temani Luthfi. Yuk …kita tidur lagi. Bismikallahumma ahya wa bismika aamuutu. “
Keduanya pun terpejam menikmati hangatnya selimut malam.
Muthi’ adalah seorang mahasiswi fakultas pendidikan Universitas Negeri Surakarta. Yang bersama-sama teman-teman aktivis lain yaitu Urwah, Fani, Imas, Indi, Fahmi, Ridho, Fajar dengan berbekal tekad dan nekat mendirikan sebuah rumah singgah untuk anak-anak jalanan yang mereka tidak jelas siapa orang tuanya. Ya, mereka adalah korban kebiadaban moral manusia yang menuhankan nafsu mereka. Namun setidaknya mereka memiliki sedikit hati untuk mengizinkan mereka menghirup udara tanah Jawa. Kehidupan dunia ini terlalu keras untuk mereka. Jangan salahkan mereka jika kemudian mereka terdidik untuk mencuri, menjambret, mengemis karena mereka hanyalah korban dari sistem kepemimpinan bangsa yang jauh dari nilai-nilai keadilan untuk rakyat kecil. Siapa yang tega melihat mereka generasi muda bangsa yang terlantar. Mengharapkan “murah hati” pemerintah, kaya’nya terlalu jauh mimpi itu.
Pukul 03.00, Muthi’ terbangun kembali. Alarm yang sudah dia setel tepat menjerit di samping telinganya. Syukurlah Luthfi tidak ikut terbangun. Muthi’ meninggalkan anak kecil itu sediri dikamarnya. Sedikit demi sedikit kesejukkan air kran membasahi tangan Muthi’ yang kurus dan seterusnya, dengan penuh kekhusyu’an sehingga Ia terasa melihat dosa-dosanya turut hanyut bersama air yang mengalir. Ia pun kemudian berdiri di atas mihrab cinta, penuh harap, ia melantunkan ayat-ayat suci yang cukup ampuh melelehkan air matanya. Malam itu terasa sangat panjang, ditemani terang rembulan yang tersenyum simpul melihat tingkah manusia yang merindukan kasih Nya. Hingga sampai pada seruan Shubuh….
“ Ayo anak-anak, udah adzan subuh. Ayo bangun. Kita shalat jama’ah yuk ….!” Suara Muthi’ membangunkan anak-anak, yang langsung disambut dengan riuh suara kaki mereka menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu jati tua.
Ruangan berukuran 4 X 5 meter yang biasa dijadikan tempat Muthi’ bercerita tentang sirah nabawiyah tiap sore, pagi itu terlihat begitu penuh oleh tubuh-tubuh kecil setinggi 100 centimeter yang berjejer rapi, ruku’ dan sujud dengan begitu teratur di hadapan Rabb mereka. Indah sekali.
Hari itu adalah hari Rabu. Selepas subuh, seperti biasa masing anak-anak sudah mendapatkan tugas untuk membersihkan rumah. Dari mulai beresin kamar masing-masing, sapu lantai, ngepel, sampai bersihkan kamar mandi. Setelah semua selesai tepat pukul 6 pagi mereka bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, untuk mendapatkan hak mereka seperti anak-anak yang lain. Sebelum semua penghuni rumah pergi, mba Urwah datang untuk mengisi shift pagi sampai siang menjaga rumah dan menyiapkan keperluan anak-anak ketika pulang nanti. Rumah singgah itu tak hanya menjadi tempat bernaung anak-anak jalanan, tetapi juga mereka jadikan sebagai tempat mangkal aktivis masjid kampus UNS ngumpul, diskusi dan membicarakan banyak hal di sana sambil mengganti giliran memberikan les kepada anak-anak.
Di antara teman-teman aktivis yang lain, Muthi’ salah satu bagian dari mereka yang paling unik. Walaupun ia juga berasal dari tanah Jawa, namun karakter wajahnya tidak bisa menyembunyikan dari mana sebenarnya ia berasal. Namun itu bukanlah masalah bagi Muthi dan teman-temannnya. Meskipun tetap saja kadang itu membuat Muthi’ canggung dan sedikit kaku. Ada kesan yang ingin Muthi’ sampaikan pada teman-temannya, dan bahkan ingin ia teriakkan kepada semua manusia bahwa “aku pun sama seperti kalian.”
Muthi’ bukan hanya memiliki wajah yang unik, tetapi juga karakter, pemikiran, sikap dan seabreg keunikan yang lain. Misalnya, dia lebih cenderung rasionalis dari pada melankolis seperti kebanyakan perempuan lainnya. Dalam artian, dia cukup cuek ketika dihadapkan pada kondisi yang mungkin akan mengakibatkan kebanyakan perempuan, bad mood, uring-uringan dan berrbagai sikap manja lainnya. Yap, tepatnya easy going girl. Tapi, jangan coba-coba mancing emosinya, yang cepet nyulut kalau disinggung soal wajahnya. Pernah suatu hari, waktu makan siang di kantin kampus ada yang iseng deketin Muthi’.
“ Selamat siang… boleh gabung? “
Saat itu Muthi’ dan teman-teman sedang khusyu’ makan sayur asem. Tak ada respon. Sampai akhirnya ….
“ Maaf, anda orang Arab ya …?”
Sontak Muthi’ terhenti. Dan melotot.
“ Anda ngomong sama saya? “
“ Ya, dari tadi saya di sini ingin ngobrol dengan anda.” Ehm … anda orang Arab kan? “
“Emang kenapa? Mau saya orang Arab, Cina, Jawa, Batak… apa urusannya? Emang penting? “
MANTAP ! Seketika teman-temannya pun tegang oleh sikap Muthi’.
“ Muth …nda usah pake otot gitu. Kan orangnya juga nanya baik-baik.” Imas, puteri Solo mengademkan lengkap dengan logat Jawanya.
“ Ehm … ya, memang ga penting. Saya cuma mau memastikan anda memang orang Arab. Karena saya lihat hidung anda berbeda dengan yang lainnya.”
“ WHAT ! sopan bener ya, merhatiin hidung orang. Anda ini ngerti adab opo ora? “
Sendok yang dipegang Muthi’ seketika meramaikan piring yang berisi ikan asin, sambal dan sayur asem. Dia pergi meninggalkan piring yang masih penuh itu.
Tidak peduli perut yang keroncongan, Muthi’ dengan muka merah padam melaju ke masjid kampus. Chesssss … sejuk. Air membasahi wajah Muthi’. Tak terasa sungai kecil di sudut mata elangnya meleleh …
*****
Selepas ashar, di sudut ruang tamu yang kecil, Muthi’ tertunduk khusyu’ mencermati kata demi kata dalam buku Psikologi Islam yang ada di tangannya. Jilbab biru yang dia pakainya, setidaknya mampu mencerahkan wajahnya yang dari siang layu.
“ Assalamu’alaikum mba Muthi’ …?”
“ ‘alaikumussalam warahmatullah …. eeeh Fauzan, sini sayang. Cieee cakep banget, wangi lagi. Dah mandi ya …
“ Hee..heee….emang Ozan kan paling cakep di sini mba. “
“ Iya deh, …
“ Mba, kemarin Ozan lihat di TV, ada berita serem. Ozan nda nyangka ada orang-orang yang kejam membunuh anak-anak kecil. Udah gitu ada ibu-ibu yang nangis minta tolong tapi nda ada yang mau nolongin. Bapak-bapaknya ada yang dibunuh juga. “
“ Ehm … berita dari mana ?’
“ Itu lho mba, yang ada masjid besar yang bagus. Yang kata mba Muthi’ dulu Nabi Muhammad pernah kesitu. “
Muthi tersenyum. “ Itu namanya masjid Al Aqsha. Kiblat pertama kita umat Islam. Dia ada di Palestina. Orang-orang Yahudi Israel, mereka bukan manusia de, mereka bahkan tak akan pernah mendapatkan ampunan Allah. Pertarungan mereka hanya akan terhenti ketika kelak Allah menjadikan sebuah batu yang akan mengatakan, di sini Yahudi kalah.”
“ Mba, kasihan ya … anak-anak di sana. Mereka nda punya rumah, nda punya bapak-ibu. Mereka makan nda ya mba ….?
Ada kaca di mata elang Muthi’. Dengan lembut dia membelai kepala Ozan yang tertutup kopeyah.
“ Insya Allah de, meski mereka kehilangan semua yang mereka miliki, mereka tidak akan pernah kehilangan cinta dan pertolongan Allah. Allah bahkan menjadikan syurga untuk rumah mereka nanti. Dan kita disini, pertama bersyukurlah tidak mengalami nasib pedih seperti mereka. Kedua, jangan pernah lupa untuk mendo’akan mereka. Dan berbuat sekecil apapun untuk menolong mereka. “
“ piye carane mba? “
“ Rajin shalat, rajin ngaji, nda suka bertengkar dan belajar yang pinter.”
“ Lho, emang bisa mba? Kalo Ozan pengen ke sana mba, bawain batu yang buanyak buat nglemparin tank-tank Yahudi.”
“ Ozan…Ozan ….
to be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar