Hari itu, siang yang cukup panas. Lima tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku menghirup udara kota wali. Aku, di antar oleh temanku (mba Nanis, thank’s for the nice moment with you), setelah registrasi calon mahasiswa baru di salah satu kampus di sana, berkunjung ke sebuah tempat yang cukup strategis untuk menengok kegiatan bimbel ujian masuk dari sebuah organisasi mahasiswa, KAMMI. Telat sekali, hari itu adalah hari terakhir bimbel, dan hari terakhir pendaftaran (calon mahasiswa). Memang sempat ada yang bilang, “ ck..ck…ck…niat kuliah nda sih kamu…”. Ya, apa boleh buat, masih untung bisa daftar dari pada telat sama sekali. Singkat cerita, waktu ujian masuk kampus itu tiba juga. Aku, menginap di tempat kostan yang dulu mba Nanis pernah tinggal di situ. Ehm…base camp akhwat ternyata.
Kesan pertama, cukup asing. Walau sebelumnya pun pernah menginap di tempat serupa saat berjuang melawan soal-soal SPMB di Semarang. Ada teh Unah, teh Yuni, teh Lulu, teh Eti, teh Lia, serta Sani dan Eka yang senasib seperjuangan. Kami bertiga berjuang bersama malam itu. Dan …kami pun diterima di kampus itu. Kami bertiga, juga kompak masuk dua organisasi sekaligus, LDK dan KAMMI. Masa-masa orientasi yang indah dan melelahkan.
Awal ketergabungan, belum terasa kontribusi yang diberikan, maklum…we have still cute. Menginjak semester genap, mulai terasa “aroma” perjuangan yang harus diberikan. Aksi pertama kami adalah aksi menyambut Ramadhan. Ehm …ternyata ni’mat buangeet yang namanya long march, malemnya….langsung tuh kaki parareugel. Tapi, tidak ada kata CUKUP. Kalo kata iklan, “ Mau lagi doooong !!!! ”
Ketergabungan kami yang mulai semakin jauh dengan pelibatan di dalam struktur organisasi. Dua amanah pun menyambutku. Mas’ul Departemen Da’wah Sekolah di LDK dan kaderisasi untuk KAMMI komisariat STAIN (sekarang IAIN). Awal, cukup berat. Dalam perjalanannya, terpaksa aku mohon pamit kepada teman-teman LDK. Ya, aku memilih focus perjuangan di KAMMI. Tentu, keputusan yang tidak mudah dan berat. Namun…apa boleh buat.
Tahun kedua, inilah masa awal yang membuatku kemudian bertekad untuk total. Untuk pertama kalinya, aku berani bolos kuliah. Ada panggilan aksi….Let’s move !!!, ada agenda besar KAMMI …Come on !!! Oh ..indahnya. Apalagi dengan IP yang memuaskan di awal, semangat itu semakin agresive merasuki jiwaku…halah…lebay !
Namun, sempat shock juga, ketika pernah ada satu mata kuliah yang tidak lulus. Sebuah tamparan untukku. Saat itu, agenda sedang begitu banyaknya ngantri untuk ditunaikan. Dan, satu tekad, MAJU terus pantang mundur ! Konsekuensi yang harus aku tunaikan selanjutnya adalah, STUDY HARD !!!
Serunya berjuang di KAMMI, tentunya yang pertama karena aksinya, yang kedua bisa bertemu dengan teman-teman KAMMI dari daerah lain. Ingat sekali, aksi spektakuler KAMMI Daerah Cirebon yang berhasil membobol pintu balai kota dengan jumlah masa cuma sekitar 20 orang, padahal polisinya sampai tiga lapis pengamanan. Aksi Palestine yang di kawal oleh 2 mobil kompi polisi…(waduh pakkk, kita tidak pernah macem-macem kalo aksi, takutkah engkau pada KAMMI ????). Oh ya… yang lebih seru, aksi gabungan di Jakarta saat penolakan kenaikan harga BBM, dan di Bandung saat deklarasi SBY-Boediono. Waahhh… unforgetable dah pokoknya.
Betul sekali kata seorang aktivis, “Jangan pernah ngaku mahasiswa kalo belum pernah demo.” Yaa…demo itu seru bin ni’mat. Rugi bagi orang-orang yang mengaku mahasiswa, tetapi hanya berjibaku dengan buku-buku kuliah. Ahhh…itu mah anak SMA.
Not only demo, kegiatan Ramadhan dari tahun-tahun yang juga menyuguhkan cerita indah tersendiri bersama KAMMI. Ifthor jama’i, penggalangan dana korban bencana (subhanallah, di tengah lelah dan lapar yang sangat, semakin terasa ni’matnya Ramadhan saat itu bersama KAMMI), bakti sosial, bedah buku, etc.
KAMMI, tentunya bukanlah organisasi yang hanya pintar berorasi di jalan tanpa solusi. Bagaimanapun, KAMMI tempat para intelektual muslim berdiskusi untuk merumuskan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Tradisi ilmiah yang senantiasa dikembangkan di forum-forum diskusi seperti madrasah KAMMInya atau madrasah siyasi, sebagai bekal bahwa orasi KAMMI di jalanan bukanlah orasi tanpa ruh. Kekuatan humas KAMMI mampu memasuki jajaran anggota dewan, dinas, elemen masyarakat dsb.
Dalam perjalanannya, kemudahan semakin banyak bertebaran di depan “jalan” perjuangan bersama KAMMI. Salah satunya kemudahan bolos, heee…heee….heee…. entah dah berapa kali bolos, tapi alhamdulillah… IPK tetap memuaskan (tidak termasuk PMDK alias Persatuan Mahasiswa Dua Koma). Kemudahan di tengah kesulitan-kesulitan yang menyerbu. Permasalahan yang kadang membutukan jalan berfikir, dan tak jarang pula ada tangis bersama yang terpaksa kita hadirkan saat menikmati perjuangan bersama KAMMI.
Semakin jauh berjalan bersama KAMMI, tentunya sunnatullah perjuangan, KAMMI tak lagi jadi prioritas. Satu per satu dari mereka yang dulu loyal, kini mundur dengan teratur dari barisan. Menuntaskan kuliah, pulang kampung, kerja dan berbagai alasan lainnya. Generasiku, kini tertinggal 2 akhwat yang belum mau check out dari rumah KAMMI. Generasi sesudahku, bahkan lebih banyak yang lebih dulu “pamit”. Pernah ada yang memberikan nasihat,” udahlah, saatnya pengkaderan. Sudah bukan masanya lagi anti ada di KAMMI. Tuntaskan kuliah, kemudian ….”. Justru itu, keberadaanku dan saudaraku itu, tak bisa dipungkiri karena untuk pengkaderan. Ketika kita berfikir realistis, KAMMI ku….tak bisa ku bayangkan apa yang akan terjadi padanya, meski aku yakin akan ada “tangan” Allah yang membereskan. Karena aku pun telah terlanjur cinta pada KAMMI, mungkin itu pula yang membuatku belum ingin atau bahkan tak ingin mengucapkan “GOODBYE” pada KAMMI. Amanah itu senantiasa terus memanggil-manggil untuk aku ambil dan selesaikan. Bukan karena KAMMI secara organisasi aku mencintainya, namun secara substansi. Satu per satu memang telah pamit pulang lebih dulu, namun aku ingin menjadi orang yang paling terakhir mengucapkannya.
Nasihat ustadz Rahmat Abdullah rahimahullah, yang senantiasa ku pegang,” Seonggok kemanusiaan terkapar. Siapa mengaku bertanggung jawab, tak satu pun. Bila semua pihak menghindar, biarlah saya menanggungnya, semuanya atau sebagian. “
KAMMI … eksistensinya, ada di tangan siapa? tak perlu menunjuk siapa, tunjuklah diri sendiri. Jika kau tak mampu menunjuk diri sendiri, maka memang lebih baik mundurlah. Biarkan kami bersama KAMMI. Membenahinya untuk membenahi peradaban ini.
“Banyak kewajian tanpa peran adalah kebangkrutan, dan banyak peran tanpa kewajiban adalah kemandulan.”
Ambillah peran itu, selagi ada.
- Syahidah Lamno -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar