Minggu, 26 September 2010

Jangan Panggil Aku Arab bag.4

Sore itu, Muthi’ kembali mengumpulkan semangatnya. Ia tidak mungkin terus terpuruk oleh kesedihan. Hujan menemani dengan riuhnya yang semangat bertasbih. Jari-jarinya semakin semangat memuntahkan isi otaknya dengan memainkan tombol-tombol keyboardnya. Hujanpun berhenti seiring dengan kembalinya sang surya ke peraduannya. Dan lirih adzan maghrib mulai bersautan. Muthi’ pun segera mengakhiri pekerjaannya.
“ Ayo anak-anak … siap-siap !!!! mba Urwah mulai mengomandoi shalat Maghrib.
“ Ayo Muthi’ giliran kamu jadi imam …”
“ Yuuukkk …”
Rapih …indah… khusyu’… Surakarta baru saja diguyur hujan. Keheningan yang menyergap di waktu maghrib itu menyeruak ke dalam jiwa-jiwa yang tenang dan menenangkan. Serak suara sang imam maghrib itu semakin menambah kesyahduan. Satu per satu isak tangis kekhusyu’an pun menghanyutkan jiwa-jiwa itu pada penghambaan yang tulus.
“ Alhamdulillah…” mba Urwah berbalik ke arah anak-anak membimbing mereka berdo’a. Dan bersiap untuk makan malam.
“ Ayo anak-anak .... waktunya makan malam. nanti habis itu langsung siap-siap lagi buat baca Asma’ul husna dan shalat Isya’. Oke …!!!!
“ OOOOKEEEEE !!!!!” paduan suara yang sangat nyaring bunyinya.
“ Ayo Muth’ makan, perasaan nda lihat kamu ikut makan siang? Kenapa ? Diet ?”
“ Diet? mau jadi kaya’ apa kalo aku diet mba? ntar dikira tiang listrik berjalan. Hayu makan …”
Lucunya melihat anak-anak itu makan. Apalagi si ustadz kecil Ozan … Ah…anak itu memang jadi hiburan tersendiri di rumah singgah itu.
“ Mba Muthi’ ntar habis shalat Isya’ belajarin bahasa Inggris ya …”
“ yaa pak ustadz …PR yang waktu kemarin dah di kerjain belum ? “
“ Udah donk mba …kan Ozan anak yang rajin, betul ..betul…betul …? “
“ Huuuh …. “ Wahyu menimpali.
“ udah, yang rajin sama yang nda rajin, yang jujur sama yang bohong nanti juga ketahuan sendiri. Dan juga akan ditanggung sendiri akibatnya. jadi kalo kita pingin rajin, nda usah bandingin dengan teman-teman yang nda rajin, yang enak-enakan main. Allah sangat suka dengan anak-anak yang rajin menuntut ilmu. Mau nda disukai Allah? “
“ Mauuuuuu ….. !!!” kompak.
“ Mba Muthi ….mba Muthi …Luthfi besok naik ke Iqro’ enam lho …”
“ Oh yaaa… alhamdulillah. Yang makin rajin yaa nak. “ Muthi’ mengelus kepala bocah kecil itu.
“ Yap ….ayo makan jangan sambil bersuara. Yang udah selesai siap-siap ke tempat shalat lagi.” mba Urwah memang korlap yang disiplin.
Mba Fani dan Muthi’ membereskan ruang makan, sementara itu anak-anak bersiap ke tempat shalat di komandoi mba Urwah dan mba Indi.
“ Yaa Allah...yaa Rahman, yaa rakhiim yaa Malik …yaaa Kudus …yaa Salaam…yaa Mu’min…yaa Muhaimin ….” lantunan asma’ul husna mulai terdengar. Suara polos anak-anak itu cukup membuat merinding dan menyentak ke hati. Senandung tasbih yang indah, disambut semarak oleh lantunan adzan Isya’. Ruangan itu pun kembali dipenuhi tubuh-tubuh mungil yang berjejer rapih, ruku’ dan sujud….indah sekali. Selepas isya’ ….
“ Alhamdulillah, kita udah makan, udah shalat … sekarang waktunya apa ?” suara lembut Imas membuat suasana semakin ngantuk .
“ BELAJAR !!!!!”
“ Pinter, nah sekarang ambil buku-bukunya ya … yang ada PR dikerjakan, yang tidak ada yaa tetep belajar, ya…” Ah …Imas, logatnya membuat teman-teman yang lain harus menahan tawa karena geli dengan kelembutannya.
“ Ayo Ozan, mana buku-bukunya, “ Muthi’ langsung menagih Ozan yang mulai mengusili teman-temannya.
“ Ya mba Muthi’, Ozan ambil bentar.”
Anak-anak belajar dengan penuh semangat. Ada yang belajar sambil jungkir balik, ada yang sambil ngantuk, ada yang harus dengan permainan … wah macem-macem lah pokoknya.
Jam 21.00 anak-anak sudah nampak lelah. Masing-masing mereka pun memberesi buku-bukunya dan masuk kamar.
Muthi’,mba Indi, mba Fani dan Imas pun nampak lelah. Apa boleh buat, saatnya berlabuh ke pulau kapuk.
Malam itu, di tengah lelah yang menyerbu, Muthi’ tak mampu terpejam. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Pandangannya kosong, ia menarik nafas panjang dan sejenak terpejam, menyeka kristal bening yang tak mampu dibendung. Pelan, dia mencoba menyebut keagungan nama Nya dalam desahan nafasnya. Aahh … Muthi’ bangkit. Ia segera mengambil air wudhu’, menenangkan jiwanya dan mengakhiri malam itu bersama ayat-ayat penggugah.
Sepertiga malam kembali menyapa. Beberapa jiwa yang merindu Tuhannya, berdiri menyapa dalam kekhusyu’an bersama do’a-do’a yang menyentuh dinding mihrab. Keheningan malam yang menyentak kesunyian jiwa, meneteskan secuil butir cinta, hingga seruan fajar menyapa.
Pagi itu, seperti biasa riuh anak-anak mampu merubah manyun menjadi senyum. Ahh, anak-anak, selalu saja ada tingkah yang unik. Jadwal padat hari itu, terpaksa petugas piket rumah singgah dikosongkan. Semua kepala terfokus pada satu tugas, OMB.
Di sekre LDK, beberapa akhwat tengah berbincang. Di balik hijab, terdengar beberapa suara ikhwan, ya salah satunya akh Ridho’. Rapat pun mulai berjalan.
“ Ya, kepada masing-masing penanggung jawab, silahkan melaporkan programnya, “ akh Ridho menjadi pemimpin rapat pagi itu.
“ Ehm …akh, sebaiknya dimulai dari program unggulan kita, biar yang lainnya belakangan, dan waktu pembahasannya lebih efisien. “ suara akh Fajar menggelegar di ruangan kecil di sudut kampus itu.
“ Ok, kalo begitu kita mulai dari program tutorial, penanggung jawabnya ….mba Muthi’ ya, udah datang belum ? “
“ Ya, udah. “ Muthi’ menjawab datar.
“ Monggo mba, dipresentasikan programnya. “
Muthi’ menarik nafas panjang, dan BISMILLAH, ia menyampaikan program yang sudah dia konsep kemarin.
“ Ya, mungkin itu yang bisa saya sampaikan, silahkan untuk koreksinya, barangkali ada yang perlu ditambahin atau dikurangi. “
Sejenak, ruangan itu hening. Hanya dahi-dahi yang berkerut dan tangan yang bertopang dagu yang menandakkan penghuni ruangan itu tengah mikir, mencari kekurangan dari program tutorial untuk dikoreksi.
“ ehm … menurut saya terlalu ideal programnya, mba. Kalo kita lihat SDM dan kondisi birokrasi kampus, rasanya kita akan sedikit kewalahan dengan mekanisme seperti itu, apalagi dengan target yang …yaa, memang progressive, tapi … menurut saya kurang realistis. Ini, pendapat saya. Maaf, bukan bermaksud mementahkan program mba Muthi’, tapi karena saya tipe orang yang lebih berfikir dan bekerja sesuai dengan realita.” akh Ridho’ mengkritik habis program Muthi’.
“ Ya, nda apa-apa, lagian ini kan bukan final programme. Tapi afwan, kalo dalam setiap merancang program kita harus berfikir realistis, lantas kapan kita akan meraih cita-cita da’wah yang selama ini digembar-gemborkan. Pelan boleh, tapi capaian tujuan dan target tetap dimaksimalkan, sehingga akan ada kerja yang maksimal juga. Bukan kerja apa adanya.” Muthi’ menimpali dengan nada agak sewot.
Semua akhwat yang hadir di ruangan itu, terkaget melihat Muthi’ yang tiba-tiba sensitif. Rapat pun berlangsung agak kaku. Tidak ada keakraban yang selama ini biasa menemani perkumpulan mereka. Sepanjang rapat itu pun Muthi’ hanya terdiam mendengarkan presentasi teman-temannya. Tak ada komentar yang keluar, sampai rapat pun akhirnya selesai. Seusai rapat ….
“ Muth’ kamu baik-baik saja kan? Tanya Imas.
“ Ya, saya baik-baik saja ko’. “
“ Tapi kamu agak pucat, Muth, kamu sakit? aku anter pulang aja ya…”
“ Nda usah Mas, lagian habis dhuhur saya ada perlu lagi. Saya nda apa-apa ko’.” Muthi menanggapi sambil menahan sakit di kepalanya.
“ Muth’ kamu istirahat saja, tadi mba lihat kamu kelihatan lemes banget. Migrainnya kambuh lagi ya….” mba Indi nyambung.
“ Nda apa-apa mba, paling kecapean aja. Ntar istirahat di masjid aja sambil nunggu dhuhur, insya Allah juga nanti baikan.”
“ Ya udah, kita ke masjid aja yuk…” Imas menggandeng Muthi’.
Di depan sekre tiba-tiba… DEEBUUUK…Muthi pingsan. Sontak mba Indi dan Imas bingung melihat Muthi’ yang tiba-tiba pingsan. Untunglah di sekre masih ada beberapa akhwat yang belum pulang. Muthi’ pun diisitirahatkan di sekre. Tak lama, Muthi’ pun tersadar. Sambil memegangi kepalanya yang sakit, ia mencoba duduk. Mba Indi di belakang Muthi’, agar tidak jatuh.
“ Muth’, kamu sakit apa ? “ tanya Imas.
“ Kaya’nya mba Muthi’ udah waktunya bedrest deh.” sambung Farah adik tingkatnya.
“Nda apa-apa, paling cuma kecapean,”
“ Ya udah, habis shalat, aku antar pulang ya …” Farah menawarkan bantuannya.
“ Nda usah, de. Lagian ba’da dhuhur mba sudah ada janji dengan mba Hesti. Mba mau ke rumahnya.”
“ Muth, kamu nda ngukur diri apa ? Udah tau kondisi lagi nda beres kayak gini, maksain mau pergi. Mba Hesti kan rumahnya lumayan jauh Muth…!. Mba Indi sewot dengan sikap Muthi yang bandel.
“ Udah ntar biar mba yang minta mba Hesti ke rumah aja, kamu nda usah ke sana.”
“ Tapi mba …”. Udah kamu sekarang nurut sama mba. “
“Ayo sekarang kita shalat, terus pulang, biar kamu istirahat di rumah. “
Selepas Dhuhur, mereka pun pulang. Segera, setelah sampai di rumah, Muthi’ diistirahatkan di kamarnya.
“ Muth, tadi mba dah hubungi mba Hesti, beliau bersedia ke sini, tapi ya agak telat, karena ngasih taunya juga mendadak. “
“ Ya mba, matur nuwun.”
“ Ya udah kamu tiduran aja dulu. Mba ambilin kamu makan, biar ada tenaganya.”
Muthi’ hanya diam menanggapi mba Indi yang mondar-mandir ngurusi dirinya.
“ Mau mba suapin, atau makan sendiri ?”
“ Makan sendiri aja, lagian kayak apa aja makan disuapin. Anak-anak ko’ belum ada yang pulang? Kan udah jam satu lebih.
“ Nda tau juga tuh. Paling juga bentar lagi. Sabar, bentar lagi juga ustad kecilmu datang dengan actingnya yang bikin heboh.”
Mereka pun tertawa membayangkan si ustad kecil Ozan datang dengan tingkahnya yang kocak.
“ Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaaaaaatuh…………”
“Nah tuh…yang diomongin datang. Ya udah Muth, mba ke bawah dulu. Kamu habiskan makannya ya.”
“ Ya..mba.”
Di bawah, terdengar Ozan yang menanyakan Muthi’. Mendengar itu, Muthi hanya tersenyum lemas. Makan pun tak berselera. Piring yang berisi nasi setengah sisa, disingkirkan dari hadapannya.
“ Astaghfirullah….ampuni hamba dengan sakit ini yaa Rabb.” Muthi’ terpejam menahan sakit kepalanya. Dan tertidur.
Suara anak-anak mulai meramaikan suasana rumah singgah siang itu. Kasihan mba Indi yang sendirian ngurusin anak-anak.
“Assalamu’alaikum….?” mba Hesti sampai. “ ‘alaikumussalamwarahmatullah….eh, mba Hesti masuk mba. Waduh maaf nich, anak-anak baru pada pulang, jadi ramai gini.”
“ Nda apa-apa. Muthi’ nya dimana?”
“ Di atas, di kamarnya. Ke atas aja mba.”
“ Ya udah, saya ke atas dulu ya.”
Mba Hesti mengetuk pintu kamar Muthi’ yang sedikit terbuka. Tak ada jawaban. Mba Hesti pun memaksa masuk. Perlahan mendekati Muthi’ yang tertidur. Di pandanginya wajah adek tingkatnya itu. Wajah khas yang tidak bisa disembunyikan dari keteguhan tekadnya untuk menghapuskan kekhasan yang menempel pada dirinya. Pucat. Guratan lelah begitu terlihat, warna hitam kelopak matanya.
“ Tenang sekali tidurmu, dik..” Mba Hesti membatin, matanya berkaca. Muthi’ terbatuk dan bangun. Di dapatinya mba Hesti yang sudah sedari tadi memandanginya tidur.
“ Mba Hesti…? Dari tadi ? Ko’ nda bangunin saya ? “
“ Nda apa-apa. Lagian kamu lagi tidur. Nda tega ngebanguninnya.”
“ Kamu sakit apa dik ? Sampai pingsan gitu…”
“ nda apa-apa mba, paling cuma kecapean.”
“ Cape apa ? “
Muthi memandangi wajah teduh mba nya itu. Ia mengerti maksud pertanyaan sindiran tadi.
“ Kamu tuh butuh refreshing Muth. Mba tahu, bukan fisik kamu yang cape, tapi fikiran dan jiwa kamu. Berbagilah dengan mba, meski mungkin tidak ada advice yang bisa mba berikan, setidaknya kamu merasa ringan dengan tidak menumpuk semua beban di pundakmu.”
Muthi’ tertunduk. “ Mba tahu kan cita-cita saya ? Mungkin saya salah ketika berfikir bahwa cita-cita itu bisa saya raih ketika saya…”
“ Muth, mba tahu. Dan mba juga tahu persis tekadmu. Tapi kamu jangan lupa, itu bukan hal yang mudah. Kamu tidak mungkin berjuang merobohkan dinding itu sendiri. Ketika kamu memaksa menantang itu semua, mba khawatir kamu justru akan kalah Muth. Idealisme itu bagus, tetapi tidak dengan cara konyol. Keluargamu tidak mungkin mentolerir keputusanmu untuk menikah dengan orang selain kalangan Arab. Afwan mba terpaksa mengatakan ini. “
Muthi’ tertunduk, menangisi kebuntuan yang semakin merapat di kepalanya.
“ Terkait akh Ridho, mba yakin kamu sudah mengambil sikap dewasa untuk menghadapinya. Satu rahasia Nya sudah terungkap, dia bukan yang terbaik buat Muthi’. “
Mba Hesti menggenggam tangan Muthi’, “ Mba tahu, ini berat buat kamu. Tapi yakinlah, Allah sedang merancang jalan lain yang lebih indah buat Muthi’, permasalahannya adalah waktu. Kita hanya bisa menunggu.”
Mba Hesti memeluk Muthi’, dibiarkannya adik kesayangannnya itu menangis puas di pundaknya, membasahi kerudung cokelatnya.
“ Muth, cita-citamu adalah kewajibanku juga untuk memperjuangkannnya. Insya Allah, jika kita yakin dan tetap istiqomah di atas jalan ini, Allah pun akan membukakan kemudahan untuk kita. Apa yang kita inginkan, yakinlah tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah untuk tidak mewujudkannya untuk kita. Banyak berdo’a dan semangat terus bekerja untuk da’wah. “
“ Ya…jazakillah mba. “
“ Masya Allah Muth, kamu mimisan ? Kamu benar nda apa-apa ? Ada yang kamu sembunyikan dari mba ?”
“ Nda apa-apa mba, nda tau juga nich, seumur-umur baru mimisan.”
“ Ya udah, besok pagi kita ke dokter, periksain. Terutama kepalamu yang sering sakit itu. Mba khawatir mimisanmu ada hubungannya juga sakit kepalamu yang sering itu.”
“ Nda sering ko’, Cuma…”
“ Udah, nda usah banyak ngeles. Besok pagi mba jemput, kita ke dokter syaraf, jika perlu rontgen kepala. “
“ Ya ampun mba, segitunya….”
“ Kamu tuh, jangan menyepelekan kesehatan. Gimana mau menunaikan amanah kalo badannya ringkih kaya’ gitu. “
“ Yaaa buuu…. dokteeeeeeer.”
“ Heuuehh !!! Dasar anak bandel.” Ya udah, mba pamit dulu, udah ashar. Mba ada janji dengan orang-orang dinas sosial. Mereka mau ke rumah katanya. “
“ Ehm …jadi program pemberdayaan wanita rawan sosial ekonomi itu ?”
“ Alhamdulillah, di ACC sama kepala dinasnya. Mereka bersedia kita jadi penanggung jawab pembinaannya. “
“ Alhamdulillah, aku dilibatkan juga kan mba ? “
“ Kalo Muthi’ masih bandel kaya’ gini, mba nda akan libatkan. “
“ Yaa deh, Muthi’ Muthmainnah nurut kata bu dokter Wiwik Hesti Prastiwi. Peace !!!”
“ Udah ah …yupz.. Assalamu’alaikum.”
“ ‘alaikumussalam warahmattulah…hati-hati mba.”
“ Ya, insya Allah. banyak istirahat sama makan yang bener ya…”
Muthi’ membalas dengan jempolnya. Ah …sudah ashar. Saatnya menikmati senja dengan bercinta di atas mihrab. Uuuh…indahnya.
Senja itu, memberikan cahaya spirit luar biasa. Ia tampak mempesona dengan sinar kuning kemerah-merahannya. Tentram, damai. Selepas shalat, Muthi’ paksakan turun ke bawah menemui adik-adiknya.
“ Lho Muth’ ko’ turun ? Dibilang suruh istirahat juga….” mba Indi menghampiri Muthi’ yang berjalan agak sempoyongan.
“ Nda apa-apa mba, pengen ketemu adik-adik. Kangen dah lama nda ngobrol sama mereka. “
” ya udah, duduk sini aja. Oya, mba baru bikin bubur kacang hijau, mba ambilin ya…”
“ Mba Indi, orang sakit ko’ suruh makan terus, pahit mba rasanya…”
“ Dipaksaian Muth’, kalo kayak gitu terus, kapan makannya, kapan sembuhnya…?”
“ Iya deh… Kenapa ya, dokter kok cerewet-cerewet ?
“ ya gimana nda cerewet, pasiennya bandel-bandel !”
Muthi’ hanya tersenyum melihat mba Indi yang sedikit kesal. “ Ah…baik sekali mbak ku yang satu ini. Aku tahu pasti kau sangat lelah. Tapi masih bisa tersenyum dan ikhlas ngurusin adikmu ini.” Muthi’ membatin seraya memandangi mba Indi yang riweuh dengan urusan dapur dan anak-anak.
“ Mba Muthi’ katanya sakit ya…istirahat aja mba, biar cepet sembuh..” Ozan bergaya mijitin kaki Muthi’ dengan dua tangannya yang mungil, dan diikuti teman-temannya yang lain Dimas, Wahyu, Budi, Deni, Irfan dan juga si kecil Luthfi.
“ Eeh..mba nda apa-apa ko’, udah ayo baca iqro’ lagi. “
“ Nda apa –apa mba, kita kan juga pengen bantuin mba Muthi’, iya ora konco-konco?” Ozan memprofokatori.
“ Iya mba !”, kompak.
“ Iya…tapi yang ada mba malah geli dipijitan kalian. Lagian kalian pasti cape.” Muthi’ memegang tangan mereka dan melepaskannya satu per satu dari kakinya sambil tertawa geli,
“ Biarin Muth, mereka kan juga ingin berbagi kebaikan. Iya kan ? “
“ Betul mba Indi !” Dimas semangat menjawab.
“ Ya udah, tapi mijitinnya udahan aja ya..mau denger cerita dari mba Muthi’ nda ? “
“ Mau, mau, mau…!”
Sore itu, anak-anak begitu antusias mendengarkan cerita Muhammad Al Fatih menaklukkan Romawi.
“ Waaaah..keren ya, kecil kecil jadi panglima. Aku bisa nda ya mba ? “ Wahyu berseloroh sambil mengaitkan kedua tangannya di depan dadanya.
“ Wah kamu sih jadi panglima bertopeng aja kaya’ yang di Sin Chan. “ Ozan mulai ngeledek.
“ Eeh, Ozan nda boleh kaya’ gitu. Pasti Wahyu, asal ada keyakinan dan usaha yang sungguh-sungguh, serta nda lupa ibadah yang rajin, insya Allah cita-cita kita akan mudah kita raih. “
“ Tapi Wahyu kan…nda punya bapak, nda punya Ibu, gimana Wahyu bisa? “
“ Wahyu, kita nda punya ibu atau bapak, tetapi kita masih punya Allah yang nda akan pernah meninggalkan kita. Kecuali kita yang meninggalkan Allah. Keberhasilan itu tergantung usaha kita, bukan karena orang lain. Orang lain itu hanya penyemangat. Seperti mba Muthi’, mba Indi, mba Imas, mba Fani, mas Fajar, mas Ridho’ dan juga teman-teman yang lain. Mereka adalah saudara yang akan selalu membantu dan mendoakan, tetapi bukan kepada mereka kita bertumpu, melainkan kepada Allah. Karena Allah sumber pertolongan, sumber di kabulkannya semua do’a dan cita-cita, maka kita harus rajin mendekatkan diri kepada sumber pertolongan itu.”
“ Ooooh…berarti Allah itu super hebat ya mba…”
“ Ya iya donk…Allah Maha Besar, sedangkan kita dihadapan Allah sama seperti semut, sangat kecil, tidak berarti apa-apa kecuali jika ada keimanan dalam hati kita. Semuanya pengen tidak seperti Al Fatih ? “
“ Pengen mba….”
“ Bagus, kalian harus punya cita-cita setinggi mungkin. Dengan tangan kalian, kalian harus mampu dan yakin, bahwa dunia ini akan takluk di tangan kalian karena Islam yang kalian bawa. “
” ALLAHU AKBAR !!!!!” anak-anak menyambut dengan takbir.
“ Lho…kalian ko’ bisa kompak ?”
“ Ya iyalah..kita kan sering nonton mba-mba sama mas-mas kalo demo. Ada takbirnya, ALLAHU AKBAR, seru mba….” Irfan menirukan gaya takbir mas-masnya.
Semua yang ada di ruangan itu pun bertakbir dan menyantap bubur kacang hijau buatan mba Indi. Indahnya kebersamaan.
“ Assalamu’alaikum…” suara Imas, Fani dan yang lain terdengar dari depan.
“ ‘alaikumussalam warahmatullahiwabarakaatuh.” Muthi’ dan kawan-kawan menyambut kompak.
“ Wah…lagi pada PeWe nih…” Fani berjalan lemes.
“ Apaan PeWe mba..? Biasa Ozan dengan gaya pengen taunya.
“ PeWe itu…posisi wueeenak..”
“ Iya donk…kalian mau juga. Ntar tak ambilin ya…” Mba Indi kembali ke dapur.
“ Muth’, dah sehat? Masih pucat gitu. Istirahat lah…” Imas mendekati Muthi’
“ Nda apa-apa Mas, justru aku pengen sembuh, makanya aku main sama anak-anak.”
“ Orang aneh.” Fani mengomentari sambil berjalan ke dapur mengambil air minum.
“ Eehh…justru yang aneh yang banyak fansnya…”
“ Muth, tadi ditanyain akh Ridho. Katanya mba Muthi’ sakit apa? Kaya’nya dia merasa bersalah minta kamu revisi program tutorial.” Fani duduk pasrah di hamparan tikar di ruang tengah.
Muthi’ terdiam. Dia tersentak dengan pernyataan Fani. “Ah…akh Ridho, nda usah sok perhatian githu lah, bikin kotor hati akhwat.” Muthi’ membatin kesal.
“ Aku nda apa-apa. Cuma kecapean aja. Ya udah, aku mau ke atas, pengen istirahat. “
“ Tak anter sini Muth, ntar kamu jatuh lagi. “ Imas langsung menggandeng tangan Muthi’
Muthi’ menghabiskan waktu Maghrib dan Isya’nya di kamarnya. Malam itu serasa malam terakhir baginya. Badannya lemas, dinding kamarnya terasa berputar-putar. Pandangannya buram, dan….ia pun menghabiskan raka’at-raka’at shalatnya di atas tempat tidurnya.
“ Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku bersama sakit yang aku rasa. Jika malam ini adalah malam terakhir untukku, maka jadikanlah malam ini malam yang terindah dalam perjalanan malam-malamku. Ijinkanlah aku hiasi malam terakhir ini dengan senyum bahagiaku, senyuman yang belum pernah tersimpulkan sebelumnya. Amiiin. “
Malam itu, menjadi malam yang terasa singkat. Subuh seolah tak sabar untuk segera merangsek menggugah manusia-manusia yang tertidur pulas. Subuh itu, mba Indi menemui Muthi yang masih tertidur.
“ Dik…bangun. Udah subuh, ayo shalat dulu.” Muthi’ membuka matanya perlahan. Sayup-sayup, ia masih mendengar suara adzan di desa sebelah.
“ Ini adzan subuh mba..? “
“ Ya iya Muth, masa adzan Dhuhur.”
“ Astaghfirullah, aku tidur semalam penuh. Lupa nda nyalain alarm.”
“ Muth, kamu tuh lagi sakit. Mba minta tolong sekali, jangan terlalu memaksakan diri. Badanmu punya hak untuk diperhatikan, bukan cuma ruhiyahmu.”
“ Ya mba. Alhamdulillah, ternyata malam tadi bukan malam terakhir. “
“ Kamu ngomong apa toh Muth…Udah, ayo mba anter ke kamar mandi.”
“ Mba udah shalat? “
“ Belum, makanya mba ke atas, biar bisa jama’ahan sama kamu. Anak-anak di bawah udah dihandle sama Fani dan Imas.”
“ Mba aku shalatnya duduk saja ya…”
“ Ya…”
Mereka pun shalat subuh berjama’ah di kamar Muthi’. Di bawah, terdengar suara Ozan yang mengimami teman-temannya agar berdo’a untuk kesembuhan Muthi’. Tersentak haru yang begitu dalam mendengar suara polos anak-anak itu. Selepas shalat, Muthi’ langsung merebahkan diri lagi di ranjangnya.
“ Masih sakit kepalanya Muth..? Mba pijitin ya, ada minyak kayu putih nda ?”
“ Kalo nda salah, di atas rak buku.”
“ Masya Allah Muth, badan kamu panas lagi. Udah, ntar habis dhuha kita ke rumah sakit. Check up.”
“ Ya, mba Hesti ntar mau ke sini. Beliau juga cerewet maksain ke rumah sakit.”
“ ya iya, gimana nda cerewet. Badan kamu tuh udah harus diservice. Udah saatnya masuk bengkel. Jika perlu ganti oli.”
Muthi’ tertawa kecil,” Mba ini ada-ada saja. Emang aku motor. Pake ganti oli segala. Sekalian aja ganti onder dill.”
“ Kamu ini udah sakit, masih aja bandel. Gimana, masih sakit ?”
“ Alhamdulillah mba, udah mendingan. Jazakillah.”
“ Ya udah, kamu nda usah turun. Hari ini jadwal khusus buat istirahat total. Mba mau masak buat anak-anak dulu. Kamu sarapan bubur aja ya…biar gampang dicernanya.”
“ Yaa….apa kata bu dokter Indria Mahsunah aja lah..”
Mba Indi meninggalkan Muthi. Di bawah, anak-anak seperti biasa sibuk dengan aktivitasnya.
“ Mba Indi yang baik hati, mba Muthi’ masih sakit ya..” Ozan segera menyerbu mba Indi yang terlihat baru turun dari kamar atas.
“ Ya, masih sakit. Makanya Ozan dan teman-teman yang lain yang rajin shalatnya, dan jangan lupa do’ain mba Muthi’ biar cepat sembuh. “
“ Ya, mba tadi juga kita berdo’a buat mba Muthi’. Mba, Ozan boleh ke kamar mba Muthi’ nda?”
“ Udah selesai belum tugas in the morning nya…?”
“ Belum.”
“ Ayo, selesaikan dulu. Nanti kalo udah selesai, boleh ke kamar mba Muthi’. “
“ Oke deh…” Ozan berlalu dengan tampang layu.
“ Assalamu’alaikum…”, mba Hesti pagi-pagi sudah sampai buat jemput Muthi’
“ ‘alaikumussalamwarahmatullah, lho…mba Hesti pagi-pagi dah nyampe. Mau jemput Muthi’ ya. Muthi’ nya juga baru mau sarapan.” mba Indi menghampiri mba Hesti sambil membawa sarapan buat Muthi’.
“ Ya, sengaja pagi-pagi. Ntar kalo kesiangan lama ngantrinya. Ya udah saya yang bawain sarapannya. Oh ya gimana kondisinya?”
“ Ya gitu mba, masih lemas. Tapi agak lebih baik dari kemarin.”
Mba Hesti mengangguk sambil berlalu menuju kamar Muthi’.
“ Assalamu’alaikum, “ mba Hesti langsung masuk kamar Muthi’ yang terbuka.
“ ‘alaikumussalam warahmatullah. Lho, mba pagi-pagi udah beredar. “
“ Biar kamunya cepet di bawa ke rumah sakit. Sekarang ayo, sarapan dulu. Terus ini, mba bawa madu. Nanti diminum pake air hangat. Satu sendok aja sehari.”
“ Ya bu dokter..”
Selesai sarapan, hanya membasuh muka dan bebersih sedikit Muthi’ langsung di antar ke rumah sakit, ditemani juga oleh mba Indi. Sesampainya di rumah sakit, Muthi’ langsung dibawa ke ruang radiology.
“ Lho, mba ko’ langsung ke sini? mba Indi bengong.
“ Ya, biar ketahuan dulu penyakitnya apa. Kan selama ini masalah Muthi’ di kepalanya. “
Muthi’ hanya pasrah mau diapakan sama mba-mbanya itu. Sepuluh menit kemudian, Muthi’ keluar dari ruang rontgen. Pak Edi, teman mba Hesti menjelaskan,” Hasil foto rontgennya nanti akan dianalisis oleh dokter syarat terbaik di rumah sakit ini, namanya dokter Fahmi. “
“ Lalu, kapan hasilnya bisa keluar? “ mba Hesti bertanya nda sabar.
“ Hari ini dr.Fahmi ke rumah sakit, karena ada operasi tumor otak jam sebelas. Biasanya beliau datang jam sembilan atau jam sepuluh. Ya, mudah-mudahan bisa langsung dibaca oleh beliau. Kalo tidak ya kemungkinan besok. Karena operasi tumor lumayan memakan waktu. “
Mba Hesti dan mba Indi saling berpandangan. “ Ya udah, kalo hasilnya sudah keluar, nanti tolong langsung segera hubungi saya ya pak…”.
“ Siip mba. Nanti saya kabari.”
“ Ya udah kalo begitu, kita pulang dulu. Assalamu’alaikum.”
“ wa’alaikumussalamwarahmatullah. Eeeh mba sebentar. Mba Muthi’ perlu test darah dan periksa tensi dulu. Barangkali ada gejala lain. Mari saya anter ke ruang periksa.” Pak Edi langsung berjalan di depan mereka bertiga.
Muthi’ langsung diperiksa oleh suster Diana. “ Hasil tensinya bagus, normal. Nah sekarang, saya ambil darahnya dulunya sedikit. “ Suster Diana mengambil suntikan untuk test darah.
“ Yap, sebentar ya. Tunggu sekitar 30 menit lagi untuk tahu hasilnya testnya.” suster Diana tersenyum meninggalkan mereka bertiga ke laboratorium.
“ Cape mba.” Muthi’ bersandar dikursi plastik di ruang periksa.
“ sabar dik, kalo hasilnya dah keluar kita langsung pulang.” mba Indi memegang tangan Muthi’ yang mulai dingin.
Tiga puluh menit kemudian, suster Diana datang, “ Ehm, maaf mba, hasilnya belum bisa keluar sekarang. Kami menunggu dokter spesialis lain untuk memastikan hipotesis laboratorium.”
“ Emang ada masalah sus?” Mba Indi sedikit cemas.
“ Ehm…kita lihat hasilnya nanti ya mba. Paling lambat besok sudah ada.” suster Diana menenangkan. Ya, itu sudah kewajibannya untuk menjaga mental pasien.
“ Ya udah, kalo begitu kita boleh pulang kan? “ Muthi’ menyimpulkan pertanyaan berikutnya, dia memang benar-benar ingin pulang. Mba Indi hanya menatap Muthi’.
“ Ya, silahkan. Besok setelah dhuhur bisa ambil hasilnya.” Tiba-tiba pak Edi memanggil mba Hesti dari belakang, “ dokter Fahmi sudah datang. Kalo mau langsung ketemu beliau mari saya anter ke ruang prakteknya.”
“ Alhamdulillah, ya udah ayo kita langsung kesana. Muth, kamu masih kuat kan?”
Muthi’ hanya mengangguk lemas. Sesampainya di ruang praktek dr. Fahmi, mereka bertiga langsung bertemu beliau. Untunglah tidak ada pasien lain.
“ Dok, ini teman saya, mba Hesti. Beliau ini mengantar temannya untuk periksa syaraf. Ini hasil foto rontgennya. Dokter bisa menolong mereka?” pak Edi membuka prolog.
“ Oh ya, mari langsung ke ruang periksa.” dr. Fahmi langsung menyiapkan alat-alat prakteknya.
mba Hesti mengantar Muthi’ ke ruang periksa. “ Mba temeni saya.” Muthi’ memegangi tangan mba Hesti. “ Ya, dik.”
Sepuluh menit, dr. Fahmi memeriksa Muthi’. Sementara itu, mba Indi menunggu di luar. Dr. Fahmi meminta mba Hesti keluar, karena ada hypothesisnya yang harus disampaikan.
“ Muth, kamu istirahat dulu di sini ya. Mba mau bicara dengan dr. Fahmi.” mba Hesti pun meninggalkan Muthi’.
Mba Indi dan mba Hesti duduk manis menunggui dokter Fahmi yang masih serius mengamati hasil rontgen kepala Muthi’. Setelah itu…dr. Fahmi membuka kacamatanya, mengela nafas…dan memandangi mba Indi dan mba Hesti. Mereka pun menjadi tegang.
“ Ada apa dok? ada hal yang serius ?” mba Hesti membuka pertanyaan.
“ Maaf sebelumnya, mba-mba ini ada hubungan darah dengan mba Muthi’? “
“ Oh, nda ada dok. Kami hanya satu organisasi dan sudah tiga tahun satu atap alias satu kostan. Jadi kami juga sudah seperti saudara. Ada apa gitu dok?” Mba Indi menjelaskan dengan nada tegang.
“ Begini mba-mba. Sebagai dokter, tugas kami bukan hanya berusaha membantu pasien sembuh, tetapi juga menyemangati psikology pasien agar tidak rapuh. Syukurlah, jika mba-mba ini memiliki hubungan yang sangat baik dengan mba Muthi’. Saya sebagai dokter memohon untuk turut membantu menyemangati mba Muthi’ “. dr. Fahmi menjelaskan tetapi memusingkan.
“ Maaf dok, bisa to the point saja? “ mba Hesti semakin tegang.
“ Begini mba-mba. Saya sudah membaca hasil rontgen tadi. Dan hasilnya…” mba Indi dan mba Hesti berpegangan tangan. Tangan mereka dingin karena penjelasan dr. Fahmi yang menggantung.
“ Saya minta mba-mba tetap kuat agar mba Muthi’ pun turut kuat. Karena pada hakikatnya, kekuatan yang diperlukan pasien untuk bertahan dari sakitnya adalah kekuatan jiwanya. Ya, meski kesimpulan saya akan sakit mba Muthi belum sampai pada tingkat serius.” dr. Fahmi semakin membuat tegang.
“ Maksud dokter? “ mba Hesti semakin penasaran.
“ Saya akan beritahu hasil analysis rontgennya secara tertulis. Sebentar.” dr. Fahmi masuk ke ruangan kecil disamping ruang periksa. Tak lama kemudian….
“ Ini hasilnya.” dr. Fahmi menyerahkan amplop putih panjang dan juga hasil rontgen Muthi’.
Mba Hesti langsung membuka isi amplopnya. Dan …air matanya langsung menetes melihat hasil rontgen dari dr. Fahmi. Kanker otak stadium satu. Mba Indi yang turut membaca kertas putih itu pun tak kuasa menahan air matanya. Namun, tidak mungkin jika ia turut larut dalam kesedihan. Ia mencoba menenangkan mba Hesti.
Dengan menahan air matanya, “ Lalu apa yang harus kami lakukan untuk Muthi’? “ mba Hesti bertanya lirih.
“ Yang pertama, seperti yang saya sampaikan di awal. Yang kedua, awasi pola makan, istirahat dan aktivitas Muthi’. Dia tidak boleh terlalu cape, banyak fikiran apalagi stress. Saya akan tuliskan menu yang harus dikonsumsi Muthi’. “
“ Apa kami harus merahasiakan hal ini dari Muthi’ ?” mba Indi menambahkan.
“ Ehm… untuk saat ini, ya. Kondisinya saya lihat sangat lemah. Saya melihat sepertinya Muthi’ sedang ada beban pikiran. Nah, ini tolong di kurangi atau lebih baik buat Muthi’ lupa dengan masalah-masalahnya. Karena saat ini dia ngedrop bukan cuma karena ada gejala seperti ini, tapi juga karena memang dia sudah sangat lelah. Jika dia sudah pulih, lebih baik dia memang tahu akan sakitnya, tentunya hati-hati. Saat ini dia harus bedrest total.“ dr. Fahmi menjelaskan pelan.
“ Tentu dok.” mba Hesti menggangguk.
“ Baik, ini menu dan pantangan-pantangan untuk Muthi’. Maaf saya harus siap-siap lagi, karena ada operasi jam sebelas. Assalamu’alaikum.”
“ ‘alaikumussalam warahmatullah.”
Muthi, mba Hesti dan mba Indi pun pulang. Sepanjang perjalanan pulang, tak ada satu hurufpun yang keluar. Mba Hesti tak kuasa menahan sedih, ia memalingkan wajahnya ke arah jendela angkot agar tak terlihat air matanya yang mulai menetes. Pun mba Indi, ia kehabisan kata-kata untuk menenangkan mbanya itu. Tak terkecuali Muthi’ yang memilih diam, karena tak ada energi untuk bersuara. Sesampainya di rumah, terlihat senyum terpaksa yang mengembang, setidaknya menghibur anak-anak dan saudara-saudara yang lain, yang sudah tidak sabar ingin tahu hasil rumah sakit.
“ Gimana hasilnya rontgennya mba?” Fani langsung menghadang di depan pintu.
“ Bentar lah Fan, kami kan baru nyampe. Muthi’ juga harus langsung istirahat dulu.” mba Hesti sedikit berbasa-basi. Mendengar itu, Fani hanya diam, memandangi wajah Muthi’ dan mba Indi penuh dengan tanda tanya. Mba Indi langsung mengantar Muthi’ istirahat di kamarnya.
“ Mba tadi apa kata dokter Fahmi?” Muthi’ memegang tangan mba Indi yang akan meninggalkan kamar Muthi’.
“ Ehm …nda apa-apa kok Muth. dokter Fahmi cuma bilang kamu harus istirahat total sampai kamu benar-benar sehat. Terutama kepalamu. Kamu nda boleh banyak pikiran apalagi stress. Kami semua ada di sini, siap berbagi dengan Muthi’. Itu aja pesan dokter.”
“ ada yang mba Indi dan mba Hesti sembunyikan ? “
“ Nda ada kok de. Udah kamu istirahat dulu ya. Nanti dhuhur mba bangunin.” mba Indi tersenyum dan meninggalkan Muthi’.

to be continued...